Senin, 25 Februari 2013

Tinjauan Terhadap Formasi Spiritual Puritan


TINJAUAN  TERHADAP FORMASI SPIRITUALITAS PURITAN

PENDAHULUAN
            Kata spiritualitas bukanlah sesuatu yang asing  bagi kekristenan  atau gereja. Spiritualitas adalah sesuatu yang penting  karena berkaitan  dengan    hubungan antara manusia  dengan pencipta-Nya  atau sesuatu yang Ilahi (divine). Spiritualitas   berhubungan dengan praktek-praktek agama yang berkaitan dengan usaha manusia untuk berelasi dengan Allah melalui penyembahan, doa dan  pengaggungan kepada Tuhan sang pencipta. Seorang  yang memilki spiritualitas  yang  baik  akan berdampak pada  sikap hidup dan  relasinya dengan sesama.    Namun harus diakui  bahwa secara faktual spiritualitas hari ini telah tereduksi oleh simbol-simbol agama, ritualitas dan formalitas, tanpa ada makna sebagaimana yang diharapkan oleh  sang Pencipta bagi ciptaan-Nya. Hal ini bisa dilihat dari kehidupan orang yang disebut “beragama” namun jika ditilik lebih dalam kehidupannya tidak lebih baik dari orang yang tidak beragama.  
            Hal yang lebih ironis ketika penulis mengamati bahwa banyak orang Kristen hari tidak melihat spiritualitas sebagai sesuatu yang penting bahkan gereja  sebagai institusi spiritual tidak melihat  spiritualitas sebagai suatu yang penting. Pada hal menurut penulis yang menjadi goal  atau fokus gereja  dan orang percaya  seharusnya adalah membangun spiritualitas bukan hal yang lain. Pembangunan spiritualitas menurut penulis  harus menjadi perhatian khusus dari gereja karena dengan demikian maka arah kehidupan umat Tuhan akan tertuju kepada keserupaan dengan Kristus dan hidup memuliakan Tuhan.
            Sehubungan dengan hal itu, maka melalui makalah ini penulis akan memaparkan formasi spiritualitas kaum Puritan, yang menurut hemat penulis dapat menjadi contoh   yang relevan bagi orang Kristen dan gereja saat ini dalam usaha membangun spiritualitas sebagaimana yang diharapkan oleh Tuhan, karena mereka menekankan  aspek disiplin rohani pribadi  dan juga sangat  menekankan pada kesalehan  praktis dan eksperimental.
            Adapun sistimatika penulisannya sebagai berikut; pertama  penulis akan memaparkan pengertian spiritualitas, kedua, sejarah singkat keberadaan kaum Puritan,  ketiga,  pola-pola atau formasi spiritual yang diterapkan oleh kaum puritan dan keempat  tinjauan terhadap  pola-pola yang dipakai oleh kaum puritan dalam usaha membangun kehidupan spiritual mereka, dan terakhir penulis akan memberikan  kesimpulan dan refleksi.
PENGERTIAN SPIRITUALITAS
Kata spiritualitas, seringkali di artikan   oleh orang Kristen dengan sederhana, yaitu menyangkut doa, ibadah, puasa, hidup baik  atau moralitas belaka. Namun sebenarnya spiritualitas  tidak sesempit  arti tersebut. Spiritual menyangkut segenap aspek kehidupan manusia.  Meskipun diakui  bahwa  istilah spiritualitas selalu berkonotasi atau mengarah kepada satu bentuk disiplin religius tertentu, namun tidak selamanya diartikan sebagai demikian.
 Kamus bahasa Indonesia mendefinisikan spiritual atau spiritualitas  adalah sesuatu yang berhubungan dengan  atau bersifat kejiwaan (rohani atau batin).[1]  Sedangkan kamus bahasa  Indonesia moderen mendefinisikan spiritualitas   sebagai suatu keadaan, ciri  atau kerohanian.[2]  Dan  kamus Webster  mengartikan spiritualitas; Spiritual nature, character  or quality; spiritual mindedness opposed to worldlenness and sensuality.[3] Sedangkan  Sandra Scneiders mendefinisikan spiritual  sebagai berikut:  “Spiritualitas as lived experience can be defined as conscious involvement in the project of life integration throught  self transcendence  toward the ultimate value one  perceives.[4]
Sedangkan bagi Kristen, seperti  yang dikatakan oleh Michael Downey, spiritualitas  berkenaan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman hidup Kristiani, khususnya persepsi dan upaya mencapai gagasan atau tujuan tertinggi hidup Kristiani, yaitu suatu kesatuan yang lebih intensif dengan Allah yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus melalui kehidupan dalam Roh.[5] 
SEJARAH KEBERADAAN             PURITAN
A.    Pengertian Puritan
            Pemakaian istilah “Puritan” berkaitan dengan upaya  untuk memurnikan (purify) Gereja  Anglikan yang dianggap masih belum menunjukkan tanda-tanda reformasi yang sejati di Inggris. Oleh sebab itu keberadaan kaum Puritan tidak lepas dari sejarah reformasi.  Bahkan sebagian dari Puritanisme adalah gerakan reformasi yang bersifat  lepas. Artinya, gerakan ini bukanlah  sebuah organisasi yang formal.  Puritanisme tetap adalah sebuah gerakan, bukan organisasi tetapi  suatu semangat yang kuat untuk mereformasi gereja.[6]  Semangat ini sebenarnya secara positif dilihat sebagai usaha untuk mereformasi gereja dalam hal spiritualitas.  Selain itu kaum Puritan dapat dikatakan sebagai  gerakan  devosi yang berusaha untuk memperbaharui kehidupan spiritual individu dan gereja. Hal ini nampak dalam beberapa literatur mereka yang paling deskriptif dan ekstensif mengenai formasi spiritual atau yang disebut dengan kesalehan.[7]  
            Menurut Joel R. Beeke, “Penggunaan kata Puritan bukan hanya untuk orang-orang yang dikeluarkan dari Church of England dengan the Act of Uniformity-nya pada tahun 1662, namun kaum Puritan adalah juga orang-orang dari beberapa generasi setelah Reformasi di wilayah Inggris Raya dan Amerika Utara yang berusaha mereformasi dan memurnikan gereja serta memimpin orang-orang kepada Alkitab, kehidupan yang saleh, mempertahankan konsistensi doktrin tentang anugerah.[8]
Dapat disimpulkan bahwa bangkit dan bertumbuhnya Puritan paling sedikit disebabkan oleh tiga kebutuhan utama pada zaman itu, yaitu: (1) Perlunya khotbah yang Alkitabiah dan pengajaran kebenaran; (2) perlunya kesucian personal yang menekankan pekerjaan Roh Kudus dalam iman dan kehidupan orang percaya; dan (3) pembaharuan tatacara dan pemerintahan gereja menurut Alkitab.  Oleh sebab itu, ungkapan “Puritan”  seringkali dihubungkan dengan bagaimana Kaum Puritan memberitakan Firman Allah berhubungan dengan keselamatan orang-orang berdosa dari dosa dan konsekwensinya. Keselamatan diberikan hanya oleh anugerah, diterima dengan iman. Kaum Puritan bukan hanya memberitakan Kristus  melalui kuasa Roh Kudus agar orang-orang datang kepada Allah melalui Kristus; namun mereka juga memberitakan Kristus dengan menekankan bahwa orang percaya harus bertumbuh di dalam Dia,  melayani Dia sebagai Tuhan, bersekutu dengan jemaat-Nya dan  memperluas Kerajaan-Nya di muka bumi ini.[9]
B.     Sejarah Singkat
            Sejarah keberadaan puritan dimulai pada tahun 1560 zaman Ratu Elizabet I   memerintah di Inggris. Puritan adalan  gerakan keagamaan yang berusaha untuk mereformasi gereja Inggris  sebagai usaha untuk meneruskan reformasi yang dilakukan oleh Henry VIII. Reformasi ini sangat  berdampak  bagi kondisi sosial, politik, ekonomi bahkan teologi baik di Inggris maupun di Amerika.[10]  
            Kaum Puritan beranggapan bahwa Henry VIII sudah memulai reformasi tetapi tidak menyelesaikan atau  reformasinya tidak menyeluruh.  Bahkan mereka menganggap bahwa  gereja belum sepenuhnya bertobat (converted). Mereka menemukan bahwa reformasi yang terjadi belum sampai pada tingkat yang sesungguhnya[11]  Oleh sebab itu mereka ingin mereformasi gereja Inggris dengan cara  atau sudut pandangnya sendiri.
                        Minimal ada ada dua hal yang ingin direformasi oleh kaum Puritan terhadap gereja Anglikan Inggris:
Pertama, sistem pemerintahan gereja. Golongan Puritan berusaha mengubah system pemerintahan gereja yang episcopal state (pimpinan tertinggi adalah bishop dan raja) menjadi presbyterian (pemimpin tertinggi adalah para penatua) atau congregational (pemimpin tertinggi adalah jemaat).  Konsep tentang raja Inggris sebagai pemimpin gereja dipandang sebagai bentuk lain dari kepausan yang berusaha menggabungkan kekuasaan gereja dan politis.[12]
Kedua,  dalam liturgi. Kaum Puritan melancarkan protes terhadap pelaksanaan hari raya Kristiani untuk memperingati orang-orang kudus, pemakaian berbagai ornamen yang tidak diajarkan dalam Alkitab, misalnya tanda salib maupun jubah kependetaan.  Mereka menolak penghormatan yang berlebihan terhadap materi Perjamuan Kudus yang diindikasikan dengan sikap berlutut pada waktu menerima roti dan anggur. Mereka menentang penggunaan organ dalam ibadah.  Pelaksanaan “baptisan darurat” bagi orang yang baru bertobat dalam keadaan sakit parah juga berusaha ditiadakan. Mereka juga menyoroti sikap para penganut Anglikan yang tidak terlalu menekankan penghormatan hari sabat.[13]
            Gerakan Puritan mendapat dukungan semakin besar dari masyarakat dan  lambat laun menimbulkan keresahan bagi pemerintah Inggris.  Oleh sebab itu ratu  Elizabet memberikan perhatian serius terhadap Puritanisme. Pada tahun 1593 dia mengeluarkan peraturan yang memberikan kuasa kepada pemerintah setempat untuk memenjarakan kaum Puritan apabila mereka menolak menghadiri ibadah di Gereja Anglikan.[14]
            Pada waktu James VI dari Skotlandia  menggantikan Elizabet sebagai raja Inggris (di Inggris dia disebut James I),  kaum Puritan sangat berharap banyak kepadanya, karena dia sudah dipengaruhi oleh reformasi Reformed di Skotlandia yang dipelopori John Knox, salah satu murid Calvin di Geneva. Kaum Puritan memaparkan permohonan yang ditandatangani oleh hampir 1000 rohaniwan Puritan.  Permohonan yang terkenal dengan sebutan “The Millenary Petition” (1603) ini  merupakan upaya untuk mengubah liturgi dan sistem pemerintahan gereja yang ada.[15]
Pada tahun 1604 diadakan  Hampton Court Conference  untuk membicarakan mengenai liturgi dan sistem pemerintahan gereja.  Namun James I ternyata sangat menentang usulan tersebut. Menurut dia, presbyterian tidak mungkin sejalan dengan sistem monarki. Dia bahkan mengancam akan mengeluarkan kaum Puritan dari Kerajaan Inggris apabila mereka bersikukuh pada usulan itu. Satu-satunya hasil positif dari pertemuan ini hanyalah ijin untuk membuat terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris yang baru sebagai pengganti dari versi Geneva yang sebelumnya dikerjakan oleh para penganut reformasi yang dianiaya selama pemerintahan Maria. Terjemahan ini akhirnya selesai pada tahun 1611 dan dikenal dengan nama Authorized atau King James Version.[16]
            Perbedaan pendapat antara James I dan Puritan  juga mencakup hal-hal lain di luar sistem pemerintahan gereja. Dalam bidang politik, muncul perdebatan seputar hakekat kekuasaan raja. Apakah raja diangkat langsung oleh Allah dan dan dengan demikian hanya perlu bertanggungjawab pada Allah dan bukan pada parlemen? Siapakah yang lebih berkuasa: raja atau parlemen? Dalam bidang ekonomi, perdebatan muncul seputar masalah pajak. Apakah pajak menjadi hak raja atau parlemen?[17]
            Perbedaan ini terus begulir dan semakin memburuk pada masa pemerintahan Charles I (1625-1649). Pada tahun 1629-1640 dia memutuskan untuk memerintah tanpa parlemen. Tindakan ini memicu imigrasi besar-besaran dari kaum Puritan ke Amerika dan sedikitnya 20 ribu orang meninggalkan Inggris.[18]  Imigrasi ke Amerika berdampak positif bagi kehidupan kekristenan di Amerika bahkan dampaknya mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat Amerika sampai hari ini.

SPIRITUAL PURITAN
            Keberadaan spiritualitas puritan, tidak lepas dari  pandangan teologi mereka. Secara  garis besar  ada empat penekanan  teologi  dari kaum Puritan, yaitu konsep election (pemilihan),[19] covenant of grace (perjanjian anugerah),[20]  union with Christ (persekutuan dengan Kristus)[21] dan sanctification  (pengudusan).[22]  Melalui empat penekanan teologi ini, membentuk kerangka formasi spiritual Puritan.[23]
A.    Formasi Spiritual Puritan       
Kerangka  formasi spiritual Puritanisme didasarkan kepada 4 hal:
1.      Kebutuhan untuk bertobat  (the need of repentence).
            Bagi kaum Puritan kebutuhan untuk bertobat adalah hal yang utama dalam spiritualitasnya.  Bagi mereka pertobatan adalah hal yang penting karena melalui pertobatan yang sesungguhnya barulah manusia dapat diubahkan (in order to be converted) dan kebutuhan untuk bertobat supaya bisa disucikan setiap hari (in order to be sanctified every day).[24]  Bahkan dapat dikatakan  melalui pertobatan yang sungguh seseorang dapat memiliki persekutuan yang intim dengan Kristus dan menerima anugerah Allah, sebagai umat pilihan Allah.
            Kaum Puritan mendefinisikan pertobatan dalam tiga bagian; Pertama, orang yang bertobat adalah menyadari keberdosaan kehinaan dirinya dihadapan Allah. Kesadaran akan keberdosaan ini tidak sekedar merasa tahu tetapi harus menyadari  dengan sungguh-sungguh bahwa  ia sangat berdosa dan dosa menyebabkan hidupnya menderita, susah, sedih dan membahayakan dirinya namun dibalik semuanya itu  Allah telah menyatakan anugerahnya  melalui Yesus Kristus. Langkah kedua, dalam pertobatan adalah merasa sedih atas dosa dan membenci dosa. Merasa sedih adalah suatu perasaan malu terhadap dosa, sebagaimana di paparkan di dalam katekismus Westminster. Langkah  ketiga dari pertobatan adalah kembali kepada Allah dengan satu komitmen dengan ketaatan yang baru. Istilah yang sering dipakai dalam kekristenan adalah hidup baru sedangkan bagi kaum Puritan menekankan pada perubahan tingkah laku.[25]  
Bagi Puritan pertobatan adalah mengetahui di dalam pikiran kita bahwa kita kotor, menggenaskan dan dalam posisi berbahaya karena diambang kebinasaan. Dengan demikian memunculkan perasaan malu terhadap dosa, membenci dosa dan akhirnya lari ke salib Kristus atau meminta pengampunan di dalam Yesus Kristus. Jadi pertobatan diperlukan untuk perubahan (conversion), penyucian dan pada akhirnya memperoleh damai sejahtera, sukacita dan kebebasan.[26]
            Dalam khotbah-khotbah para tokoh Puritan, dengan tegas menyerukan pertobatan, salah satu pengkhotbah dan teolog besar Puritan Jonathan Edward dalam khotbahnya sangat menekankan pertobatan. Dalam khotbahnya Jonathan Edward berkata bahwa “murka Allah seperti aliran air yang deras yang berusaha dibendung, dan bendungan itu harus terus dinaikan dan dinaikan untuk menghentikan aliran itu, dan sekuat apapun bendungan itu, akhirnya akan jebol juga.”[27]  Maksud dari Jonathan Edward adalah bahwa ketika seseorang tidak  meresponi berita pertobatan dan tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang berdosa  maka murka Allah akan terjadi atas orang tersebut dan ia akan terhilang serta mengalami kematian kekal.
2.       Metode mempelajari Alkitab
            Hal kedua dari spiritual  Puritan adalah berhubungan dengan metode mempelajari Alkitab.  Bagi kaum Puritan Alkitab adalah sumber utama  dan terutama dari  segala aspek kehidupan orang percaya.  Puritan menjadikan Alkitab sebagai  pedoman utama dalam tatanan hidup mereka baik dalam ekonomi, politik, sosial, relasi dengan sesama, keluarga dan lain sebagainya.  Sehubungan dengan hal ini, maka mereka  begitu serius  dan giat dalam  mempelajari Firman Tuhan.
            Salah satu metode Puritan dalam mempelajari Alkitab  adalah dengan  menanyakan satu pertanyaan “Apa yang harus kita cari dalam Alkitab?” untuk menjawab hal ini William Tyndale, menyatakan bahwa ada tiga jawaban yang dilakukan oleh kaum Puritan dalam usaha untuk mempelajari Alkitab.  Pertama, mencari hukum  atau  perintah-perintah Allah. Tujuannya agar mereka tahu akan hukum Allah dan mereka akan taat. Namun tidak sampai disitu, biasanya ada pembimbing  yang akan bertanya “Apakah Allah memaksa kita untuk taat hukumnya atau saya melakukan dengan sukarela atau kemauan sendiri?” Jawaban mereka bahwa Allah ingin manusia menaati hukumnya  secara sukarela.  Kedua, mencari janji Allah.  Ini berkaitan dengan keselamatan, kehadiran Allah, berkat Allah, penghiburan dari Allah. Dengan pertanyaan ini membawa orang percaya kepada satu pemahaman yang  holistik terhadap Allah yang mereka sembah. Allah yang disembah adalah Allah yang tidak pernah meninggalkan mereka sesuai dengan janji-janji-Nya.[28]
Bagi Puritan hukum dan janji atau anugerah berjalan bersama-sama, oleh sebab itu secara sederhana pola pendekatan mereka terhadap Alkitab sebagai berikut; hukum + janji = Injil. Hukum + janji = perjanjian anugerah. Ketiga, Mencari contoh atau teladan. Kaum Puritan  melihat Alkitab sebagai pola atau contoh  mengenai karya Allah di dalam hidup manusia baik masa lalu maupun   saat ini.  Menurut mereka bahwa karya dan  tindakan Allah terhadap umat-Nya dan  tokoh-tokoh Alkitab  pada zaman PL maupun PB juga berlaku hari ini. Mereka akan selalu melihat paralel dan teladan-teladan antara apa yang terjadi dalam zaman Alkitab dengan apa yang akan terjadi bagi umat Tuhan hari ini. Sebagai contoh, jika Allah bertindak dan berkarya bagi umat Israel pada zaman PL, maka saat ini Yesus Kristus sedang berkarya di tengah umat-Nya hari ini, karena Yesus adalah kepala gereja.[29]
Dari pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kaum puritan tidak hanya mempelajari Alkitab untuk memenuhi kepuasaan intelektual semata tetapi selalu disinkronkan dengan pola hidup mereka sebagai murid Kristus dalam usaha untuk memuliakan Kristus melalui sikap hidup  benar sesuai dengan ajaran Firman Tuhan.
3.      Khotbah
Dalam usaha untuk membangun suatu spiritualitas yang baik,  bagi Puritan khotbah menjadi unsur terpenting dalam membangun kerohanian jemaat. Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa khotbah-khotbah  Puritan adalah khotbah-khotbah yang sungguh-sungguh membawa jemaat bertumbuh dalam kerohanian. Khotbah-khotbahnya selain berisi doktrin-doktrin yang kuat tetapi juga  dipenuhi dengan aplikasi-aplikasi praktis yang menyebabkan para pendengar merasa ditegur, ditantang dan yang tidak kalah penting disetiap khotbahnya selalu disampaikan mengenai dosa dan perlunya suatu pertobatan pribadi.
Minimal ada 3 karakteristik khotbah-khotbah kaum Puritan, pertama; khotbahnya didasarkan pada Alkitab.  Untuk hal ini, kita dapat melihat beberapa  statement   dari beberapa tokoh Puritan; Edward Dering seorang tokoh Puritan berkata,  “Hamba Tuhan yang setia, seperti Kristus, adalah orang yang hanya berkhotbah dari Alkitab saja.”[30]  Seorang pengkhotbah terkenal John Owen menyetujuinya dengan berkata, “Tugas utama dan prinsip dari seorang Gembala adalah memberi makan kepada domba-dombanya dengan khotbah yang berasal  dari Alkitab.”[31]  Miller Maclure katakan bahwa bagi kaum Puritan, khotbah tidak boleh memutarbalikan Kitab Suci, namun secara literal harus  berasal dari dalam Alkitab; bukan teks di dalam khotbah, namun khotbah di dalam teks.[32]  Henry Smith yang juga adalah pengkhotbah Puritan berkata kepada jemaatnya, “Kita harus selalu menempatkan Firman Allah di depan kita sebagai aturan hidup, dan tidak mempercayai yang lain selain apa yang diajarkan Alkitab, tidak mengasihi yang lain selain yang ditentukan Alkitab, tidak membenci yang lain selain yang dibenci Alkitab, tidak melakukan yang lain selain yang diperintahkan oleh Alkitab.”[33]
Kedua; Khotbah-khotbah kaum Puritan berisi doktrin-doktrin yang kuat, mereka meyakini bahwa dalam setiap bagian firman Tuhan ada satu atau dua doktrin.[34]  Kaum Puritan mempercayai bahwa  doktrin adalah suatu yang esensial dalam pertumbuhan kerohanian orang percaya.  Seorang tokoh Puritan  W. A Criswell menggambarkan pentingnya  doktrin seperti kerangka  tulang dalam anatomi tubuh manusia dan praktek hidup kita sebagai daging-daging yang membalut  tulang itu sehingga kerangka tulang itu menjadi indah untuk dipandang.  Lebih lanjut ia mengatakan  bahwa kita  akan menjadi makhluk aneh tanpa susunan kerangka tulang ini.  Seperti halnya kerangka tulang ini sangat dibutuhkan, begitu juga doktirn adalah sangat penting.[35]
Ketiga; Menyerukan praktek hidup sesuai dengan Firman Tuhan. Bagi Puritan, khotbah harus mampu untuk mentransformasi kehidupan orang percaya. Oleh sebab itu yang menjadi tujuan khotbah Puritan adalah bagaimana Firman Tuhan dapat dipraktekan oleh setiap orang Kristen dan dapat mengubah hidup mereka. Salah satu pengkhotbah Puritan pada masa kebangunan rohani pertama Puritan, George Whitefield,  dalam khotbah-khotbahnya sangat menyentuh hati orang-orang berdosa sampai mereka sendiri mengakui kenyataaan bahwa mereka adalah orang berdosa. Bahkan melalui khotbahnya para pendengar dapat mengakui dan sungguh-sungguh menyadari bahwa  mereka adalah orang hidup dalam natur keberdosaan dan berada diambang kebinasaan. Pengkhotbah Puritan lainnya, Richard Baxter menegaskan bahwa orang-orang yang sudah mengalami konviksi harus melangkah menuju pertobatan sejati, yaitu change of  mind,change of heart, change of life, change of affection.[36]
4.      Keyakinan akan keselamatan
            Penekanan mengenai keyakinan terhadap keselamatan menjadi suatu yang penting dalam usaha untuk membangun konsep spiritualitas Puritan. Sebagian besar kaum Puritan percaya bahwa untuk memperoleh keyakinan akan kepastian keselamatan seseorang harus berjuang dengan keras. Menurut mereka bahwa pertama kali seseorang percaya pada Yesus ia memiliki iman namun itu adalah iman permulaan dan lemah. Iman yang lemah namun ada satu kepastian di dalamnya. Tetapi iman yang lemah bukanlah iman yang dewasa. Hanya dalam iman yang dewasa seseorang akan memiliki kepastian yang sesungguhnya mengenai keselamatan. Dasar kepastian tersebut adalah janji Allah di dalam Alkitab, kesaksian Roh Kudus di dalam hati kita dan bukti-bukti di dalam hidup berupa anugerah Allah yang nyata.[37]
            Dari kerangka formasi spiritual tersebut maka mereka berusaha untuk  mempraktekan satu disiplin  rohani.
B.     Praktek-praktek disiplin rohani kaum Puritan
Praktek disiplin rohani adalah suatu usaha untuk membangun, memperkuat dan memperdalam hubungan orang percaya dengan Allah.  Disiplin rohani adalah usaha untuk memperdalam keintiman antara orang percaya dengan Allah. Praktek-praktek disiplin rohani secara umum hampir sama dikalangan Kristen namun praktek-praktek disiplin rohani bagi Puritan  memiliki suatu keistimewaan tersendiri yang mungkin sulit untuk ditemukan dikalangan Kekristenan hari ini. Sehubungan dengan hal ini, Matthew McMahon berkomentar: “kaum puritan adalah raksasa dalam hal spiritual sedangkan kekristenan hari ini spiritualnya begitu kerdil karena praktek-praktek spiritualitas hari ini hanya sebatas pengetahuan dan ritualitas agama.”[38]  
Setidaknya  spiritualitas  Puritan memiliki  dua  keistimewaan: 1) Mereka mengetahui Alkitab mereka dengan baik dan akibatnya mampu menulis dan mendalami Alkitab 2) Mereka menempatkan pengetahuan mereka tentang Kristus ke dalam tindakan kehidupan praktis dalam segala aspek hidup mereka.[39]   Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa seluruh hidup mereka adalah bersifat holistik, integral dengan semua sisi hidupnya.  Puritan memahami bahwa semua aktivitas hidupnya  sebagai suatu yang sakral   yang ditujukan bagi kemuliaan Tuhan.[40]
 Dalam usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip Alkitab, mereka  menuntut diri  dengan satu kerinduan  untuk hidup kudus, merindukan pengalaman spiritual yang murni berasal dari Allah, berusaha memberikan hidup mereka untuk kerajaan Allah serta memepertahankan kemurnian ajaran Alkitab dalam setiap bidang kehidupan.[41] Untuk mencapai hal ini maka mereka berusaha untuk menerapkan satu displin rohani.
Adapun praktek-praktek  disiplin rohani mereka adalah sebagai berikut:
1.      Doa
Bagi Puritan doa adalah suatu yang penting oleh sebab itu tidak mengherankan dalam banyak literatur-literaturnya membahas tentang bagaimana kehidupan doa seorang Puritan.[42]  Salah satu tokoh Puritan  Lewis  Bayly dalam bukunya The practice of Piety  ada bab-bab yang  membahas mengenai  pengaturan waktu  berdoa, mulai dari doa pagi, doa malam, saat teduh, doa bersama keluarga, doa puasa, doa untuk orang sakit dan doa yang lain.[43]  Doa yang dimaksud disini adalah bukan sekedar suatu doa bersifat rutinitas tetapi sesuatu doa yang keluar dari hati yang merindukan  adanya persekutuan dengan Allah (union with God).  Suatu kesadaran dan kerinduan yang besar  agar setiap sisi kehidupan mereka selalu memandang Kristus dan untuk menikmati kemuliaan Tuhan.  Doa bagi Puritan  dipahami sebagi suatu pengalam dengan Allah atau  mengalami Allah, hidup dengan Allah dan menikmati kehadiran Allah.
2.      Membaca dan merenungkan  Firman Tuhan
Sebagaimana diatas telah dijelaskan bahwa Alkitab adalah merupakan dasar dari setiap aspek hidup kaum Puritan, oleh sebab itu kaum Puritan sangat antusias dalam menuntut diri mereka dalam membaca dan mempelajari Firman Tuhan.  Hal ini dilakukan  agar  Firman Tuhan  menyerap setiap sisi kehidupan mereka, pola pikir serta segala bidang hidupnya menuju kepada  proses pengudusan.  Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kaum Puritan membaca  Alkitab setiap hari minimal sebanyak 15 pasal.  Setiap keluarga  memiliki waktu bersama untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan setiap hari. Bahkan mereka  akan begitu nyaman mendengar khotbah berjam-jam pada hari minggu.[44]
3.      Retreat  dan Kontemplatif
Retreat dan kontemplatif adalah salah satu bentuk disiplin rohani yang dilakukan oleh kaum  puritan.  Retreat dan kontemplasi pada awalnya dilakukan sebagai  bentuk reaksi  terhadap formalitas ibadah pada  waktu itu.[45]  Berdasarkan definisinya kontemplatif artinya merenung dan memandang. maka tujuan dari retreat dan kontemplatif adalah  merenungkan, menyelidiki, mengalami kehadiran Allah dan memandang hanya kepada Allah untuk menumbuhkan keyakinan seseorang kepada Allah.[46]  Retreat dan kontemplatif dilakukan ditempat yang tenang dan jauh dari keramaian untuk dapat menikmati kehadiran Allah serta  merenungkan kebaikan dan kasih Allah.
Bagi kaum Puritan abad ke 16 seperti Isaac Ambrose, praktek retreat dan kontemplatif dilakukan setahun sekali selama satu bulan.  Bagi Ambrose, melalui retreat dan kontemplatif semakin menyadarkan dirinya untuk hidup bergantung pada Roh Kudus serta  menuntun dirinya untuk menyadari akan dosa-dosanya dan akhirnya ia mengalami penyegaran dan membawanya ke dalam persekutuan yang lebih pribadi dengan Allah.  Selain hal itu, ia merasakan bahwa melalui retreat dan kontemplasi  dapat menolong dirinya untuk dapat menghadapi semua pergumulan dan tantangan dalam pelayanannya.   Demikian juga melalui retreat dan kontemplasi menuntun dirinya untuk   berdoa  dengan berani serta dapat dengan sabar menanti Tuhan menjawab doa-doanya.[47]
Tokoh Puritan lainnya, Jonathan Edwards  menyatakan bahwa perlunya  displin rohani  diantaranya adalah kontemplasi. Baginya melalui kontemplasi  ia dapat mengalami pertemuan dengan Allah, pengalaman bersama  Allah yang digambarkan  sebagai suatu dimensi yang  tidak terkira  (transcends sensation it self).[48]
4.      Meditasi
Praktek meditasi disini adalah suatu bentuk  praktek disiplin rohani yang dilakukan oleh Puritan sebagai cara untuk mengoreksi diri, namun tidak sama  dengan solitude, berdiam diri dan introspeksi. Meditasi bagi Puritan berdasarkan isi Alkitab, bukan sekedar mengosongkan pikiran, membayangkan gambar Yesus Kristus di hadapan mereka. Meditasi bagi Puritan adalah merenungkan Firman Tuhan, dan membiarkan Firman Tuhan mengoreksi hidup mereka.
Seorang tokoh Puritan Isaac Ambrose yang mempraktekan disiplin rohani meditasi,  menyatakan bahwa meditasi adalah bentuk latihan spiritual yang mendasar tidak sekedar membaca dan merenungkan Firman Tuhan tetapi  menyangkut perenungan akan semua  aspek hidup.[49]
5.      Ibadah atau worship[50]
Ibadah bagi Puritan adalah pada dasarnya adalah doxology yaitu  memberikan segala kemuliaan, hormat, pujian pengagungan kepada Allah.  Dalam pengertian  yang luas bahwa  kesalehan sejati  berasal dari suatu  ibadah. Sebagaimana dikatakan oleh Swinock:
Worship comprehends all that respect which man oweth and giveth to his maker...it is the tribute which pay to the king of kings, whereby we acknowledge his soveregnity over us, and our dependence on him... All that inward reverence and respect, and all that outward obedience and service to God, which the word  (sc, godliness) enjoined, is included in this one word worship.[51]

Ibadah  bagi Puritan menunjukan suatu persekutuan   dengan Tuhan, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk seperti doa, adorasi, mediasi, iman, pujian dan menerima intstruksi Firman Tuhan baik secara umum maupun pribadi.[52]  Sedangkan ruang lingkup ibadah puritan di bagi  tiga:  pertama ibadah public didalam gereja lokal, kedua, ibadah dalam lingkaran keluarga, tiga, private atau pribadi, ditempat-tempat tertentu seperti dikamar, di tempat yang jauh dari keramain danlainsebagainya.[53]
Selain bentuk-bentuk ibadah diatas, Puritan  juga memahami bahwa ibadah atau worship  menyangkut keseluruhan aspek hidup yaitu   mengalami Allah, hidup bersama Allah, berjalan dalam ketaatan kepada Allah atau berusaha menghidupi kehidupan Kristen (the normal life of Christian).  Ibadah  adalah suatu persiapan untuk ibadah yang sesungguhnya di dalam hidup keseharian.  Sebagaimana dikatakan oleh Robert Webber:
'Worship is the rehearsal of our relationship to God. It is at that point through the preaching of the Word and through the administration of the sacrament, that God makes himself uniquely present in the body of Christ. Because worship is not entertainment, there must be a restoration of the incarnational understanding of worship, that is, in worship the divine meets the human. God speaks to us in his Word. He comes to us in the sacrament. We respond in faith and go out to act on it!' [54]

Ibadah yang dilakukan oleh kaum Puritan, apakah ibadah publik, keluarga maupun pribadi adalah  suatu bentuk persiapan untuk memasuki ibadah yang sesungguhnya yaitu dalam kehidupan keseharian. Tetapi bukan berarti ibadah formal tidak penting.  Bagi Puritan ibadah  yang berbentuk  formal  (publik) adalah waktu   yang tepat untuk bertemu dengan Allah atau menikmati kehadiran Allah.   Karena ibadah  adalah wujud kehadiran Allah, maka  mereka sangat menekankan pentingnya persiapan hati untuk beribadah secara  khusus dalam ibadah pada hari minggu atau Lord’s day holy, oleh sebab itu ibadah bagi Puritan bukanlah suatu formalitas dan rutinitas tetapi sesuatu yang keluar dari dalam dirinya sebagai ungkapan kerinduan untuk bersekutu dengan Tuhan[55].   
6.      Ibadah keluarga
Kaum Puritan  meyakini bahwa pertumbuhan kerohanian yang paling utama adalah dari keluarga. Oleh sebab itu ibadah keluarga menjadi satu wadah yang baik dalam  membentuk  kerohaniaan seseorang.  Keluarga dilihat sebagai satu unit katekisasi untuk seisi keluarga belajar Firman Tuhan, dimana kepala keluarga yang menjadi pelayan atau imam.  Kaum Puritan mengadakan ibadah keluarga  dua kali sehari, didalamnya mereka  membaca Firman Tuhan dan berdoa.  Ibadah ini dalam bentuk informal tetapi mereka sungguh-sungguh menyembah dan  melayani Tuhan setiap hari. Orang tua mengajar anak-anaknya Kitab suci, bagaimana berdoa dan melayani.[56]
TINJAUAN TEHADAP SPIRITUALITAS PURITANISME
            Dalam meninjau akan formasi spiritual Puritan, penulis membagi atas tiga komponen  penting,  yaitu:
1.      Spirtualitas Puritan memberi penekanan yang kuat terhadap kesalehan  eksperimental. 
Semua praktek disiplin rohani yang dilakukan oleh Puritan, selalu mengarah kepada  satu pengalaman bersama Tuhan, menghadirkan Tuhan, menikmati kehadiran Tuhan dan bagaimana menghidupi Tuhan didalam setiap aspek hidup mereka.   Kesalehan  praktis atau ekperimental  Puritan dijewantakan melalui suatu ungkapan iman  dalam sikap hidup yang terilhami  oleh prinsip “to glory God and to enjoy forever”.   Prinsip ini menjadi dimensi pendorong   bagi Puritan untuk membangun satu kehidupan yang selaras dengan Alkitab   yang  dipercaya sebagai standar, pedoman dan perilaku hidup kaum Puritan.  
Secara sederhana Puritan mengamini bahwa iman harus nyata dalam pengalaman  atau dialami, dselain itu iman harus mentrasformasi  hidup seseorang  untuk membawa kepada satu pertobatan sejati  yang dapat dilihat dari  perubahan yang signifikan dalam hidup seseorang yaitu change of  mind,change of heart, change of life,  and change of affection.
Penekanan yang kuat terhadap kesalehan eksperimental adalah sesuai dengan Firman Tuhan,  dalam Yakobus 1:12-13 “hendaklah kamu  menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja, ... sebab jika  seseorang hanya mendengar  firman saja dan tidak melakukannya,  ia adalah seumpama, orang yang sedang mengamat-amati mukanya di depan cermin. Selain itu, penekanan pada bagian ini juga selaras dengan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus  dalam Roma  11:36, yang menyatakan akan tujuan utama hidup manusia adalah untuk  hidup bagi Allah dan untuk kemuliaan Allah.  
2.  Spiritualitas Puritan menekankan mengenai keseimbangan antara inward dan outward
Keseimbangan antara  apa yang di dalam dirinya (heart)  dan sikap hidup luar,  merupakan penekanan dari spiritualitas Puritan.  Puritan berusaha untuk menyeimbangkan antara kesucian hati dan  perilaku hidup yang sesuai dengan status mereka sebagai murid Kristus.  Dalam segala aktivitas disiplin rohani  seperti ibadah, doa, perjamuan Kudus,  dan lain-lain, semua  dilakukan  dengan satu penekanan pada motivasi hati untuk bersekutu dengan Kristus (union with Christ).  Penekanan tersebut nampak melalui displin rohani dan ibadah-ibadah yang dilakukan mereka.  Segala aktivitas kerohanian  Puritan  tidak sekedar  memenuhi suatu kewajiban  agama secara eksternal atau formalitas.  Namun Puritan berusaha untuk menghidupi Allah dalam hidupnya, sebagai murid Kristus yang terus bertumbuh dan hidup dalam anugerah Allah melalui sikap hidup yang benar di dalam   bersikap bertindak  dan berperilaku (outward).  
Perbuatan nyata ini   adalah wujud  dari kerinduan untuk hidup seperti Kristus dan meneladani-Nya yang merupakan refleksi hidup yang sesuai dengan karakter Kristus.  Demikian juga pengetahuan tentang Allah yang diformulasikan melalui doktrin-doktrin yang kuat diimbangi dengan sikap hati yang memuliakan Allah (To Glory God). Penekanan yang kuat terhadap doktrin-doktrin tidak sekedar suatu pengetahuan kognitif tetapi dibarengi  dengan sikap hati yang berusaha untuk mengaplikasikan pemahaman tersebut didalam kehidupan yang benar.
Penekanan spiritual Puritan mengenai keseimbangan antara  inward dan outward  didasarkan pada pemahaman Firman Tuhan bahwa spiritualitas berasal  dari inisiatif  Allah yang diresponi oleh manusia sesuai dengan iman yang dianugerahkan kepadanya. Anugerah Allah memungkinkan terjadinya transformasi pada diri seseorang untuk menjadi serupa Kristus (Roma 12:1-2; Gal.4:19) yang dikerjakan oleh Roh Kudus (Tit.3:5), sehingga manusia kembali dimungkinkan untuk menjadi gambar Allah untuk mempermuliakan Allah sesuai dengan tujuan Allah menciptakan manusia  sejak penciptaan (Ef. 2:1-10).
3.      Spiritualitas Puritan menekankan keseimbangan personal dan komunal
Dalam kaitan dengan spiritualitas, Puritan sangat menekankan keseimbangan antara  personal dan komunal.  Puritan memahami bahwa spiritualitas  bersifat pribadi, namun dengan demikian bukan berarti mereka melalaikan akan spiritualitas yang bersifat komunal. Puritan selalu melihat bahwa  perjalanan iman seseorang tidak lepas dari persekutuan  sesama orang percaya.  Setiap orang percaya saling  bergantung satu sama lain. Seseorang dapat bertumbuh dalam iman dan  kerohanian tidak lepas dari  bimbingan, dorongan dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.
Penekanan  pada keseimbangan antara  spiritualitas secara personal dan komunal didasarkan pada pemahaman eklesiologis di mana  orang percaya adalah bagian dari tubuh Kristus yang memiliki satu kesatuan saling melengkapi, menguatkan, mendorong dan saling membutuhkan  sesuai dengan karunia yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada masing-masing orang percaya untuk membangun tubuh Kristus (I Kor. 12:1-31).  Tuhan Yesus juga menyatakan hal yang sama dalam Yoh. 15:15,  bahwa  Ia adalah pokok anggur dan setiap  orang percaya adalah ranting-ranting-Nya.
KESIMPULAN DAN REFLEKSI
            Spiritualitas Puritan merupakan suatu bentuk formasi spiritualitas yang sesuai dengan  FirmanTuhan. Puritan memahami bahwa spiritualitas Kristen tidak berawal dari hadirnya seseorang ditempat ibadah atau terlibatnya seseorang dalam berbagai aktivitas keagamaan. Dengan kata lain, aktivitas keagamaan   bukan merupakan  tolak ukur kedewasaan rohani atau tingkat kerohanian seseorang.  Bahkan  perubahan status  seseorang  dari orang berdosa dan menerima anugerah keselamatan tidak serta merta menjadikan seseorang  dewasa dalam  kerohanian. Bagi Puritan seorang yang telah menerima anugerah keselamatan atau sebagai orang pilihan Allah akan nampak dari sikap hidup yang benar sesuai dengan imannya.
            Pendekatan spiritual puritan dapat disimpulkan dalam  tiga hal yang penting, yaitu:  pertama menekankan  pada kesalehan eksperimental; kedua, keseimbangan antara inward dan outward;   dan ketiga  keseimbangan antara personal dan komunal.  Menurut penulis ketiga karakteristik ini merupakan suatu pendekatan spiritualitas yang ideal  yang merupakan warisan rohani yang seharusnya dipertahankan atau diwarisi oleh  gereja atau orang Kristen saat ini. 
Sehubungan dengan itu, maka penulis akan memaparkan beberapa  bahan refleksi dan perenungan  bagi orang percaya dan gereja:
1.      Apa pemahaman atau gambaran gereja  mengenai spiritualitas?
2.      Apakah gereja  dan orang percaya sangat  menekankan  spiritualitas dan disiplin rohani?
3.      Bagaimana orang percaya dan gereja melaksanakan disiplin rohani?
4.      Gereja dan orang percaya harus meneladani disiplin rohani yang dilakukan oleh kaum Puritan.
5.      Gereja perlu mengevaluasi kembali pola-pola pembinaan jemaat yang hanya menekankan head dan melalaikan heart.
6.      Formasi spiritualitas  dan  pola-pola disiplin rohani yang dilakukan oleh Puritan, sangat relevan untuk diterapkan bagi gereja-gereja hari ini, agar gereja kembali kepada tujuan Allah yaitu untuk memuliakan Allah.
Kiranya melalui pembahasan spiritualitas  Puritan, dapat membuka  wawasan  orang percaya dan gereja hari ini  dalam  membangun suatu spiritualitas yang sesuai dengan Firman Tuhan. Semoga  warisan spiritualitas Puritan ini bisa menjadi pola bagi orang percaya dan gereja sat ini  dalam membangun suatu spiritualitas yang berkenan kepada Tuhan.  Akhirnya Soli Deo Gloria.




KEPUSTAKAAN
A.    Buku
Benneth Arthur (ed.) The Valley of Vision: A collection of Puritan Prayers and Devotion.  Edinburgh:
The Banner of truth trust, 1983.
Bunyan, John The Intercession of Christ: A Puritan’s View of Christ’s Mediating Work. Ross-shire:
Christian Focus, 1998.
Beeke, Joel R. Puritan Evangelism. Grand Rapids:Michigan, Reformation Heritage Books, 1999.
_______. The Puritan Practice of Meditation,” in Puritan Reformed Spirituality. Grand Rapids:
Reformation Heritage Press, 2004.
Derings M. Workes  New York: Da CapoPress, 1972.
Grenz Stanley J. Revisioning Evangelical Theology; A Fresh Agenda for the 21st Century.  Illionis:
Intervarsity .
Gore, R.J Covenental Worship: Reconsidering the Puritan Regulative Principle.  New Jersey: P&R Pub.
2002
McKeechnie, Jean L. Webster’s New Twentieth Century Dictionary of the English Language
Unabridged.   Cleveland: Collins  World Publ. 1975.
Miller, Perry G. The American Puritans: Their Prose and Poetry, Columbia University Press, 1956.
Maclure, Miller  The Paul’s Cross Sermons, (1534-1642). Toronto: Universityof Toronto Press, 1958.
Owen, John The Works of John Owen, ed. William H. Goold (1853); London: Banner of Truth Trust,
1965
Purwanto, Edi Petter Back To Puritan Revival. Tangerang :STT Injili Philadeplphia, 1996.
Packer J.I.  A Quest For Godlines: The Puritan Vision of the Christian Life. Wheaton: Crossway
books, 1990.
Simonson,  Harold P. Jonathan Edwards: Theologian of Heart .  Grand Rapids/Michigan: William B.
Eerdmans pub. 1974
Salim, Yeni Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English press, 1991.            ..
Smith Thomas  (ed). “Food for New-Born Babes,” in The Works of Henry Smith, Edinburgh: James
Nichol. tt.
Sandra M. Schneiders, Christian Spirituality, Definition, methods and types,: in  The New
Westminster Dictionary of Christian Spirituality, ed. Philip Sheldrake . Louisville: WJK Press,
2005.  

B.     Jurnal

Tom Scwanda,  “Hearts Sweetly Refreshed": Puritan Spiritual Practices Then and Now” Journal of

Spiritual Formation & Soul Care  (2010)  Vol. 3, No. 1, 21–41 Biola University: Institute of

Spiritual Formation. 

 

C.    Internet
Heruarto, “The Puritans: Deep Thingking and Deep  Spirituality” http://www.buletinpillar.org/artikel
Jonathan Edward, “Sinners in the Hands of an Angry God,”
www.jonathanedwards.com/sermons/Warnings/sinners.htm
Michael Downey, Understanding Christian Spirituality:   Dress Rehearsal for a Method “
Samuel Ling,  “Tradisi Spiritualitas Puritan”  http://www.buletinpillar.org/ 

Tom Scwanda,  “Hearts Sweetly refreshed: Puritans Spiritual Practices Then and Now”
http://reformedspiritualitynetwork.org/.
Yakub Tri Handoko, “Reformasi DI Inggris (Puritan)     http://www.gkri-exodus.org




[1] TPKBBI,  Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008)
[2] Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English press, 1991)
[3] Jean L.McKeechnie, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of the English Language Unabridged Cleveland: Collins World Publ. 1975.
[4] Sandra M. Schneiders, Christian Spirituality, Definition, methods and types,: in  The New Westminster Dictionary of Christian Spirituality, ed. Philip Sheldrake  (Louisville: WJK Press, 2005) 1.
                [5] Micahel Downey, Understanding Christian Spirituality:   Dress Rehearsal for a Method “ [http://www.spiritualitytoday.org/spir2day/91433downey.html]
                [6] Yakub Tri Handoko, “Reformasi DI Inggris (Puritan) “    http://www.gkri-exodus.org

      [7] Tom Scwanda,  “Hearts Sweetly Refreshed": Puritan Spiritual Practices Then and Now” Journal of Spiritual Formation & Soul Care  (2010)  Vol. 3, No. 1, 21–41 Biola University: Institute of Spiritual Formation. 

[8] Joel R. Beeke, Puritan Evangelism. (Grand Rapids:Michigan, Reformation Heritage Books, 1999) 2.
[9] Edi Petter Purwanto, Back To Puritan Revival (Tangerang :STT Injili Philadeplphia, 1996) 29.
                [10] Perry G. Miller, The American Puritans: Their Prose and Poetry, (Columbia University Press, 1956) 1.
                [11]Samuel Ling, “Tradisi Spiritualitas Puritan”  http://www.buletinpillar.org/transkrip/tradisi-spiritualitas-puritan-bag-ii#hal-5  (akses Nov. 2012).


                [12]Trihandoko, “Reformasi  di Inggris”
                [13] Ibid.
                [14] ibid.
[15] Ibid.
[16]Ibid.
[17]Ibid.
                [18] Ibid.
                [19] Kaum Puritan sangat memegang penuh konsep pemilihan, mereka percaya Allah memilih dan mempredestinasikan orang-orang untuk diselamatkan. Konsep ini diambil dari konsep TULIP dari  John Calvin.
                [20] Kaum Puritan sangat menekankan tentang covenant of grace. Perjanjian antara Allah Bapa dan Allah Anak, dimana Allah Anak menjadi pengantara atau mediator antara Allah Bapa dan manusia. Perjanjian anugerah mempunyai dua pihak. Pihak yang pertama adalah Allah. Allah membuat perjanjian dengan siapa? Pihak kedua. Allah membuat perjanjian dengan Yesus Kristus dan setiap orang yang ada di dalam Kristus. Yesus Kristus mewakili pihak kedua, yaitu setiap orang yang dipilih dan yang dipersatukan di dalam Yesus Kristus. Tentu saja mediator mewakili orang-orang di hadapan Allah, sehingga dia bukan hanya ada di satu pihak. Dan mediator itu adalah Allah.  Bnd. John Bunyan, The Intercession of Christ: A Puritan’s View of Christ’s Mediating Work. (Ross-shire: Christian Focus, 1998) 15-30.
                [21] Kaum Puritan sangat menekankan mengenai kesatuan dengan Kristus yaitu yang berhubungan dengan relasi orang percaya dengan Kristus yaitu mati bersama Kristus dan mati bangkit bersama Kristus.
                [22] Konsep  sanctification bagi kaum Puritan  berkaitan dengan  tujuan hidup orang Kristen di dunia ini. Bagi mereka tujuan hidup orang Kristen yang tertinggi  adalah memuliakan Allah. Oleh sebab tuntutan hidup kudus merupakan suatu yang penting bagi kaum Puritan. Sebagaimana di tulis dalam Short Cathecism  bahwa menjadi tujuan tertinggi manusia adalah memuliakan Dia dan menikmati Dia
                [23] Samuel, “tradisi Puritan” 1.                                                
                [24] ibid
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Jonathan Edward, “Sinners in the Hands of an Angry God,” www.jonathanedwards.com/sermons/Warnings/sinners.htm
[28] Ibid.
                [29] Ibid.
[30] M. Derings Worker  (New York: Da CapoPress, 1972), 456.
[31] John Owen, The Works of John Owen, ed. William H. Goold (1853; London: Banner of Truth Trust, 1965), 74
[32] Miller  Maclure, The Paul’s Cross Sermons, 1534-1642 (Toronto: Universityof Toronto Press, 1958), 165.
[33] Thomas Smith  (ed). “Food for New-Born Babes,” in The Works of Henry Smith, (Edinburgh: James Nichol, 1866), 494.
                [34] Samuel, “Sejarah Puritan” 1.
[35] Purwanto,  Back To Revival Puritans” (Tangerang: STT Injili Philadelphia, 1996) 32-33.
[36] ibid, 34-35.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Heruarto, “The Puritans: Deep Thingking and Deep  Spirituality” http://www.buletinpillar.org/artikel/
[40] ibid
[41]Purwanto, 33.
[42] Salah satu literatur yang membahas mengenai doa dan devosi  Puritan yaitu The Valley of Vision: A collection of Puritan Prayers and Devotion. Arthur Benneth ed. (Edinburgh: The Banner of truth trust, 1983)
[43] Heruarto, “The Puritans: Deep Thingking and Deep  Spirituality”
[44] C. Matthew McMahon “What Can the Puritans Teach Us?”
[45] J.I Packer,  A Quest For Godlines: The Puritan Vision of the Christian Life (Wheaton: Crossway books, 1990) 13.
[46] Tom Scwanda,  “Hearts Sweetly refreshed: Puritans Spiritual Practices Then and Now” http://reformedspiritualitynetwork.org/node/38
[47] Joel R. Beeke, “The Puritan Practice of Meditation,” in Puritan Reformed Spirituality (Grand Rapids: Reformation Heritage Press, 2004), 73.
[48] Harold P.Simonson,  Jonathan Edwards: Theologian of Heart (Grand Rapids/Michigan: William B. Eerdmans pub. 1974) 26-27.
[49] Beek The Puritan Practice of Meditation,  73.
[50] Untuk dapat lebih memahami mengenai ibadah atau worship Puritan secara konprehensif bisa dilihat dalam; R.J Gore, Covenental Worship: Reconsidering the Puritan Regulative Principle (New Jersey: P&R Pub. 2002)
[51] J.I Packer,  A Quest  For Godliness, 249.
[52] Ibid.
[53] Ibid. 255.
[54] Grenz, Revisioning evangelical Theology, 55.
[55] J.I Packer A Quest For Godliness. 240-241.
[56] Ibid, 255-256.

Tidak ada komentar: