TINJAUAN TERHADAP
FORMASI SPIRITUALITAS
PURITAN
PENDAHULUAN
Kata spiritualitas bukanlah sesuatu
yang asing bagi kekristenan atau gereja. Spiritualitas adalah sesuatu
yang penting karena berkaitan dengan
hubungan antara manusia dengan pencipta-Nya atau sesuatu
yang Ilahi (divine). Spiritualitas berhubungan dengan praktek-praktek agama yang
berkaitan dengan usaha manusia untuk berelasi dengan Allah melalui penyembahan,
doa dan pengaggungan kepada Tuhan sang
pencipta. Seorang yang memilki
spiritualitas yang baik
akan berdampak pada sikap hidup
dan relasinya dengan sesama.
Namun harus diakui bahwa secara faktual spiritualitas hari ini telah tereduksi oleh simbol-simbol agama, ritualitas dan
formalitas, tanpa ada makna sebagaimana yang diharapkan oleh sang Pencipta bagi ciptaan-Nya. Hal ini bisa
dilihat dari kehidupan orang yang disebut “beragama” namun jika ditilik lebih
dalam kehidupannya tidak lebih baik dari orang yang tidak beragama.
Hal
yang lebih ironis ketika penulis mengamati bahwa banyak orang Kristen hari tidak melihat spiritualitas
sebagai sesuatu yang penting bahkan gereja
sebagai institusi spiritual tidak
melihat spiritualitas sebagai suatu yang
penting. Pada hal menurut
penulis yang menjadi goal atau fokus gereja dan orang percaya
seharusnya adalah membangun
spiritualitas bukan
hal yang lain. Pembangunan spiritualitas menurut penulis harus menjadi perhatian khusus dari gereja
karena dengan demikian maka arah kehidupan umat Tuhan akan tertuju kepada keserupaan
dengan Kristus dan hidup memuliakan Tuhan.
Sehubungan dengan hal itu, maka
melalui makalah ini penulis akan memaparkan formasi spiritualitas kaum Puritan,
yang menurut hemat penulis dapat menjadi contoh yang relevan bagi orang Kristen dan gereja saat
ini dalam usaha membangun spiritualitas sebagaimana yang diharapkan oleh Tuhan,
karena mereka menekankan aspek disiplin
rohani pribadi dan juga sangat menekankan pada kesalehan praktis dan eksperimental.
Adapun sistimatika penulisannya
sebagai berikut; pertama penulis akan memaparkan pengertian
spiritualitas, kedua, sejarah singkat
keberadaan kaum Puritan, ketiga, pola-pola atau formasi spiritual yang
diterapkan oleh kaum puritan dan keempat tinjauan terhadap pola-pola yang dipakai oleh kaum puritan
dalam usaha membangun kehidupan spiritual mereka, dan terakhir penulis akan
memberikan kesimpulan dan refleksi.
PENGERTIAN SPIRITUALITAS
Kata spiritualitas, seringkali di
artikan oleh orang Kristen dengan
sederhana, yaitu menyangkut doa, ibadah, puasa, hidup baik atau moralitas belaka. Namun sebenarnya
spiritualitas tidak sesempit arti tersebut. Spiritual menyangkut segenap
aspek kehidupan manusia. Meskipun
diakui bahwa istilah spiritualitas selalu berkonotasi atau
mengarah kepada satu bentuk disiplin religius tertentu, namun tidak selamanya
diartikan sebagai demikian.
Kamus bahasa Indonesia mendefinisikan spiritual atau spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani atau batin).[1] Sedangkan kamus bahasa Indonesia moderen mendefinisikan
spiritualitas sebagai suatu keadaan,
ciri atau kerohanian.[2] Dan
kamus Webster mengartikan
spiritualitas; Spiritual nature,
character or quality; spiritual
mindedness opposed to worldlenness and sensuality.[3]
Sedangkan Sandra Scneiders mendefinisikan
spiritual sebagai berikut: “Spiritualitas as lived
experience can be defined as conscious involvement in the project of life
integration throught self
transcendence toward the ultimate value
one perceives.” [4]
Sedangkan
bagi Kristen, seperti yang dikatakan
oleh Michael Downey, spiritualitas
berkenaan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman hidup
Kristiani, khususnya persepsi dan upaya mencapai gagasan atau tujuan tertinggi
hidup Kristiani, yaitu suatu kesatuan yang lebih intensif dengan Allah yang
dinyatakan di dalam Yesus Kristus melalui kehidupan dalam Roh.[5]
SEJARAH
KEBERADAAN PURITAN
A. Pengertian Puritan
Pemakaian istilah “Puritan”
berkaitan dengan upaya untuk memurnikan
(purify) Gereja Anglikan yang dianggap
masih belum menunjukkan tanda-tanda reformasi yang sejati di Inggris. Oleh
sebab itu keberadaan kaum Puritan tidak lepas dari sejarah reformasi. Bahkan sebagian dari Puritanisme adalah
gerakan reformasi yang bersifat lepas.
Artinya, gerakan ini bukanlah sebuah
organisasi yang formal. Puritanisme
tetap adalah sebuah gerakan, bukan organisasi tetapi suatu semangat yang kuat
untuk mereformasi gereja.[6]
Semangat ini sebenarnya secara positif
dilihat sebagai usaha untuk mereformasi gereja dalam hal spiritualitas. Selain itu
kaum Puritan dapat dikatakan sebagai gerakan devosi yang berusaha untuk memperbaharui
kehidupan spiritual individu dan gereja. Hal ini nampak dalam beberapa literatur
mereka yang paling deskriptif dan ekstensif mengenai formasi spiritual atau
yang disebut dengan kesalehan.[7]
Menurut Joel R. Beeke, “Penggunaan
kata Puritan bukan hanya untuk orang-orang yang dikeluarkan dari Church of
England dengan the Act of Uniformity-nya pada tahun 1662,
namun kaum Puritan adalah juga
orang-orang dari beberapa generasi setelah Reformasi di wilayah Inggris Raya
dan Amerika Utara yang berusaha mereformasi dan memurnikan gereja serta
memimpin orang-orang kepada Alkitab, kehidupan yang saleh, mempertahankan
konsistensi doktrin tentang anugerah.[8]
Dapat disimpulkan bahwa bangkit dan
bertumbuhnya Puritan paling sedikit disebabkan oleh tiga kebutuhan utama pada
zaman itu, yaitu: (1) Perlunya khotbah yang Alkitabiah dan pengajaran
kebenaran; (2) perlunya kesucian personal yang menekankan pekerjaan Roh Kudus
dalam iman dan kehidupan orang percaya; dan (3) pembaharuan tatacara dan
pemerintahan gereja menurut Alkitab. Oleh
sebab itu, ungkapan “Puritan” seringkali
dihubungkan dengan bagaimana Kaum Puritan memberitakan Firman Allah berhubungan
dengan keselamatan orang-orang berdosa dari dosa dan konsekwensinya.
Keselamatan diberikan hanya oleh anugerah, diterima dengan iman. Kaum Puritan
bukan hanya memberitakan Kristus melalui
kuasa Roh Kudus agar
orang-orang datang kepada Allah melalui Kristus; namun mereka juga memberitakan
Kristus dengan menekankan bahwa orang percaya harus bertumbuh di dalam Dia, melayani Dia sebagai Tuhan, bersekutu dengan jemaat-Nya dan memperluas Kerajaan-Nya di muka bumi ini.[9]
B. Sejarah
Singkat
Sejarah
keberadaan puritan dimulai pada tahun 1560 zaman Ratu Elizabet I memerintah
di Inggris. Puritan adalan gerakan
keagamaan yang berusaha untuk mereformasi gereja Inggris sebagai usaha untuk meneruskan reformasi yang
dilakukan oleh Henry VIII. Reformasi ini sangat
berdampak bagi kondisi sosial,
politik, ekonomi bahkan teologi baik di Inggris maupun di Amerika.[10]
Kaum
Puritan beranggapan bahwa Henry VIII sudah memulai reformasi tetapi tidak
menyelesaikan atau reformasinya tidak
menyeluruh. Bahkan
mereka menganggap bahwa gereja belum
sepenuhnya bertobat (converted). Mereka menemukan bahwa reformasi yang
terjadi belum sampai pada tingkat yang sesungguhnya[11] Oleh sebab itu mereka ingin mereformasi gereja
Inggris dengan cara atau sudut pandangnya sendiri.
Minimal ada ada dua
hal yang ingin direformasi oleh kaum Puritan terhadap gereja Anglikan Inggris:
Pertama,
sistem pemerintahan gereja. Golongan Puritan berusaha mengubah system pemerintahan
gereja yang episcopal state (pimpinan tertinggi adalah bishop dan raja) menjadi
presbyterian (pemimpin tertinggi adalah para penatua) atau congregational
(pemimpin tertinggi adalah jemaat). Konsep
tentang raja Inggris sebagai pemimpin gereja dipandang sebagai bentuk lain dari
kepausan yang berusaha menggabungkan kekuasaan gereja dan politis.[12]
Kedua,
dalam liturgi. Kaum Puritan melancarkan
protes terhadap pelaksanaan hari raya Kristiani untuk memperingati orang-orang
kudus, pemakaian berbagai ornamen yang tidak diajarkan dalam Alkitab, misalnya
tanda salib maupun jubah kependetaan. Mereka
menolak penghormatan yang berlebihan terhadap materi Perjamuan Kudus yang
diindikasikan dengan sikap berlutut pada waktu menerima roti dan anggur. Mereka
menentang penggunaan organ dalam ibadah. Pelaksanaan “baptisan darurat” bagi orang yang
baru bertobat dalam keadaan sakit parah juga berusaha ditiadakan. Mereka juga
menyoroti sikap para penganut Anglikan yang tidak terlalu menekankan
penghormatan hari
sabat.[13]
Gerakan Puritan mendapat dukungan
semakin besar dari masyarakat dan lambat laun menimbulkan keresahan bagi
pemerintah Inggris. Oleh sebab itu ratu Elizabet memberikan perhatian serius terhadap Puritanisme.
Pada tahun 1593 dia mengeluarkan peraturan yang memberikan kuasa kepada pemerintah
setempat untuk memenjarakan kaum Puritan apabila mereka menolak menghadiri ibadah
di Gereja Anglikan.[14]
Pada waktu James VI dari Skotlandia menggantikan Elizabet sebagai raja Inggris (di Inggris dia disebut
James I), kaum Puritan sangat
berharap banyak kepadanya, karena dia sudah dipengaruhi oleh reformasi Reformed
di Skotlandia yang dipelopori John Knox, salah satu murid Calvin di Geneva.
Kaum Puritan memaparkan permohonan yang ditandatangani oleh hampir 1000
rohaniwan Puritan. Permohonan yang
terkenal dengan sebutan “The Millenary
Petition” (1603) ini merupakan upaya untuk mengubah liturgi dan sistem pemerintahan gereja
yang ada.[15]
Pada tahun 1604 diadakan Hampton Court Conference untuk
membicarakan mengenai liturgi dan sistem
pemerintahan gereja. Namun James
I ternyata sangat menentang usulan tersebut. Menurut dia, presbyterian tidak mungkin
sejalan dengan sistem monarki. Dia bahkan mengancam akan mengeluarkan kaum Puritan dari Kerajaan
Inggris apabila mereka bersikukuh pada usulan itu. Satu-satunya hasil positif dari
pertemuan ini hanyalah ijin untuk membuat terjemahan Alkitab dalam bahasa
Inggris yang baru sebagai pengganti dari versi Geneva yang sebelumnya
dikerjakan oleh para penganut reformasi yang dianiaya selama pemerintahan
Maria. Terjemahan ini akhirnya selesai pada tahun 1611 dan dikenal dengan nama
Authorized atau King James Version.[16]
Perbedaan pendapat antara James I
dan Puritan juga mencakup hal-hal
lain di luar sistem
pemerintahan gereja. Dalam bidang politik, muncul perdebatan seputar hakekat
kekuasaan raja. Apakah raja diangkat langsung oleh Allah dan dan dengan
demikian hanya perlu bertanggungjawab pada Allah dan bukan pada parlemen?
Siapakah yang lebih berkuasa: raja atau parlemen? Dalam bidang ekonomi,
perdebatan muncul seputar masalah pajak. Apakah pajak menjadi hak raja atau
parlemen?[17]
Perbedaan ini terus begulir dan
semakin memburuk pada masa pemerintahan Charles I (1625-1649). Pada tahun
1629-1640 dia memutuskan untuk memerintah tanpa parlemen. Tindakan ini memicu imigrasi
besar-besaran dari kaum Puritan ke Amerika dan sedikitnya 20 ribu orang meninggalkan
Inggris.[18]
Imigrasi ke
Amerika berdampak positif bagi kehidupan kekristenan di Amerika bahkan
dampaknya mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat Amerika sampai hari
ini.
SPIRITUAL
PURITAN
Keberadaan spiritualitas puritan,
tidak lepas dari pandangan teologi mereka.
Secara garis besar ada empat penekanan teologi dari kaum Puritan, yaitu konsep election (pemilihan),[19] covenant of grace (perjanjian anugerah),[20] union
with Christ (persekutuan dengan Kristus)[21]
dan sanctification (pengudusan).[22] Melalui empat penekanan teologi ini,
membentuk kerangka formasi spiritual Puritan.[23]
A.
Formasi Spiritual
Puritan
Kerangka formasi spiritual Puritanisme didasarkan
kepada 4 hal:
1. Kebutuhan
untuk bertobat (the need of repentence).
Bagi kaum Puritan kebutuhan untuk
bertobat adalah hal yang utama dalam spiritualitasnya. Bagi mereka pertobatan adalah hal yang
penting karena melalui pertobatan yang sesungguhnya barulah manusia dapat
diubahkan (in order to be converted) dan
kebutuhan untuk bertobat supaya bisa disucikan setiap hari (in order to be
sanctified every day).[24] Bahkan
dapat dikatakan melalui pertobatan yang
sungguh seseorang dapat memiliki persekutuan yang intim dengan Kristus dan menerima anugerah Allah, sebagai umat pilihan Allah.
Kaum
Puritan mendefinisikan pertobatan dalam tiga bagian; Pertama, orang yang bertobat adalah menyadari keberdosaan kehinaan
dirinya dihadapan Allah. Kesadaran akan keberdosaan ini tidak sekedar merasa
tahu tetapi harus menyadari dengan
sungguh-sungguh bahwa ia sangat berdosa
dan dosa menyebabkan hidupnya menderita, susah, sedih dan membahayakan dirinya namun
dibalik semuanya itu Allah telah
menyatakan anugerahnya melalui Yesus
Kristus. Langkah kedua, dalam
pertobatan adalah merasa sedih atas dosa dan membenci dosa. Merasa sedih adalah
suatu perasaan malu terhadap dosa, sebagaimana di paparkan di dalam katekismus Westminster. Langkah ketiga dari pertobatan
adalah kembali kepada Allah dengan satu komitmen dengan ketaatan yang baru.
Istilah yang sering dipakai dalam kekristenan adalah hidup baru sedangkan bagi
kaum Puritan menekankan pada perubahan tingkah laku.[25]
Bagi Puritan pertobatan adalah mengetahui di
dalam pikiran kita bahwa kita kotor, menggenaskan dan dalam posisi berbahaya karena diambang kebinasaan. Dengan demikian memunculkan perasaan malu
terhadap dosa, membenci dosa dan akhirnya lari ke salib Kristus atau meminta
pengampunan di dalam Yesus Kristus. Jadi pertobatan diperlukan untuk perubahan
(conversion), penyucian dan pada akhirnya memperoleh damai sejahtera, sukacita
dan kebebasan.[26]
Dalam
khotbah-khotbah para tokoh Puritan, dengan tegas menyerukan pertobatan, salah
satu pengkhotbah dan teolog besar Puritan Jonathan Edward dalam khotbahnya
sangat menekankan pertobatan. Dalam khotbahnya
Jonathan Edward berkata bahwa “murka Allah seperti aliran air yang deras yang
berusaha dibendung, dan bendungan itu harus terus dinaikan dan dinaikan untuk
menghentikan aliran itu, dan sekuat apapun bendungan itu, akhirnya akan jebol
juga.”[27] Maksud dari Jonathan Edward adalah bahwa
ketika seseorang tidak meresponi berita
pertobatan dan tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang berdosa maka murka Allah akan terjadi atas orang
tersebut dan ia akan terhilang serta mengalami kematian kekal.
2.
Metode mempelajari
Alkitab
Hal kedua dari spiritual Puritan adalah berhubungan dengan metode
mempelajari Alkitab. Bagi kaum Puritan
Alkitab adalah sumber utama dan terutama
dari segala aspek kehidupan orang
percaya. Puritan menjadikan Alkitab sebagai
pedoman utama dalam tatanan hidup mereka
baik dalam ekonomi, politik, sosial,
relasi dengan sesama, keluarga dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal ini, maka mereka begitu serius dan giat dalam
mempelajari Firman Tuhan.
Salah satu metode Puritan dalam mempelajari Alkitab
adalah dengan menanyakan satu pertanyaan “Apa yang harus
kita cari dalam Alkitab?” untuk menjawab hal ini William Tyndale, menyatakan
bahwa ada tiga jawaban yang dilakukan oleh kaum Puritan dalam usaha untuk
mempelajari Alkitab. Pertama, mencari hukum atau perintah-perintah Allah. Tujuannya agar mereka tahu akan hukum
Allah dan mereka akan taat. Namun tidak sampai disitu, biasanya ada pembimbing yang akan bertanya “Apakah Allah memaksa kita
untuk taat hukumnya atau saya melakukan dengan sukarela atau kemauan sendiri?” Jawaban
mereka bahwa Allah ingin manusia menaati hukumnya secara sukarela. Kedua,
mencari janji Allah. Ini berkaitan dengan keselamatan,
kehadiran Allah, berkat Allah, penghiburan dari Allah. Dengan pertanyaan ini
membawa orang percaya kepada satu pemahaman yang holistik terhadap Allah yang mereka sembah.
Allah yang disembah adalah Allah yang tidak pernah meninggalkan mereka sesuai
dengan janji-janji-Nya.[28]
Bagi Puritan hukum dan janji atau anugerah berjalan bersama-sama, oleh sebab itu secara
sederhana pola pendekatan mereka terhadap Alkitab sebagai berikut; hukum +
janji = Injil. Hukum + janji = perjanjian anugerah. Ketiga, Mencari contoh atau teladan. Kaum Puritan melihat Alkitab sebagai pola atau contoh mengenai karya Allah di dalam hidup manusia
baik masa lalu maupun saat ini. Menurut mereka bahwa karya dan
tindakan Allah terhadap umat-Nya dan
tokoh-tokoh Alkitab pada zaman PL
maupun PB juga berlaku hari ini. Mereka akan selalu melihat paralel dan
teladan-teladan antara apa yang terjadi dalam zaman Alkitab dengan apa yang
akan terjadi bagi umat Tuhan hari ini. Sebagai contoh, jika Allah bertindak dan
berkarya bagi umat Israel pada zaman PL, maka saat ini Yesus Kristus sedang
berkarya di tengah umat-Nya hari ini, karena Yesus adalah kepala gereja.[29]
Dari pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa kaum puritan tidak hanya mempelajari Alkitab untuk memenuhi kepuasaan
intelektual semata tetapi selalu disinkronkan dengan pola hidup mereka sebagai
murid Kristus dalam usaha untuk memuliakan Kristus melalui sikap hidup benar sesuai dengan ajaran Firman Tuhan.
3. Khotbah
Dalam
usaha untuk membangun suatu spiritualitas yang baik, bagi Puritan khotbah menjadi unsur terpenting
dalam membangun kerohanian jemaat. Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa
khotbah-khotbah Puritan adalah
khotbah-khotbah yang sungguh-sungguh membawa jemaat bertumbuh dalam kerohanian.
Khotbah-khotbahnya selain berisi
doktrin-doktrin yang kuat tetapi juga dipenuhi dengan aplikasi-aplikasi praktis yang
menyebabkan para pendengar merasa ditegur, ditantang dan yang tidak kalah
penting disetiap khotbahnya selalu disampaikan mengenai dosa dan perlunya suatu
pertobatan pribadi.
Minimal ada 3 karakteristik
khotbah-khotbah kaum Puritan, pertama; khotbahnya
didasarkan pada Alkitab. Untuk hal ini,
kita dapat melihat beberapa statement
dari beberapa tokoh Puritan;
Edward Dering seorang tokoh Puritan berkata,
“Hamba Tuhan yang setia, seperti Kristus, adalah orang yang hanya
berkhotbah dari Alkitab saja.”[30] Seorang pengkhotbah terkenal John Owen
menyetujuinya dengan berkata, “Tugas utama dan prinsip dari seorang Gembala
adalah memberi makan kepada domba-dombanya dengan khotbah yang berasal dari Alkitab.”[31] Miller Maclure katakan bahwa bagi kaum
Puritan, khotbah tidak boleh memutarbalikan Kitab Suci, namun secara literal
harus berasal dari dalam Alkitab; bukan
teks di dalam khotbah, namun khotbah di dalam teks.[32] Henry
Smith yang juga adalah pengkhotbah Puritan berkata kepada jemaatnya, “Kita
harus selalu menempatkan Firman Allah di depan kita sebagai aturan hidup, dan
tidak mempercayai yang lain selain apa yang diajarkan Alkitab, tidak mengasihi
yang lain selain yang ditentukan Alkitab, tidak membenci yang lain selain yang dibenci
Alkitab, tidak melakukan yang lain selain yang diperintahkan oleh Alkitab.”[33]
Kedua;
Khotbah-khotbah kaum Puritan berisi doktrin-doktrin yang kuat, mereka meyakini
bahwa dalam setiap bagian firman Tuhan ada satu atau dua doktrin.[34] Kaum Puritan mempercayai bahwa doktrin adalah suatu yang esensial dalam
pertumbuhan kerohanian orang percaya. Seorang tokoh Puritan W. A Criswell menggambarkan pentingnya doktrin seperti kerangka tulang dalam anatomi tubuh manusia dan praktek
hidup kita sebagai daging-daging
yang membalut tulang itu sehingga
kerangka tulang itu menjadi indah untuk dipandang. Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa kita akan menjadi makhluk aneh tanpa susunan
kerangka tulang ini. Seperti halnya
kerangka tulang ini sangat dibutuhkan, begitu juga doktirn adalah sangat
penting.[35]
Ketiga; Menyerukan
praktek hidup sesuai dengan Firman Tuhan. Bagi Puritan, khotbah harus mampu
untuk mentransformasi kehidupan orang percaya. Oleh sebab itu yang menjadi
tujuan khotbah Puritan adalah bagaimana Firman Tuhan dapat dipraktekan oleh
setiap orang Kristen dan dapat mengubah hidup mereka. Salah satu pengkhotbah
Puritan pada masa kebangunan rohani pertama Puritan, George Whitefield, dalam khotbah-khotbahnya sangat menyentuh hati
orang-orang berdosa sampai mereka sendiri mengakui kenyataaan bahwa mereka
adalah orang berdosa. Bahkan melalui khotbahnya para pendengar dapat mengakui dan
sungguh-sungguh menyadari bahwa mereka
adalah orang hidup dalam natur keberdosaan dan berada diambang kebinasaan.
Pengkhotbah Puritan lainnya, Richard Baxter menegaskan bahwa orang-orang yang
sudah mengalami konviksi harus melangkah menuju pertobatan sejati, yaitu change of
mind,change of heart, change of life, change of affection.[36]
4.
Keyakinan akan
keselamatan
Penekanan mengenai keyakinan terhadap keselamatan menjadi
suatu yang penting dalam usaha untuk membangun konsep spiritualitas Puritan.
Sebagian besar kaum Puritan percaya bahwa untuk memperoleh keyakinan akan
kepastian keselamatan seseorang harus berjuang dengan keras. Menurut mereka
bahwa pertama kali seseorang percaya pada Yesus ia memiliki iman namun itu
adalah iman permulaan dan lemah. Iman yang lemah namun ada satu kepastian di
dalamnya. Tetapi iman yang lemah bukanlah iman yang dewasa. Hanya dalam iman
yang dewasa seseorang akan memiliki kepastian yang sesungguhnya mengenai
keselamatan. Dasar kepastian tersebut adalah janji Allah di dalam Alkitab,
kesaksian Roh Kudus di dalam hati kita dan bukti-bukti di dalam hidup berupa
anugerah Allah yang nyata.[37]
Dari kerangka formasi spiritual
tersebut maka mereka berusaha untuk
mempraktekan satu disiplin rohani.
B. Praktek-praktek
disiplin rohani kaum Puritan
Praktek
disiplin rohani adalah suatu usaha untuk membangun, memperkuat dan memperdalam
hubungan orang percaya dengan Allah. Disiplin rohani adalah usaha untuk memperdalam
keintiman antara orang percaya dengan Allah. Praktek-praktek
disiplin rohani secara umum hampir sama dikalangan Kristen namun
praktek-praktek disiplin rohani bagi Puritan
memiliki suatu
keistimewaan tersendiri yang mungkin sulit untuk ditemukan dikalangan Kekristenan
hari ini. Sehubungan dengan hal ini,
Matthew McMahon berkomentar:
“kaum puritan adalah raksasa dalam hal spiritual sedangkan kekristenan hari ini
spiritualnya begitu kerdil karena praktek-praktek spiritualitas hari ini hanya
sebatas pengetahuan dan ritualitas agama.”[38]
Setidaknya spiritualitas Puritan memiliki dua
keistimewaan: 1) Mereka mengetahui Alkitab mereka dengan baik dan
akibatnya mampu menulis dan mendalami Alkitab 2) Mereka menempatkan
pengetahuan mereka tentang Kristus ke dalam tindakan kehidupan praktis dalam
segala aspek hidup mereka.[39] Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa seluruh
hidup mereka adalah bersifat holistik, integral dengan semua sisi
hidupnya. Puritan memahami bahwa semua
aktivitas hidupnya sebagai suatu yang
sakral yang ditujukan bagi kemuliaan Tuhan.[40]
Dalam usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip Alkitab, mereka menuntut diri dengan satu kerinduan untuk hidup kudus, merindukan pengalaman
spiritual yang murni berasal dari Allah, berusaha memberikan hidup mereka untuk
kerajaan Allah serta memepertahankan kemurnian ajaran Alkitab dalam setiap
bidang kehidupan.[41] Untuk mencapai hal ini
maka mereka berusaha untuk menerapkan satu displin rohani.
Adapun
praktek-praktek disiplin rohani mereka
adalah sebagai berikut:
1. Doa
Bagi Puritan doa adalah suatu yang penting oleh sebab itu
tidak mengherankan dalam banyak literatur-literaturnya membahas tentang
bagaimana kehidupan doa seorang Puritan.[42] Salah satu tokoh Puritan Lewis
Bayly dalam bukunya The practice
of Piety ada bab-bab yang membahas mengenai pengaturan waktu berdoa, mulai dari doa pagi, doa malam, saat
teduh, doa bersama keluarga, doa puasa, doa untuk orang sakit dan doa yang
lain.[43] Doa yang dimaksud disini adalah bukan sekedar
suatu doa bersifat rutinitas tetapi sesuatu doa yang keluar dari hati yang
merindukan adanya persekutuan dengan
Allah (union with God). Suatu kesadaran dan kerinduan yang besar agar setiap sisi kehidupan mereka selalu
memandang Kristus dan untuk menikmati kemuliaan Tuhan. Doa bagi Puritan dipahami sebagi suatu pengalam dengan Allah
atau mengalami Allah, hidup dengan Allah
dan menikmati kehadiran Allah.
2. Membaca dan merenungkan Firman
Tuhan
Sebagaimana diatas telah dijelaskan bahwa Alkitab adalah
merupakan dasar dari setiap aspek hidup kaum Puritan, oleh sebab itu kaum
Puritan sangat antusias dalam menuntut diri mereka dalam membaca dan
mempelajari Firman Tuhan. Hal ini
dilakukan agar Firman Tuhan
menyerap setiap sisi kehidupan mereka, pola pikir serta segala bidang hidupnya
menuju kepada proses pengudusan. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kaum
Puritan membaca Alkitab setiap hari
minimal sebanyak 15 pasal. Setiap
keluarga memiliki waktu bersama untuk
membaca dan merenungkan Firman Tuhan setiap hari. Bahkan mereka akan begitu nyaman mendengar khotbah
berjam-jam pada hari minggu.[44]
3. Retreat dan Kontemplatif
Retreat dan kontemplatif adalah salah satu bentuk
disiplin rohani yang dilakukan oleh kaum
puritan. Retreat dan kontemplasi
pada awalnya dilakukan sebagai bentuk
reaksi terhadap formalitas ibadah
pada waktu itu.[45] Berdasarkan definisinya kontemplatif artinya
merenung dan memandang. maka tujuan dari retreat dan kontemplatif adalah merenungkan, menyelidiki, mengalami kehadiran
Allah dan memandang hanya kepada Allah untuk menumbuhkan keyakinan seseorang
kepada Allah.[46]
Retreat dan kontemplatif dilakukan
ditempat yang tenang dan jauh dari keramaian untuk dapat menikmati kehadiran
Allah serta merenungkan kebaikan dan
kasih Allah.
Bagi kaum Puritan abad ke 16 seperti Isaac Ambrose,
praktek retreat dan kontemplatif dilakukan setahun sekali selama satu bulan. Bagi
Ambrose, melalui retreat dan kontemplatif semakin menyadarkan dirinya untuk
hidup bergantung pada Roh Kudus serta menuntun dirinya untuk menyadari akan
dosa-dosanya dan akhirnya ia mengalami penyegaran dan membawanya ke dalam
persekutuan yang lebih pribadi dengan Allah.
Selain hal itu, ia merasakan bahwa melalui retreat dan kontemplasi dapat menolong dirinya untuk dapat menghadapi
semua pergumulan dan tantangan dalam pelayanannya. Demikian juga melalui retreat dan
kontemplasi menuntun dirinya untuk
berdoa dengan berani serta dapat dengan sabar
menanti Tuhan menjawab doa-doanya.[47]
Tokoh
Puritan lainnya, Jonathan Edwards
menyatakan bahwa perlunya displin
rohani diantaranya adalah kontemplasi.
Baginya melalui kontemplasi ia dapat
mengalami pertemuan dengan Allah, pengalaman bersama Allah yang digambarkan sebagai suatu dimensi yang tidak terkira
(transcends sensation it self).[48]
4. Meditasi
Praktek meditasi disini adalah suatu
bentuk praktek disiplin rohani yang
dilakukan oleh Puritan sebagai cara untuk mengoreksi diri, namun tidak sama dengan solitude, berdiam diri dan introspeksi. Meditasi bagi
Puritan berdasarkan isi Alkitab,
bukan sekedar mengosongkan pikiran,
membayangkan gambar Yesus Kristus di hadapan mereka. Meditasi bagi Puritan adalah merenungkan Firman Tuhan, dan
membiarkan Firman Tuhan mengoreksi hidup mereka.
Seorang tokoh Puritan Isaac Ambrose yang
mempraktekan disiplin rohani meditasi, menyatakan bahwa meditasi adalah bentuk
latihan spiritual yang mendasar tidak sekedar membaca dan merenungkan Firman
Tuhan tetapi menyangkut perenungan akan semua aspek hidup.[49]
Ibadah bagi Puritan adalah pada dasarnya adalah doxology
yaitu memberikan segala kemuliaan,
hormat, pujian pengagungan kepada Allah.
Dalam pengertian yang luas
bahwa kesalehan sejati berasal dari suatu ibadah. Sebagaimana dikatakan oleh Swinock:
Worship
comprehends all that respect which man oweth and giveth to his maker...it is
the tribute which pay to the king of kings, whereby we acknowledge his
soveregnity over us, and our dependence on him... All that inward reverence and
respect, and all that outward obedience and service to God, which the word (sc, godliness) enjoined, is included in this
one word worship.[51]
Ibadah bagi
Puritan menunjukan suatu persekutuan
dengan Tuhan, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk seperti doa,
adorasi, mediasi, iman, pujian dan menerima intstruksi Firman Tuhan baik secara
umum maupun pribadi.[52] Sedangkan ruang lingkup ibadah puritan di
bagi tiga: pertama
ibadah public didalam gereja lokal, kedua, ibadah dalam lingkaran keluarga, tiga, private atau pribadi, ditempat-tempat
tertentu seperti dikamar, di tempat yang jauh dari keramain danlainsebagainya.[53]
Selain bentuk-bentuk ibadah diatas, Puritan juga memahami bahwa ibadah atau worship menyangkut keseluruhan aspek hidup yaitu mengalami
Allah, hidup bersama Allah, berjalan dalam ketaatan kepada Allah atau berusaha
menghidupi kehidupan Kristen (the normal life of Christian). Ibadah adalah
suatu persiapan untuk ibadah yang sesungguhnya di dalam hidup keseharian. Sebagaimana dikatakan oleh Robert Webber:
'Worship
is the rehearsal of our relationship to God. It is at that point through the
preaching of the Word and through the administration of the sacrament, that God
makes himself uniquely present in the body of Christ. Because worship is not
entertainment, there must be a restoration of the incarnational understanding
of worship, that is, in worship the divine meets the human. God speaks to us in
his Word. He comes to us in the sacrament. We
respond in faith and go out to act on it!' [54]
Ibadah yang dilakukan oleh kaum Puritan, apakah ibadah
publik, keluarga maupun pribadi adalah
suatu bentuk persiapan untuk memasuki ibadah yang sesungguhnya yaitu
dalam kehidupan keseharian. Tetapi bukan berarti ibadah formal tidak
penting. Bagi Puritan ibadah yang berbentuk formal
(publik) adalah waktu yang tepat
untuk bertemu dengan Allah atau menikmati kehadiran Allah. Karena ibadah adalah wujud kehadiran Allah, maka mereka sangat menekankan pentingnya persiapan
hati untuk beribadah secara khusus dalam
ibadah pada hari minggu atau Lord’s day
holy, oleh sebab itu ibadah bagi Puritan bukanlah suatu formalitas dan
rutinitas tetapi sesuatu yang keluar dari dalam dirinya sebagai ungkapan
kerinduan untuk bersekutu dengan Tuhan[55].
6. Ibadah
keluarga
Kaum Puritan
meyakini bahwa pertumbuhan kerohanian yang paling utama adalah dari
keluarga. Oleh sebab itu ibadah keluarga menjadi satu wadah yang baik
dalam membentuk kerohaniaan seseorang. Keluarga dilihat sebagai satu unit katekisasi
untuk seisi keluarga belajar Firman Tuhan, dimana kepala keluarga yang menjadi
pelayan atau imam. Kaum Puritan
mengadakan ibadah keluarga dua kali
sehari, didalamnya mereka membaca Firman
Tuhan dan berdoa. Ibadah ini dalam
bentuk informal tetapi mereka sungguh-sungguh menyembah dan melayani Tuhan setiap hari. Orang tua
mengajar anak-anaknya Kitab suci, bagaimana berdoa dan melayani.[56]
TINJAUAN TEHADAP SPIRITUALITAS
PURITANISME
Dalam
meninjau akan formasi spiritual Puritan, penulis membagi atas tiga komponen penting, yaitu:
1.
Spirtualitas
Puritan memberi penekanan yang kuat terhadap kesalehan eksperimental.
Semua praktek disiplin rohani yang dilakukan oleh Puritan,
selalu mengarah kepada satu pengalaman
bersama Tuhan, menghadirkan Tuhan, menikmati kehadiran Tuhan dan bagaimana
menghidupi Tuhan didalam setiap aspek hidup mereka. Kesalehan
praktis atau ekperimental Puritan
dijewantakan melalui suatu ungkapan iman
dalam sikap hidup yang terilhami oleh prinsip “to glory God and to enjoy forever”. Prinsip
ini menjadi dimensi pendorong bagi Puritan untuk membangun satu kehidupan
yang selaras dengan Alkitab yang dipercaya sebagai standar, pedoman dan perilaku
hidup kaum Puritan.
Secara
sederhana Puritan mengamini bahwa iman harus nyata dalam pengalaman atau dialami, dselain itu iman harus
mentrasformasi hidup seseorang untuk membawa kepada satu pertobatan
sejati yang dapat dilihat dari perubahan yang signifikan dalam hidup
seseorang yaitu change
of mind,change of heart, change of life,
and change of affection.
Penekanan
yang kuat terhadap kesalehan eksperimental adalah sesuai dengan Firman Tuhan, dalam Yakobus 1:12-13 “hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya
pendengar saja, ... sebab jika seseorang
hanya mendengar firman saja dan tidak
melakukannya, ia adalah seumpama, orang
yang sedang mengamat-amati mukanya di depan cermin. Selain itu, penekanan pada
bagian ini juga selaras dengan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus dalam Roma 11:36, yang menyatakan akan tujuan utama hidup
manusia adalah untuk hidup bagi Allah
dan untuk kemuliaan Allah.
2. Spiritualitas Puritan menekankan mengenai keseimbangan
antara inward dan outward
Keseimbangan
antara apa yang di dalam dirinya (heart)
dan sikap hidup luar, merupakan penekanan dari spiritualitas
Puritan. Puritan berusaha untuk
menyeimbangkan antara kesucian hati dan
perilaku hidup yang sesuai dengan status mereka sebagai murid Kristus. Dalam segala aktivitas disiplin rohani seperti ibadah, doa, perjamuan Kudus, dan lain-lain, semua dilakukan
dengan satu penekanan pada motivasi hati untuk bersekutu dengan Kristus (union with Christ). Penekanan tersebut nampak melalui displin
rohani dan ibadah-ibadah yang dilakukan mereka.
Segala aktivitas kerohanian
Puritan tidak sekedar memenuhi suatu kewajiban agama secara eksternal atau formalitas. Namun Puritan berusaha untuk menghidupi Allah
dalam hidupnya, sebagai murid Kristus yang terus bertumbuh dan hidup dalam
anugerah Allah melalui sikap hidup yang benar di dalam bersikap bertindak dan berperilaku (outward).
Perbuatan
nyata ini adalah wujud
dari kerinduan untuk hidup seperti Kristus dan meneladani-Nya yang
merupakan refleksi hidup yang sesuai dengan karakter Kristus. Demikian juga pengetahuan tentang Allah yang
diformulasikan melalui doktrin-doktrin yang kuat diimbangi dengan sikap hati
yang memuliakan Allah (To Glory God). Penekanan
yang kuat terhadap doktrin-doktrin tidak sekedar suatu pengetahuan kognitif
tetapi dibarengi dengan sikap hati yang
berusaha untuk mengaplikasikan pemahaman tersebut didalam kehidupan yang benar.
Penekanan
spiritual Puritan mengenai keseimbangan antara inward dan outward didasarkan pada pemahaman Firman Tuhan bahwa
spiritualitas berasal dari
inisiatif Allah yang diresponi oleh
manusia sesuai dengan iman yang dianugerahkan kepadanya. Anugerah Allah
memungkinkan terjadinya transformasi pada diri seseorang untuk menjadi serupa
Kristus (Roma 12:1-2; Gal.4:19) yang dikerjakan oleh Roh Kudus (Tit.3:5),
sehingga manusia kembali dimungkinkan untuk menjadi gambar Allah untuk
mempermuliakan Allah sesuai dengan tujuan Allah menciptakan manusia sejak penciptaan (Ef. 2:1-10).
3.
Spiritualitas Puritan menekankan keseimbangan
personal dan komunal
Dalam
kaitan dengan spiritualitas, Puritan sangat menekankan keseimbangan antara personal dan komunal. Puritan memahami bahwa spiritualitas bersifat pribadi, namun dengan demikian bukan
berarti mereka melalaikan akan spiritualitas yang bersifat komunal. Puritan
selalu melihat bahwa perjalanan iman
seseorang tidak lepas dari persekutuan sesama
orang percaya. Setiap orang percaya
saling bergantung satu sama lain. Seseorang
dapat bertumbuh dalam iman dan
kerohanian tidak lepas dari bimbingan,
dorongan
dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.
Penekanan pada
keseimbangan antara spiritualitas secara
personal dan komunal didasarkan pada pemahaman eklesiologis di mana orang percaya adalah bagian dari tubuh
Kristus yang memiliki satu kesatuan saling melengkapi, menguatkan, mendorong
dan saling membutuhkan sesuai dengan
karunia yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada masing-masing orang percaya untuk
membangun tubuh Kristus (I Kor. 12:1-31). Tuhan Yesus juga menyatakan hal yang sama
dalam Yoh. 15:15, bahwa Ia adalah pokok anggur dan setiap orang percaya adalah ranting-ranting-Nya.
KESIMPULAN DAN REFLEKSI
Spiritualitas
Puritan merupakan suatu bentuk formasi spiritualitas yang sesuai dengan FirmanTuhan. Puritan memahami bahwa
spiritualitas Kristen tidak berawal dari hadirnya seseorang ditempat ibadah
atau terlibatnya seseorang dalam berbagai aktivitas keagamaan. Dengan kata lain,
aktivitas keagamaan bukan
merupakan tolak ukur kedewasaan rohani
atau tingkat kerohanian seseorang. Bahkan perubahan
status seseorang dari orang berdosa dan menerima anugerah
keselamatan tidak serta merta menjadikan seseorang dewasa dalam
kerohanian. Bagi Puritan seorang yang telah menerima anugerah
keselamatan atau sebagai orang pilihan Allah akan nampak dari sikap hidup yang
benar sesuai dengan imannya.
Pendekatan
spiritual puritan dapat disimpulkan dalam tiga hal yang penting, yaitu: pertama menekankan pada kesalehan eksperimental; kedua, keseimbangan antara inward dan outward; dan ketiga
keseimbangan antara personal dan
komunal. Menurut penulis ketiga
karakteristik ini merupakan suatu pendekatan spiritualitas yang ideal yang merupakan warisan rohani yang seharusnya
dipertahankan atau diwarisi oleh gereja
atau orang Kristen saat ini.
Sehubungan dengan itu, maka penulis akan memaparkan
beberapa bahan refleksi dan
perenungan bagi orang percaya dan
gereja:
1.
Apa pemahaman atau gambaran gereja mengenai spiritualitas?
2.
Apakah gereja
dan orang percaya sangat
menekankan spiritualitas dan
disiplin rohani?
3.
Bagaimana orang percaya dan gereja
melaksanakan disiplin rohani?
4.
Gereja dan orang percaya harus meneladani
disiplin rohani yang dilakukan oleh kaum Puritan.
5.
Gereja perlu mengevaluasi kembali pola-pola
pembinaan jemaat yang hanya menekankan head
dan melalaikan heart.
6.
Formasi spiritualitas dan
pola-pola disiplin rohani yang dilakukan oleh Puritan, sangat relevan
untuk diterapkan bagi gereja-gereja hari ini, agar gereja kembali kepada tujuan
Allah yaitu untuk memuliakan Allah.
Kiranya
melalui pembahasan spiritualitas Puritan,
dapat membuka wawasan orang percaya dan gereja hari ini dalam membangun suatu spiritualitas yang sesuai
dengan Firman Tuhan. Semoga warisan
spiritualitas Puritan ini bisa menjadi pola bagi orang percaya dan gereja sat
ini dalam membangun suatu spiritualitas
yang berkenan kepada Tuhan. Akhirnya Soli Deo Gloria.
KEPUSTAKAAN
A.
Buku
Benneth
Arthur (ed.) The Valley of Vision: A
collection of Puritan Prayers and Devotion. Edinburgh:
The Banner of truth trust, 1983.
Bunyan,
John The Intercession of Christ: A
Puritan’s View of Christ’s Mediating Work. Ross-shire:
Christian Focus, 1998.
Beeke,
Joel R. Puritan Evangelism. Grand
Rapids:Michigan, Reformation Heritage Books, 1999.
_______. “The Puritan Practice of Meditation,” in Puritan
Reformed Spirituality. Grand Rapids:
Reformation Heritage
Press, 2004.
Derings M. Workes New York: Da
CapoPress, 1972.
Grenz
Stanley J. Revisioning Evangelical
Theology; A Fresh Agenda for the 21st Century. Illionis:
Intervarsity .
Gore, R.J Covenental
Worship: Reconsidering the Puritan Regulative Principle. New Jersey: P&R Pub.
2002
McKeechnie,
Jean L. Webster’s New Twentieth Century
Dictionary of the English Language
Unabridged. Cleveland: Collins World
Publ. 1975.
Miller,
Perry G. The American Puritans:
Their Prose and Poetry, Columbia University Press, 1956.
Maclure,
Miller The Paul’s Cross Sermons, (1534-1642). Toronto: Universityof
Toronto Press, 1958.
Owen,
John The Works of John Owen,
ed. William H. Goold (1853);
London: Banner of Truth Trust,
1965
Purwanto,
Edi Petter Back To Puritan Revival. Tangerang :STT Injili
Philadeplphia, 1996.
Packer
J.I. A
Quest For Godlines: The Puritan Vision of the Christian Life. Wheaton:
Crossway
books, 1990.
Simonson,
Harold
P. Jonathan Edwards: Theologian of Heart
. Grand Rapids/Michigan: William B.
Eerdmans pub. 1974
Salim, Yeni Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Modern English press, 1991. ..
Smith
Thomas (ed). “Food for New-Born Babes,” in The Works of Henry Smith, Edinburgh:
James
Nichol. tt.
Sandra
M. Schneiders, “Christian Spirituality, Definition,
methods and types,”: in The New
Westminster Dictionary
of Christian Spirituality, ed. Philip Sheldrake
. Louisville: WJK Press,
2005.
B.
Jurnal
Tom Scwanda,
“Hearts Sweetly Refreshed":
Puritan Spiritual Practices Then and Now” Journal of
Spiritual
Formation & Soul Care (2010) Vol. 3,
No. 1, 21–41 Biola University: Institute of
Spiritual
Formation.
C.
Internet
Heruarto,
“The Puritans: Deep Thingking and Deep
Spirituality” http://www.buletinpillar.org/artikel
Jonathan
Edward, “Sinners
in the Hands of an Angry God,”
www.jonathanedwards.com/sermons/Warnings/sinners.htm
Michael Downey, “Understanding Christian Spirituality: Dress Rehearsal for a Method “
Tom
Scwanda, “Hearts Sweetly refreshed:
Puritans Spiritual Practices Then and Now”
http://reformedspiritualitynetwork.org/.
Yakub
Tri Handoko, “Reformasi DI Inggris (Puritan) “
http://www.gkri-exodus.org
[2] Yeni Salim, Kamus Bahasa
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English press, 1991)
[3] Jean L.McKeechnie, Webster’s New
Twentieth Century Dictionary of the English Language Unabridged Cleveland: Collins
World Publ. 1975.
[4] Sandra M. Schneiders, “Christian
Spirituality, Definition, methods and types,”: in The New Westminster
Dictionary of Christian Spirituality, ed. Philip Sheldrake (Louisville: WJK Press, 2005) 1.
[5]
Micahel Downey, “Understanding
Christian Spirituality:
Dress Rehearsal for a Method “ [http://www.spiritualitytoday.org/spir2day/91433downey.html]
[7] Tom Scwanda, “Hearts Sweetly Refreshed": Puritan
Spiritual Practices Then and Now” Journal of Spiritual Formation & Soul Care (2010)
Vol. 3, No. 1, 21–41 Biola
University: Institute of Spiritual Formation.
[9] Edi Petter Purwanto, Back To
Puritan Revival (Tangerang :STT Injili Philadeplphia, 1996) 29.
[11]Samuel
Ling, “Tradisi Spiritualitas Puritan” http://www.buletinpillar.org/transkrip/tradisi-spiritualitas-puritan-bag-ii#hal-5 (akses Nov. 2012).
[16]Ibid.
[17]Ibid.
[20] Kaum Puritan sangat menekankan tentang covenant of grace. Perjanjian antara
Allah Bapa dan Allah Anak, dimana Allah Anak menjadi pengantara atau mediator
antara Allah Bapa dan manusia. Perjanjian anugerah mempunyai dua pihak. Pihak yang pertama adalah
Allah. Allah membuat perjanjian dengan siapa? Pihak kedua. Allah membuat
perjanjian dengan Yesus Kristus dan setiap orang yang ada di dalam Kristus.
Yesus Kristus mewakili pihak kedua, yaitu setiap orang yang dipilih dan yang
dipersatukan di dalam Yesus Kristus. Tentu saja mediator mewakili orang-orang
di hadapan Allah, sehingga dia bukan hanya ada di satu pihak. Dan mediator itu
adalah Allah. Bnd. John Bunyan, The Intercession of Christ: A Puritan’s View of Christ’s Mediating
Work. (Ross-shire: Christian Focus, 1998) 15-30.
[22]
Konsep sanctification bagi kaum Puritan
berkaitan dengan tujuan hidup
orang Kristen di dunia ini. Bagi mereka tujuan hidup orang Kristen yang
tertinggi adalah memuliakan Allah. Oleh
sebab tuntutan hidup kudus merupakan suatu yang penting bagi kaum Puritan.
Sebagaimana di tulis dalam Short
Cathecism bahwa menjadi tujuan
tertinggi manusia adalah memuliakan Dia dan menikmati Dia
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Jonathan
Edward, “Sinners
in the Hands of an Angry God,” www.jonathanedwards.com/sermons/Warnings/sinners.htm
[31] John Owen, The Works
of John Owen, ed. William H. Goold (1853; London: Banner of Truth
Trust, 1965), 74
[32] Miller Maclure, The Paul’s Cross Sermons,
1534-1642 (Toronto: Universityof Toronto Press, 1958), 165.
[33] Thomas Smith (ed). “Food for New-Born Babes,” in The Works of Henry
Smith, (Edinburgh: James Nichol, 1866), 494.
[35]
Purwanto, Back To Revival Puritans” (Tangerang: STT Injili Philadelphia,
1996) 32-33.
[36]
ibid, 34-35.
[38] Ibid.
[39] Heruarto, “The Puritans: Deep Thingking and Deep Spirituality” http://www.buletinpillar.org/artikel/
[41]Purwanto, 33.
[42] Salah satu literatur yang
membahas mengenai doa dan devosi Puritan
yaitu The Valley of Vision: A collection
of Puritan Prayers and Devotion. Arthur Benneth ed. (Edinburgh: The Banner
of truth trust, 1983)
[45] J.I Packer, A Quest For Godlines: The Puritan Vision of
the Christian Life (Wheaton: Crossway books, 1990) 13.
[46] Tom Scwanda, “Hearts Sweetly refreshed: Puritans Spiritual
Practices Then and Now” http://reformedspiritualitynetwork.org/node/38
[47] Joel R. Beeke, “The Puritan
Practice of Meditation,” in Puritan Reformed Spirituality (Grand Rapids: Reformation Heritage Press, 2004), 73.
[48] Harold P.Simonson, Jonathan Edwards: Theologian of Heart
(Grand Rapids/Michigan: William B. Eerdmans pub. 1974) 26-27.
[50] Untuk dapat lebih
memahami mengenai ibadah atau worship Puritan secara konprehensif bisa dilihat
dalam; R.J Gore, Covenental Worship: Reconsidering
the Puritan Regulative Principle (New Jersey: P&R Pub. 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar