EVALUASI TERHADAP
DEKONSTRUKSI KONSEP KRISTOLOGI PLURALISME JOHN HICK
PENDAHULUAN
Kemajemukan agama dan keunikan agama adalah suatu realitas yang tidak dapat
dipungkiri oleh setiap masyarakat di dalam dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejalan dengan kemajemukan agama yang ada,
maka diperlukan sikap menghormati, menghargai keyakinan setiap pemeluk agama
yang ada. Hal ini yang sangat digaungkan
oleh kaum pluralis, mereka menekankan pentingnya toleransi dan sikap menghargai
kemajemukan agama. Bahkan mereka
menganggap bahwa semua agama membawa orang-orang kepada suatu realitas ilahi,
menjadi pilihan yang menarik karena dianggap lebih demokratis dan toleran.
Sikap menghormati, menghargai atau toleransi merupakan sesuatu yang penting
dalam kemajemukan agama di dunia ini. Namun
akan menjadi persoalan serius ketika sikap toleransi yang semula berada dalam
ranah etika dan moral, diarahkan kepada hal-hal yang esensi yaitu ranah iman
dan keyakinan (doktrinal). Hal ini yang
dilakukan oleh salah satu tokoh pluralis, yaitu John Hick. Hick sangat menekankan masalah
toleransi/dialog dengan agama-agama lain. Demi untuk mencapai tujuannya, ia mengorbankan
satu hal yang sangat esensi dalam keyakinan iman Kristen ortodoks yang
berhubungan dengan kristologi.
Dalam makalah ini, penulis akan menyoroti pandangan John Hick, secara
khusus mengenai konsep kristologinya. Mengapa
penulis menyoroti konsep kristologinya? Pertama,
karena salah satu ajaran yang ditoleransikan oleh John Hick adalah kristologi,
maka evaluasi perlu dilakukan atas kristologinya. Kedua, evaluasi dilakukan untuk meluruskan
konsep kristologi pada yang benar dan menegaskan bahwa
kekristenan adalah unik dan tidak akan dapat ditoleransikan dengan kepercayaan
dan agama mana pun juga. Ketiga, karena
sebenarnya akar persoalan dalam teologi Kristen lebih banyak berhubungan dengan
kristologi.[1]
Adapun pembahasan dalam makalah ini
pertama; penulis akan membahas sekilas latar belakang kehidupan John Hick. Kedua, konsep-konsep kristologinya, dan
ketiga, penulis akan mengevaluasi konsep kristologi John Hick.
LATAR BELAKANG
KEHIDUPAN JOHN HICK[2]
John Harwood Hick lahir pada bulan Januari
1922. Hick adalah seorang anak tengah,
kakaknya Pentland adalah seorang pengusaha, dan adiknya Shirley memiliki karir
yang sukses dalam pekerjaan sosial. Hick
dibesarkan di sebuah keluarga kelas menengah yang bekerja di Scarborough.
John Hick dapat dikatakan sebagai salah satu filsuf paling penting dan
berpengaruh diparuh kedua, abad kedua puluh. Sebagai seorang filsuf Inggris dalam tradisi
anglo-analitik, Hick telah melakukan banyak terobosan dalam epistemologi agama,
teologi filosofis, dan pluralisme agama.
Pada saat menjadi mahasiswa hukum, Hick mengalami pengalaman religius yang
kuat yang membuatnya menerima kekristenan injili dan akhirnya mengubah arah
karirnya kepada teologi dan filsafat. Pengalaman ini tidak hanya mengubah hidupnya
tetapi juga berpengaruh penting dalam pandangan filosofisnya. Pada awal karirnya, Hick berpendapat bahwa
iman Kristen tidak didasarkan pada bukti proposisional melainkan pada
pengalaman religius. Demikian ia membela
iman Kristen terhadap evidensialis yang mengkritik terhadap positif logis yang
sangat dominan pada waktu itu. Dalam
waktu yang bersamaan Hick juga mengembangkan "soul–making" teodisi Irenean, di mana ia berpendapat bahwa
Allah mengijinkan kejahatan dan penderitaan di dunia dalam rangka untuk mengembangkan
manusia menjadi makhluk yang saleh dan mampu mengikuti kehendak-Nya.
Pada akhir 1960-an, ketika ia
bekerja pada isu-isu hak-hak sipil di Birmingham, ia bekerja bersama dengan orang-orang
dari agama lain. Hick kemudian terlibat
dengan kelompok Faith; “semua untuk satu ras”, yang juga bekerja pada isu
hak-hak sipil di Birmingham tersebut. Dia
juga mulai mempelajari agama-agama Timur, pergi ke India untuk belajar agama Hindu,
Sikh Punjabu dan pergi ke Sri Lanka untuk belajar Buddhisme. Buah dari penelitian ini ditulis dalam satu
buku, Death and Eternal Life. Dalam
bukunya ini, ia membahas konsep-konsep Timur dan Barat mengenai kehidupan
setelah mati dan mengembangkan hipotesisnya dengan menggabungkan unsur-unsur
dari tradisi-tradisi Timur dan Barat.
Sejak itu, ia mulai percaya bahwa penganut agama lain juga memiliki
pengalaman Transenden, sebagaimana orang Kristen, meskipun dengan cara yang
berbeda karena faktor budaya, sejarah, dan doktrin. Pengalaman-pengalaman ini menyebabkan dia
mengembangkan hipotesis pluralistis. Selain itu, Ia juga sangat dipengaruhi oleh
filsafat Immanuel Kant, secara khusus mengenai konsep fenomenal dan noumenal. Dengan pertimbangan pluralistiknya, Hick
kemudian menyesuaikan posisi teologianya. Ia mengembangkan interpretasi doktrin Kristen,
seperti inkarnasi, penebusan, dan tritunggal bukan sebagai klaim metafisik tapi
sebagai metafora atau mitologis.[3]
KONSEP-KONSEP
KRISTOLOGI JOHN HICK
A.
Konsep Kristologi Yang Theosentris
Konsep kristologi John Hick sangat
dipengaruh oleh konsep teologi propernya (doktrin Allah). Konsep Allah yang dimiliki Hick berbeda dengan
konsep Allah dalam Kekristenan. Hick
tidak setuju dengan penggunaan istilah “Allah”, ia menggunakan istilah “the Ultimate, The Real, The Transcendent, dan
Ultimate Reality.[4]
Sebagaimana penjelasannya dalam bukunya, A Christian Theology of Religion,
dikatakan: “an ultimate divine reality
which is being differently conceived, and therefore differently experienced
from within the religio-cultural ways of being human.”[5]
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa Realitas Transenden adalah sesuatu yang
tidak terbatas, dan di dalam diri sang Realitas Transenden tersebut tidak
dibatasi oleh konsep-konsep formal; Ia tidak dapat dikatakan satu atau banyak;
bukan pribadi atau non pribadi; tidak juga dapat dikatakan sebagai suatu
subtansi atau proses; Ia tidak dapat dikatakan bertujuan atau tidak bertujuan.[6] Namun “Realitas Transenden” ini tetap dapat menunjukan
tanda-tanda ke-transenden-annya kepada manusia, tanda-tanda itu selalu ada dan
menyertai manusia.[7]
Dengan pemahaman konsep Allah seperti demikian, kemudian Hick membangun
konsep pluralismenya. Salah satu alasan
dasar Hick memakai pendekatan theosentris adalah sebagai reaksi terhadap
pendekatan kristosentris yang dipakai oleh kaum eksklusif Kristen terhadap
agama-agama lain. Bagi Hick, pendekatan
kristosentris merupakan suatu sumber konflik dan sangat resisten terhadap
agama-agama lain. Alasan lain Hick
menolak pendekatan “kristosentris” karena
baginya pendekatan ini sudah tidak sesuai lagi diterapkan di tengah-tengah realitas dunia
yang pluralis. Oleh sebab itu ia
menawarkan pendekatan teosentris, yang menurutnya lebih dapat diterima oleh
berbagai golongan agama di dunia.[8]
Dalam usaha membangun paradigma dari konsep kristosentris kepada
teosentris, maka ia memakai istilah Revolusi kopernikan dalam bidang teologi. Bagi Hick, pemahaman Kopernikus yang
menyatakan bahwa matahari yang menjadi pusat tata surya dan bukan bumi, menjadi
acuan untuk menganggap bahwa seluruh agama berpusat kepada Allah dan bukan pada
agama Kristen atau agama lain. Hick
mengatakan, “He is The Sun, the
originative source of light and life, whom all the religions reflect in their
own different ways.”[9]
Pendekatan “teosentris” yang tawarkan oleh Hick adalah untuk menjembatani
antara eksklusifitas Kristen dengan realitas agama-agama di dunia. Pendekatan teosentris tersebut adalah suatu
pendekatan dimana Allah menjadi pusat dari semua agama-agama. Pendekatan
Hick ini, sebenarnya sangat dipengaruhi oleh konsep Karl Rahner, dengan
konsepnya “Anonymous Christian”.[10] Oleh karena itu ia menolak pernyataan bahwa
Kristus adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14:3).[11] Selain dipengaruhi oleh Rahner, ia juga
dipengaruhi oleh Hans Kung yang menyatakan bahwa di luar kekristenan ada keselamatan.[12]
Bagi Hick, apa yang tercatat di dalam Injil lebih bersifat mitos atau
legenda, termasuk juga tentang pribadi dan karya Yesus. Hick dengan berani menyerukan agar setiap
orang Kristen membuka diri dan mencari pengertian yang baru tentang Yesus di
dalam sejarah dan di dalam konteks kekinian. Ia percaya bahwa model teosentris merupakan
harapan terbesar bagi dialog antar agama di masa depan, dan bagi evolusi yang
terus dilanjutkan atas makna Yesus Kristus bagi dunia ini. Hick mengatakan bahwa: “Keunikan Yesus
bukanlah sebagai kebenaran yang total, definitif, tidak tertandingi, tetapi membawa
kepada suatu universal,
decisive, indispensable truth.”[13]
John Hick membangun teologi yang teosentris, untuk mendukung pemahaman dan
penyembahan yang hanya berpusat pada Allah, dan dengan demikian konsep ini
lebih memungkinkan untuk membangun dialog antar agama yang lebih baik, juga di
sisi lain dapat mempertahankan kekhasan Kristen.[14]
Hick melalui pendekatan teosentrisnya memandang Yesus sebagai,
One who mediated God’s presence and
God’s call to live now as citizens of the coming kingdom...as a spirit-filled
prophet and healer...Jesus was exalted in a communal memory from the
echatological prophet to a divine status.[15]
Dengan demikian, Hick memandang
Yesus sebagai seorang “guru” atau “rabi” biasa, dan hanya salah satu tokoh yang
hidup pada abad pertama di daerah Palestina. Ia adalah seseorang yang menjadi perantara
kehadiran Allah, seorang nabi yang diberi karunia khusus oleh Allah. Tidak lebih dari itu.
B. Konsep John
Hick mengenai Inkarnasi Yesus
Pemahaman ortodoksi Kristen
mengenai inkarnasi, adalah sesuatu yang sangat penting dalam ranah ortodoksi
iman Kristen yang dipegang oleh orang Kristen sampai saat ini. Pemahaman ini tidak sekedar sesuatu yang
dipercaya atau diyakini secara turun temurun, atau tradisi orang percaya,
tetapi sesuatu yang berpijak dari Alkitab sebagai sumber kebenaran yang
absolut. Hal ini diteguhkan di dalam
konsili Nicea (325) dan Chalcedon (451).
Keputusan dua konsili tersebut merupakan suatu jawaban terhadap berbagai
pandangan, dan keraguan yang beredar pada masa itu mengenai dua natur Kristus (ke-Ilahi-an
dan Kemanusiaan).
Pemahaman ini kemudian ditunggangbalikkan oleh tokoh-tokoh zaman pencerahan
dan teolog liberal. Selanjutnya,
pemahaman ini diikuti dan dicetuskan kembali oleh seorang tokoh pasca modern
(pluralisme) John Hick. Dalam bukunya
The Myth of God Incarnate, dia menyatakan bahwa inkarnasi adalah suatu mitos.[16] Dalam perkembangan selanjutnya ia menjelaskan
bahwa untuk menjelaskan mengenai inkarnasi dalam Alkitab harus dipahami sebagai
metaphor.[17] Mengapa dia beralih dari pandangan inkarnasi
sebagai mitos menjadi inkarnasi metaphor? Inkarnasi yang
metaforis ini dimunculkan oleh Hick untuk membuktikan bahwa konsep inkarnasi
kaum eksklusif (Kristen) adalah tidak rasional dan harus ditinggalkan.[18]
Menurut Hick, Yesus merupakan satu-satunya penghubung antara Tuhan dan
manusia. Oleh karena itu,
orang-orang Kristen tidak meninggalkan keyakinan mengenai inkarnasi dan Yesus
sebagai anak Allah. Lebih lanjut
dikatakan, bahwa pernyataan bahwa Yesus adalah anak Allah menunjukkan sikap,
perasaan, dan keyakinan dari orang Kristen. Pernyataan ini lahir
karena orang-orang Kristen sudah merasakan Allah berbicara kepada mereka,
menyentuh mereka, memberi inspirasi kepada mereka melalui Yesus. Namun menurutnya keyakinan tersebut harus
dipahami sebagai bentuk puisi, simbolis dan metafora.[19]
Bagi Hick, proses peng-ilahi-an Yesus tidak lebih sebagai
bentuk penghormatan dari orang Kristen kepada Yesus. Orang Kristenlah yang mengubah Yesus
Rabi dari Galilea menjadi Kristus yang Ilahi, Allah Anak dari Allah
Tritunggal.[20]
Peng-ilahi-an Yesus dimulai ketika ia
mendapat julukan Son of God. Istilah ini sebenarnya adalah
istilah yang biasa dipakai dalam dunia kuno yang tidak merujuk kepada istilah
Anak Allah secara literal tetapi sebagai metafora atau simbolis.[21]
Untuk memahami Yesus sebagai anak Allah dalam bahasa simbolis, Hick
menyarankan agar menggunakan kristologi Roh. Di dalam Kristologi
Roh, Yesus dikenal sebagai ilahi bukan karena Allah secara harafiah turun dari
surga dan secara harafiah juga “menghamili” ibu Yesus, tetapi karena Yesus
memang dipenuhi Roh yang diberikan kepada semua orang dan memberi respon total
terhadap roh itu.[22]
Hick meringkaskan pemahamannya mengenai keunikan Yesus dalam bahasa Latin “totus Deus.” Menurutnya, sesama umat Kristen dan agama lain harus menyaksikan bahwa Yesus adalah
totus Deus - Tuhan seutuhnya. Namun mereka tidak
bisa beranggapan bahwa Ia adalah totum Dei - Tuhan keseluruhan; siapa Yesus itu,
semua yang dilakukan dan yang dikatakan, diperoleh dari, dan dinyatakan oleh
Roh Ilahi. Namun, siapa Roh Ilahi
itu, dan apa yang dilakukan-Nya tidak hanya terbatas pada Yesus, atau kepada
inkarnasi Ilahi Yesus menjadi manusia.[23]
Ada dua cara pendekatan Hick yang berkaitan dengan inkarnasi Yesus; pertama, inkarnasi harus dipahami
sebagai mitos, karena Yesus sebenarnya tidak pernah menyatakan dirinya dan
mengajarkan bahwa Dia adalah Allah, sebagaimana diajarkan oleh gereja. Lebih lanjut dikatakan bahwa Yesus sebenarnya tidak pernah mengemukakan
bahwa Dia adalah Allah sebagaimana dipahami oleh orang-orang Kristen (ortodoks).[24] Sebaiknya kekristenan harus memahami inkarnasi
Yesus melalui metafora daripada secara literal sebagaimana diajarkan gereja
sampai hari ini.[25]
Kedua, Perlu adanya reinterpretasi mengenai keilahian Yesus. Dalam salah satu esai Hick yang paling penting dan kontroversial,
"Yesus dan Agama-Agama Dunia," Hick mengatakan bahwa perlu adanya
reinterpretasi keilahian Yesus dalam terang kritik biblika modern. Reinterpretasi Yesus harus dimengerti dalam konteks kesadaran bahwa
kekristenan hidup dan tumbuh di dalam keragaman agama yang ada di dunia ini. Bagi Hick, konsep inkarnasi Yesus hanya didasarkan
oleh keputusan Nicea mengenai Allah yang berinkarnasi di dalam diri Yesus Kristus. Ini adalah salah satu cara konseptualisasi ketuhanan Yesus, suatu cara yang
diwarisi oleh budaya Yunani-Romawi. Oleh sebab itu dalam
rangka oikumenisme dunia seharusnya orang Kristen menyadari bahwa pandangan
tersebut tidak lebih dari suatu karakter mitologi dari bahasa tradisional.[26]
Dengan demikian Hick beranggapan bahwa cara yang paling tepat untuk
memahami inkarnasi di dalam hidup Yesus Kristus adalah secara mitologi. Hanya dengan cara ini dapat membuka jalan bagi pemahaman tentang Kristus,
melalui kehadiran keilahiannya yang nampak dari kebaikan hidup dan pengajaran-Nya, Yesus nyata sebagai pengantara kasih
Allah kepada seluruh umat manusia diberbagai negara.[27] Lebih lanjut dikatakan, bahwa inkarnasi Yesus
tidak bisa diklaim sebagai sesuatu yang bersifat metafisis, melainkan suatu
pernyataan yang bersifat metafora, yang menyatakan signifikansi dari kehidupan
Yesus dimana Allah bertindak di atas dunia ini.[28]
Sehubungan dengan hal itu, maka Hick
memberikan tiga alasan utama, mengapa ia
menolak konsep tradisional atau eksklusif mengenai inkarnasi, sekaligus
menegaskan konsep inkarnasinya yang metaforis:
1. Hick menyimpulkan bahwa jika Yesus
adalah Allah pencipta, yang kekal, yang menjadi manusia, maka hal itu mengakibatkan
suatu kesulitan dalam memandang Yesus sebagai fenomena yang
sederajat dengan tradisi-tradisi agama lain. Oleh sebab itu, Hick
mengutip pandangan Helmut Koester mengenai inkarnasi Yesus sebagai salah satu dari sekian
banyak inkarnasi dalam dunia Romawi, dimana Allah tidak melulu dipahami sebagai
Allah yang mengambil rupa manusia, dengan demikian ia meragukan inkarnasi eksklusif.[29]
2. Yesus adalah Allah yang berinkarnasi
secara literal adalah tidak benar. Karena tidak memiliki arti literal, maka Ia
tidak lebih dari suatu konsep mistis, yang berfungsi sebagai analogi atas anggapan mengenai keilahian Anak. Yesus memang adalah Anak Allah, namun itu adalah konsep mistis. Karena itu, bagi Hick, inkarnasi tidaklah bergantung pada
terminologi “Anak Allah”, baginya inkarnasi adalah sesuatu yang bersifat misterius.[30]
3. Hick dengan dukungan yang sangat kuat
dari para ahli Perjanjian Baru liberal,
berpendapat bahwa inkarnasi merupakan perkembangan pemikiran gereja
mula-mula, sedangkan Yesus sendiri tidak pernah berfikir bahwa diri-Nya akan
menempuh cara yang demikian. Jadi, sebutan Anak Allah, Mesias menjadi
Allah Anak, yang berakhir pada rumusan Tritunggal, merupakan sebutan dan
rumusan dari perkembangan pemikiran gereja.[31]
C. Konsep Hick
mengenai Dua Natur Yesus; Keilahian dan Kemanusian
Menurut Hick, pengajaran mengenai dua natur Yesus; manusia sepenuhnya dan sepenuhnya ilahi
adalah suatu kesalahan dalam penafsiran. Menurutnya, pemahaman tersebut diakibatkan oleh kesalahan dalam penafsiran. Setidaknya
ada tiga kesalahan: pertama, salah membaca maksud asli dari judul puisi ilahi Yesus, transposing; "anak sebagai metaforis Allah untuk Tuhan metafisik."[32] Kedua,
Hick berpendapat bahwa pandangan dua-kodrat itu sendiri sangat sulit untuk
dipahami. Dalam sebuah kutipan
terkenal, ia menyatakan, "Untuk mengatakan, bahwa Yesus historis yang
berasal dari Nazaret adalah Allah, merupakan sesuatu yang sulit dipahami dan tidak ada
makna.”[33] Akhirnya, ia berpendapat bahwa
pemahaman hurufiah Yesus sebagai Anak Allah adalah suatu pandangan yang sempit
dari kehidupan religius eksklusif dalam tradisi Kristen. Sebaliknya, dengan memahami bahasa kristologis sebagai mitologi, ia dapat
menegaskan bahwa Logos Allah bekerja dalam pribadi Yesus dari Nazaret
sebagaimana telah bekerja "dalam berbagai cara di India, Semit, Cina,
Afrika dan lain-lain".[34] Hick percaya bahwa dengan pemahaman seperti
ini tidak akan mengurangi eksistensi Yesus,
tetapi justeru akan meningkatkan pentingnya keberadaan Yesus dalam kehidupan
keagamaan global.
Selanjutnya, Hick menjelaskan mengenai pandangannya mengenai dua natur
Kristus. Pertama, dikatakan bahwa Yesus tidak pernah
menyatakan diri-Nya adalah Allah. Bahkan penjelasan
mengenai Yesus sebagai Mesias (Kristus) adalah suatu yang sangat ambiguitas. Istilah Christos (Yunani) dan Messiah yang berarti diurapi, lebih
berhubungan dengan arti khusus seorang Raja dan tidak ada konotasi bersifat
Ilahi.[35] Bahkan ayat-ayat
(Mark. 12:2-6; Mat. 21:33-41; Luk.20:9-18) yang diklaim oleh Kristen ortodoks
mengenai keilahian Kristus tidak lebih hanya secara inplisit dan sebenarnya
ayat-ayat tersebut bersifat ambigu. Dengan demikian Hick secara tegas mengatakan bahwa ide mengenai
Keilahian Yesus adalah ide yang dibuat oleh manusia, karena teologia adalah
ciptaan manusia.[36]
Selanjutnya ia menegaskan bahwa Yesus bukanlah Tuhan, tetapi Yesus memiliki
hubungan yang intim dengan Allah. Hubungan yang intim ini menyebabkan
Yesus memiliki otoritas rohani yang menakjubkan. Yesus diberi kemampuan
untuk mengampuni dosa, menyembuhkan berbagai penyakit dan berbicara atas nama
Allah. Hick juga tidak mengakui
ke-Mesias-an Yesus. Menurut Hick, gelar
kehormatan Yesus sebagai Mesias, Tuhan dan Anak Allah adalah suatu yang
diberikan oleh pengikut-pengikut-Nya. Gambaran puisi yang
diucapkan oleh Yesus tidak lebih dari pernyataan yang bermakna simbolis atau metafora dan bukan
pernyataan yang bersifat metafisis. Keilahian dan
kemanusiaan Yesus tidak lebih dari rumusan yang diformalkan oleh
gereja dalam koncili Nicea dan Chalcedon.[37] Dengan
demikian, ia berkesimpulan bahwa cara yang paling tepat dan memungkinkan untuk
menjelaskan dua natur Kristus secara memuaskan adalah melalui metaphora.[38]
D. Konsep Keselamatan Hick.
Selanjutnya penulis akan membahas sekilas mengenai konsep keselamatan yang
ditawarkan Hick. Dalam usaha untuk
mendapatkan jalan keluar dan memuluskan konsep pluralismenya, maka Hick mengajarkan kristologi baru yang kontekstual dan universal. Untuk menemukan kristologi yang baru, maka mau
tidak mau Hick harus menolak pandangan Kristen mengenai keunikan, keabsolutan, dan
finalitas Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan.[39]
Konsep keselamatan Hick sangat dipengaruhi oleh Hans Kung, yaitu di luar kekristenan ada keselamatan, setiap penganut agama akan diselamatkan
melalui agama yang mereka yakini.[40] Kung menyatakan demikian:
The way of salvation in universal
salvation history; the general way of salvation, we can even say, for the
people of the world religion: the more common, the ‘ordinary’ way of salvation
in the Church appears as something very special and extraordinary.[41]
Lebih lanjut, untuk lebih memperjelas konsepnya mengenai adanya keselamatan
di luar Kekristenan, atau orang-orang dari agama lain, Kung menyatakan:
Pre-Christian, directed towards Christ.
... The men of other world religions are not professing Christian but, by the
grace of God, they are called and marked out to be Christian ... The non
Christian’s right and duty to seek God within his own religion is only until
such time as he is confronted in an existensial way with the revelation of
Jesus Christ.[42]
Hick sangat menyetujui pemahaman Kung mengenai keselamatan, dan sangat tidak setuju dengan konsep keselamatan eksklusif Kristen yang menyatakan
bahwa keselamatan seseorang hanya didapat melalui pribadi dan perantaraan Yesus
Kristus. Bagi
Hick, keselamatan manusia tidak memerlukan perantara seperti Yesus dan juga
tidak perlu pengampunan dari Yesus. Karena Yesus hanya manusia biasa
yang mau membawa manusia untuk memohon pengampunan kepada Bapa. Pendapat Hick ini didukung oleh pandangannya
tentang Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus. Hick berpandangan, melalui doa Bapa Kami, setiap
orang tidak perlu meminta pengampunan melalui perantaraan Yesus
tetapi langsung kepada Allah Bapa. Demikian juga dalam perumpamaan anak yang
hilang, dimana pengampunan tidak memerlukan perantara tetapi langsung kepada
Bapa. Dengan demikian Hick berkesimpulan bahwa pusat dari kekristenan dan keselamatan
adalah Bapa dan bukan Kristus.[43]
Konsep keselamatan Hick, sama dengan tokoh-tokoh pluralis lainnya, yang
menyatakan bahwa semua manusia dapat diselamatkan oleh anugerah Allah. Anugerah kasih Allah tidak mungkin menyediakan neraka bagi manusia. Karena semua agama telah memiliki jalan
keselamatan masing-masing.[44] Semua agama adalah jalan menuju kepada
Realitas Tertinggi, dengan caranya masing-masing.
Salah satu argumen Hick menolak konsep keselamatan Kristen (eksklusif); bahwa keselamatan hanya melalui Yesus Kristus, adalah berkaitan dengan keberatan moral. Ia menganggap bahwa konsep keselamatan tersebut tidak sesuai dengan natur Allah yang penuh kasih. Jika Allah adalah maha kasih, maka tidak mungkin Ia membiarkan
sebagian besar umat manusia masuk
Neraka.[45] Bagi Hick,
keselamatan harus didefinisikan sebagai suatu perubahan aktual manusia, suatu transformasi
dari kesadaran yang berpusatkan pada diri sendiri kepada kesadaran yang berpusatkan
kepada Tuhan dan dimanifestasikan menurut buah-buah rohani.[46] Keselamatan menurut Hick, bukanlah suatu
transaksi secara yuridis yang tercantum di Surga atau pengharapan masa yang
akan datang setelah kehidupan ini, tetapi lebih mengacu kepada perubahan
spiritual, moral dan politik yang dimulai saat ini juga.[47]
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa Yesus bukanlah jalan satu-satunya untuk memperoleh
keselamatan tetapi salah satu jalan kepada keselamatan.
EVALUASI TERHADAP
KRISTOLOGI JOHN HICK
Dalam mengevaluasi kristologi John
Hick, maka penulis berpijak pada teologi tradisional (khususnya kristologi). Mengapa harus berpijak pada teologi
tradisional? Pertama, karena teologi
John Hick berseberangan dengan teologi tradisional, bahkan dapat dikatakan
teologinya berdampingan dengan teologi liberal.
Kedua, karena teologi tradisional dibangun dengan prinsip-prinsip
hermeneutik yang tepat dan yang didasarkan pada firman Tuhan (Alkitab) yang
diinspirasikan oleh Roh Kudus dan yang berotoritas.
A. Evaluasi Terhadap Konsep Kristologi Teosentris Hick.
Konsep Kristologi yang teosentris yang diusung oleh Hick, sekilas dilihat
dari sisi kontekstualisasi dan dialog dengan agama lain adalah sangat baik. Namun ketika diselidiki lebih dalam maka dapat
disimpulkan bahwa konsep ini adalah konsep yang sangat bertentangan dengan ajaran
Alkitab. Model kristologi teosentris
yang diusung Hick, adalah suatu yang sangat
kontradiksi dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab. Pandangan ini mengakibatkan keterbukaan yang
makin terbentang melintasi batas, dan semakin menimbulkan suatu pergeseran
paradigma yang menjauhi normativitas atau absolutisme Kristus.[48]
Salah satu
alasan mengapa Hick membangun teologi yang teosentris adalah untuk membangun suatu
dialog antar agama yang lebih baik. Ia memandang bahwa konsep kristologi
tradisional merupakan penyebab dari timbulnya konflik dengan agama-agama lain
dan merupakan suatu bentuk intoleran dan arogansi dari kekristenan. Pertanyannya adalah, apakah teologi teosentris dapat membangun
dialog antar agama dan menjadikan dunia semakin toleran? Menurut hemat penulis, pada saat Hick
membangun teologi teosentris, ia tidak memahami bahwa sebenarnya ia sendiri
sudah tidak toleransi. Karena ia membangun suatu konsep
Allah yang eksklusif yaitu Allah yang disebut “The Ultimate” yang tentunya
tidak dapat diterima oleh agama-agama yang lain termasuk kekristenan. Sebagaimana dikatakan
oleh Coward, teologi teosentris juga masih merupakan hambatan bagi agama
Budha yang tidak mengenal istilah Allah.[49] Dengan demikian, konsep teologi pluralisme Hick, akan menjadi kontraproduktif karena menimbulkan masalah baru bagi
agama-agama di dunia. Dan dapat dipastikan
tidak ada satu pun agama di dunia ini yang dapat menerima konsep teologinya.
Bahkan menurut penulis, konsep Allah-nya Hick adalah konsep Allah yang
tidak jelas dan menyesatkan. Konsep Allah yang
dideskripsikan sebagai “Realitas Transenden” akan menghadapi berbagai
permasalahan. Permasalahannya adalah,
dari mana ia dapat mengetahui tentang Allah yang tidak dapat diketahui oleh
manusia namun secara bersamaan dapat memberikan afirmasi positif tentang
keberadaan dari Allah yang tidak dapat diketahui, yang tidak dapat digambarkan
dan tidak dapat dikonsepkan oleh manusia?
Berkaitan dengan hal itu, Peter Byrne berkomentar bahwa Hick akan mengalami
kesulitan dalam mempertahankan hipotesanya tentang Allah, secara khusus
berkaitan dengan masalah komitmen. Peter Byrne berpendapat,
If Hick can produce a religion but
non-theological theory of religion,he must able to register a commitment to a
transcendent,non-human source of religion while being agnostic, and
sceptical to a degree, about all specific, historically located affirmations of
the existance of transcendent beings and states. Some will wonder how he can have this
commitment alongside his agnosticsm.[50]
Jelas bahwa konsep Hick tentang Allah, tidak dapat
menyediakan komitmen apa-apa bagi
pengikutnya selain daripada sikap agnostik terhadap agama-agama lain. Konsep Allah yang dipaparkan oleh Hick,
adalah konsep Allah yang sangat berbeda dengan konsep Allah dalam kekristenan. Bagi
Hick, Allah tidak dapat dikatakan sebagai yang berpribadi atau tidak berpribadi, dan Allah adalah transenden. Transendensi Allah yang dipahami oleh Hick sangat berbeda dengan konsep
transenden Allah dalam kekristenan. Bagi
Hick, transendensi Allah harus dipahami sebagai
keberadaan Allah yang sangat terpencil dari ciptaan-Nya, Allah sangat berbeda
dengan manusia sehingga manusia tidak mungkin memiliki pengetahuan tentang
Allah atau dengan kata lain, Allah berada di luar kehidupan manusia, sehingga Allah tidak menyatakan apa pun kepada
manusia, dan manusia tidak bertanggungjawab kepada-Nya.[51]
Dengan konsep Allah seperti demikian, maka adalah suatu
yang wajar ia menolak konsep kristologi Kristen. Dalam kristologi Kristen,
Yesus adalah Allah yang berpribadi, Allah yang berinkarnasi menjadi manusia,
Allah yang hidup dan dekat dengan manusia, Allah yang memiliki hubungan yang
dekat dengan ciptaan-Nya.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa pendekatan teosentris Hick, semata-mata untuk membangun teologi
agamanya, yaitu teologi pluralisme. Ia mengharapkan dengan
pendekatan ini, maka akan terbangun suatu dialog dengan agama lain. Oleh sebab itu untuk membangun sikap
toleransi dan dialog dengan agama-agama lain, maka ia mengusulkan adanya
perubahan paradigma dari kristosentris kepada teosentris.
Menurut penulis, jika tujuan Hick hanya untuk membangun dialog dan toleransi (ranah moral dan etika) maka
sangat tidak tepat jika dia mengkompromikan satu doktrin yang sudah dipegang
sebelumnya, yang dibangun melalui hermeneutik yang tepat dan benar. Menurut penulis dialog dan toleransi
dengan pemeluk agama lain dapat dilakukan melalui cara-cara lain (seperti
usaha-usaha membangun kerjasama dalam bidang sosial, ekonomi, kemasyarakatan
atau hal yang berhubungan dengan kemanusiaan), tanpa harus mengorbankan satu
pemahaman yang esensi dalam iman Kristen yang berhubungan dengan kebenaran dari
finalitas Kristus.
B. Evaluasi Terhadap Konsep Inkarnasi dan KeilahianYesus Hick
Salah satu alasan, mengapa Hick menolak Inkarnasi Yesus adalah karena
Alkitab tidak secara ekspilist menjelaskan keilahian Yesus. Memang ada beberapa ayat yang seakan-akan menjelaskan keilahian Yesus, namun itupun bersifat ambigu. Bagi Hick, proses pengilahian Yesus dimulai ketika Ia mendapat julukan
sebagai Son of God. Julukan yang biasa di dalam dunia kuno (ancient
world) memiliki makna metafora dan biasanya dikenakan pada raja, Firaun dan
figur-figur dari pemimpin agama.[52] Namun, julukan ini diartikan secara literal
oleh orang Kristen dan diteguhkan atau diformulasikan dalam konsili
Chalcedon.
Memang harus diakui bahwa Yesus
tidak secara eksplisit menyatakan bahwa dia Allah dan Mesias tetapi di beberapa
bagian Alkitab sinoptik menjelaskan bahwa Yesus menyadari benar bahwa dia
adalah Allah dan juga manusia. Yesus secara implisit
menyatakan bahwa Ia adalah Allah dan juga
manusia. Hal ini jelas seperti
dikatakan oleh Johnson,
Tahukah Yesus bahwa diri-Nya adalah Allah, ya atau tidak?...jawabannya ya
dan tidak. Ya pada tingkat
subjektif…dan tidak pada tingkat yang objektif. Dengan kata lain, Ia tahu siapa diri-Nya
secara implisit tetapi tidak dengan istilah-istilah yang jelas dan dengan
konsep-konsep yang jelas…sebelum Yesus dapat diimani sebagai Allah oleh orang-orang
Kristiani, gagasan kita sendiri tentang Allah harus mengalami transformasi
dalam bentuk triniter. Ia adalah Mesias tetapi
ia memahami kemesiasan-Nya itu dengan jelas melalui pengalaman-pengalaman yang
konkret selama hidup-Nya. Apa yang dilakukan oleh gereja selama
dasawarsa–dasawarsa sesudah penyaliban dan kebangkitan-Nya, dan pasti selama
abad-abad konsili pertama adalah menjadikan eksplisit apa yang sudah secara
implisit ada dalam pribadi dan pelayanan Yesus. Gereja mengekspilisitkannya dalam
doktrin-doktrin.”[53]
Demikian juga ditegaskan
oleh Erickson:
We should note that Jesus did not make and
explicit and overt claim to deity, saying in so many words, ‘I am God.’ What we do find,
however, are claims which whould inappropriate if made by someone who is less
than God.[54]
Dalam beberapa hal Yesus mengakui bahwa Dia adalah setara dengan Allah, dan
apa yang dilakukan-Nya hanya dapat dilakukan oleh Allah bahkan Ia memiliki
sifat-sifat seperti Allah Bapa. Misalnya ketika dia
mengampuni dosa (seorang lumpuh disembuhkan; Markus 2:5). Ketika mengatakan demikian, maka ada reaksi dari orang Farisi dan
orang Yahudi karena hanya Allah yang dapat mengampuni dosa. Menghakimi dunia (Mat. 25:31-46). Dia dan Bapa adalah satu
(Yoh. 10:30), Ia telah ada sebelum Abraham (Yoh. 8:58). Ia menerima pengakuan
Thomas bahwa dia adalah Allah dan Tuhan (Yoh. 20:28). Ia mengatakan bahwa Ia berkuasa atas kehidupan dan kematian (Yohanes
11:25). Selain itu, melalui gelar-gelar-Nya, salah satunya sebagai Anak Allah, membuktikan bahwa Dia adalah Allah itu
sendiri. Alkitab mencatat 72 kali
di dalam empat Injil Yesus menyebut diri-Nya sebagai Anak Allah. Pada waktu Yesus menyebut dirinya Anak Allah, saat yang bersamaan Ia juga
menyatakan diri-Nya sebagai Allah, kepada kita sebagai anak-anak-Nya. Demikian juga Allah Bapa sendiri menyatakan bahwa dia adalah Anak Allah
(Mat. 3:17, Yoh. 3:7).
Namun, penjelasan ini tidak langsung
diterima oleh Hick, menurutnya bahwa apa yang dikatakan dalam kitab Injil
bukanlah suatu yang autentik, hal ini jelas sebagaimana ia katakan:
It is generally held today that the great
“I am” sayings of the fourth Gospel...cannot be attributed to the historical
Jesus but are words put into his mouth by a Christian writer some 60-70 years
later, and sayings in the Synoptic Gospel cannot be taken to contitute a claim
to be God incarnate.[55]
Untuk menanggapi hal ini, McGrath menyatakan, “But I see no evidence of this categorization in the New Testament or
the early Christian tradition.”[56]
McGrath jelas menyatakan bahwa tidak ada satu interpretasi
atau bukti yang menyatakan bahwa Yesus adalah guru biasa yang diproyeksikan
oleh murid-murid-Nya. Bahkan Paul D. Adams melalui Howard
Marshal dalam tafsiran kitab Galatia, khususnya Galatia 1:1, menunjukan bahwa konsep Yesus
sebagai Anak Allah telah dipakai oleh Paulus. Untuk hal ini, Adams
berkomentar:
Paul is able to say that he did not receive his apostleship from a man, but
through Jesus Christ and God the Father (Gal. 1:1). The close proximity of Jesus to God
in Gal. 1:1, and the contrasting of
Jesus and God to “men,” demonstrates that Paul put Jesus on the divine side of
the reality.[57]
Melalui penjelasan McGrath dan Adams
dapat disimpulkan bahwa hipotesa Hick mengenai Yesus adalah guru agama yang baik yang berubah
menjadi yang ilahi adalah sesuatu yang tidak dapat dipegang sebagai suatu kebenaran. Bahkan ia sendiri tidak
dapat meyakini dengan benar akan hipotesanya.
Ketika ia ditanyakan mengenai hipotesanya, Hick mengatakan:
No I can’t. And neither can anyone else be sure that he
was as they picture him. The entire history of New Testament
study shows that the material is always open to a range of varying
interpreattions. Every picture of Jesus is necessarily based upon a selection
from the data. And my own picture is based on my own selection, guieded by many factors,
including my knowledge of some spiritually very impressive individuals and my
reading about others.[58]
Selanjutnya Hick meragukan keabsahan pemaparan keempat Injil mengenai Yesus
karena penulisnya bukanlah saksi mata yang melihat dan mengalami sendiri. Ia mengatakan:
We should not of the four gospel as if
they were eyewitness by reporters on the spot. They were written forty
and seventy years after Jesus’ death by people who were not personally present
at the events they describe.[59]
Berkenaan dengan ini, Merril C. Tenney mengatakan bahwa keabsahan keempat Injil ini dapat
dipertanggungjawabkan, bagi Tenney dua dari empat penulis Injil adalah saksi
mata dan merupakan murid Yesus.[60] Selanjutnya dikatakan, walau pun Lukas dan
Markus bukan merupakan kedua belas murid Tuhan Yesus, namun catatan Injil dan
Markus tetap dapat dipertanggungjawabkan keakuratan datanya.[61]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberatan dari Hick mengenai keilahian
Yesus yang didasarkan pada bukti historis adalah penyataan yang tidak beralasan
dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
C. Evaluasi Terhadap Soteriologi
John Hick[62]
Bagi Hick, keselamatan manusia tidak memerlukan perantara seperti Yesus dan juga
tidak perlu pengampunan dari Yesus. Karena Yesus hanya
manusia biasa yang mau membawa manusia untuk memohon pengampunan kepada Bapa. Pendapat Hick ini didukung oleh pandangannya tentang Doa Bapa Kami yang
diajarkan Yesus, di mana kita diminta untuk meminta pengampunan
kepada Bapa dan juga tentang perumpamaan anak yang hilang, dimana pengampunan
tidak memerlukan perantara. Bagi Hick semuanya
menjelaskan bahwa pusat dari kekristen dan keselamatan adalah Bapa dan bukan
Kristus.[63]
Hick di sini tidak melihat teks dalam konteks yang tepat di dalam keseluruhan
Alkitab, sehingga bangunan kristologinya berantakan dan bersifat parsial. Hick tidak melihat Alkitab secara menyeluruh dalam hal kristologi. Sebagai contoh, di dalam Alkitab tertulis: “Hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan
tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan (Ibr. 9:22),” “Hai anakKu, dosamu sudah
diampuni.....Supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa
mengampuni dosa (Markus 2:5,10).” Ayat-ayat di atas dengan jelas mengatakan bahwa konsep pengampunan harus
melalui darah, dan Yesus telah mencurahkan darah-Nya di kayu salib. Dan Yesus pada waktu Ia hidup juga memiliki hak prerogatif Allah Bapa untuk
mengampuni dan menyelamatkan. Jadi dalam bagian ini, Hick tidak konsisten di dalam membaca dan memahami teks secara keseluruhan. Ia berani mengambil teks sebagian-sebagian demi mendukung pendapatnya yang
sesat dan ini sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hermeneutika.[64]
Keberatan Hick terhadap konsep Kristen yang menyatakan bahwa keselamatan hanya ada
melalui Yesus Kristus, sebenarnya hanya didasarkan pada konsep bahwa di luar kekristenan ada keselamatan. Ia memahami bahwa jika Allah Mahabaik, Mahakasih, tidak mungkin Ia hanya menyelamatkan
sebagian kecil manusia. Sebenarnya konsep Hick ini dipengaruhi oleh konsep
Allah-nya, dan juga cara ia mendefinisikan keselamatan itu sendiri. Bagi Hick, konsep keselamatan ialah:
Is not a juridical transaction inscribed in heaven, nor is it a future hope
beyond this life, but it is a spiritual, moral, and political change that can
begin now and whose present possibility is grounded in the structure of
reality.[65]
Dalam hubungannya dengan hal ini, ia memaparkan tokoh-tokoh dunia yang berjasa dalam berbagai bidang keadilan
dan perdamaian seperti Mahatma Gandhi di India, Uskup Romero, Nelson Mandela
dan lain sebagainya, sebagai orang-orang yang diselamatkan,
bahkan seorang marxis atau humanis dapat digolongkan sebagai orang
diselamatkan karena mereka sudah mengalami transformasi dari kemanusiaannya
yang berpusat pada diri sendiri kepada suatu orientasi baru di dalam
Transenden.[66]
Menurutnya, mereka ini adalah orang yang
telah merespon “The Real” tanpa pengetahuan tentang “The Real” tersebut.
Intinya bahwa tanda-tanda seseorang diselamatkan hanya berkaitan dengan
kemampuan moral orang tersebut. Ketika
seseorang hidup baik atau memiliki level moral
dan spiritualitas yang baik, maka ia pasti sudah memiliki keselamatan. Apa yang dipaparkan oleh Hick, mengenai
definisi keselamatan sebenarnya bertentangan atau berkontradiksi dengan
pandangan dirinya mengenai Allah. Konsep
keselamatan Hick tidak memiliki dasar ontologis, karena Ia menyebutkan bahwa “The
Real” itu tidak dapat dikatakan baik, dan tidak dapat dikatakan jahat. Apa standar moral yang ia pakai dalam
menentukan seseorang baik atau tidak baik. Jikalau “The Real” sendiri tidak jelas, bahkan ia tidak dapat dikatakan baik
atau tidak dapat dikatakan jahat, bagaimana mungkin ia menyimpulkan bahwa
standar moral seseorang dapat menentukan seseorang diselamatkan!
Dengan memakai konsep keselamatan yang dipahami sebagai transformasi moral,
sebenarnya ia sedang berusaha untuk mereduksi
perbedaan-perbedaan konsep keselamatan agama-agama yang begitu mendasar. Padahal konsep keselamatan yang berasal dari
struktur moralitas semata merupakan
konsep yang akan ditolak oleh tradisi agama yang ada. Dengan demikian, tujuan Hick untuk membangun
suatu kehidupan agama yang toleransi tidak mungkin akan tercapai dengan konsep
keselamatan yang demikian.
KESIMPULAN
Kristologi John Hick adalah kristologi
yang tidak di bangun atas dasar terang Firman Tuhan. Ia sangat menekankan pluralisme, sehingga
mengabaikan sesuatu yang esensi dari iman Kristen, yakni suatu keyakinan
ortodoks mengenai kebenaran dari pengajaran esensi iman Kristen, yang meyakini
akan keberadaan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat (finalitas) yang
berinkarnasi menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia yang berdosa.
Semua konsep yang dibangun dalam usaha untuk membangun
teologi agama pluralis tidak lebih dari bangunan teologi yang akan rontok
dengan sendirinya karena tidak dibangun atas dasar kebenaran Firman Tuhan tetapi
didasarkan pada konsep teologi liberal yang tidak memiliki dasar yang objektif.
Konsep Hick mengenai Yesus adalah konsep
yang semata-mata dibangun atas dasar teologi agama pluralis dan tidak
dibangun atas dasar hipotesa yang benar. Ia mendasari semuanya berdasarkan pemahaman
filosofisnya dan proses hermeneutik yang
didasarkan pada tradisi modern yang liberal yang berusaha untuk merelatifkan
klaim absolut dari keberadaan Kristus yang adalah Allah dan manusia yang
sempurna yang merupakan satu-satunya jalan kepada keselamatan. Ia sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa
klaim obsolut Kristus adalah suatu klaim kebenaran yang diyakini oleh orang
Kristen sepanjang sejarah gereja sampai hari ini yang merupakan klaim yang
berdasar pada Firman Tuhan.
Namun dibalik semua kekurangan atau kesesatan konsep Hick
mengenai Yesus Kristus, penulis sangat menghargai usaha Hick dalam bidang
kemanusiaan. Secara positif harus diakui
bahwa Hick sangat memperjuangkan kehidupan yang harmonis antar umat beragama di
seluruh dunia. Apa yang diperjuangkan
oleh Hick seharusnya diperjuangkan oleh orang percaya hari ini. Alkitab mengajarkan agar setiap orang Kristen
harus menjadi garam dan terang dunia, membawa syalom di tengah dunia ini,
menjadi pembawa damai. Namun setiap orang Kristen harus benar-benar belajar
dari kesalahan Hick, agar tidak jatuh dalam kesalahan yang sama seperti Hick,
yang terlalu fokus pada usaha membangun hidup yang harmonis atau toleransi
dengan agama lain, namun melalaikan satu kebenaran esensi dari iman Kristen
yaitu keabsolutan Kristus.
KEPUSTAKAAN
Buku dan Artikel
Erickson, Millard J. Introducing
Christian Doctrine. Grand
Rapids: Baker, 1992.
Hick, John, An Interpretation of Religion , Human Responses to the
Transenden. New Haven and London:
Yale University Press,1989.
_________, Jesus and the
World Religions: In The Myth of God Incarnate. ed. John Hick.Philadelphia: Westminster,1977.
_________, God Has Many Names; Jesus And The World Religions. Philadelphia: Westminster Press, 1980.
_________, and Paul F. Kniter. Ed., The Myth of
Christian Uniqueness. London:SCM
Press, 1987.
_________, The Metaphor of God
Incarnate, Christology in a Pluralistic Age Lousville,
Kentucky:Westminster/John Knox Press, 1993
__________, & Paul Knitter, Mitos Keunikan
Agama Kristen, Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 2001.
Karkainen, Veli-Matti, Christology: A Global
Introduction. Grandrapids:
Bakker, 2003.
Johnson, A. Elizabeth, Kristologi di mata kaum feminis: Gelombang pembaruan
dalam Kristologi. (Yogyakarta:
Kanisius, )2003.
Kanisius L. Silvester, Allah dan
Pluralisme Religius. Jakarta: Obor,
2006.
Lumintang Stevri, Teologi & Misiologi Reformed Batu: Departemen Literatur YPPII, 2006.
______________, Teologi Abu-Abu: Pluralisme Iman Batu: Departemen Literatur YPII), 2002.
Knitter, Paul F. Pengantar Ke Dalam Teologi
Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius,
2008.
_____________, Menggugat Arogansi
Kekristenan, Yogyakarta : Kanisius, 2005.
Neuner, Joseph ed. Christian Revelation and World Religion London: Burn & Oates, 1967.
Rahner Karl, Theological
Investigations Vol 14 translated by David Bourke, London: Darton, Longman & Todd, 1976.
Simajuntak Dame Mian Asi, “Analisa Kritis Terhadap
Kristologi John Hick” (skripsi). Malang: SAAT, 2004
Dermawan, Budi
“TinjauanTerhadap Hipotesa Pluralisme Agama John Hick: Suatu Dialog
Kritis
Dari Perspekti Eksklusifis” Skripsi (Malang: SAAT, 2002)
Internet
Tumpal H. Hutahean, "Finalitas
Karya Yesus Sebagai Tuhan dan Juruselamat: Tinjauan Kritis terhadap Teologi
Religionum” [http://www.grii-andhika.org/makalah/finalitas]
Debora N. Eliasih,
"Respon Injili Terhadap Dekonstruksi Konsep Kristologi oleh Kaum
Pluralist"http://debbiep
[1]Kristologi adalah suatu
doktrin yang sering dipersoalkan oleh bidat-bidat dan juga teolog-teolog yang
“menyimpang”. Sebagaimana dikatakan oleh Lumintang: “Akar persoalan
kristologi sebenarnya telah mulai dari
gereja mula-mula, bahkan sejak masa
Yesus dan terus berkembang sampai zaman reformasi. Tidak sampai di situ,
persoalan kembali hangat pada zaman setelah reformasi yaitu zaman rasionalisme
abad XIX, di mana teologia telah telah dipengaruhi oleh filsafat rasionalisme
dan sekularisme Barat, bahkan sampai
saat ini. Stevri Indra Lumintang, Teologi
Abu-Abu, Pluralisme Iman (Batu Malang: YPII, 2002) 134-135.
[2]Riwayat kehidupan Hick,
disarikan dari berbagai sumber, diantaranya: John Hick, God Has Many Name, p.14-15. M.Douglas, “Disintegration Kristology
Jhon Hick,” Jurnal of the Evangelical
Theological Society 39 (1996) 257.
[4] John Hick, “A Pluralist
View” dalam Four Views on Salvation in a
Pluralistic World (Grand Rapids: Zondervan, 1995) 47.
[5] John Hick, A Christian Theology of Religions (Louisville:
Westminster/John Knox, 1995) 50.
[6] John Hick, An Interpretation of Religion (London: MacMillan; New Heaven: Yale
University press, 1989) 246.
[7]John Hick, Dimensi Kelima: Menelusuri Makna Kehidupan
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001) 21.
[8]Hick mengatakan bahwa
kepercayaan Kristen mengenai keabsolutan Yesus, Yesus satu-satunya jalan,
memiliki dampak buruk dalam kehidupan manusia, karena akan berdampak pada satu
sikap yang tidak toleransi, rasisme, merasa superioritas dan lain-lain. John
Hick dan Paul Knitter, ed., The Myth of
Christian Uniqueness (London: SCM press, 1987) 17-18.
[9]Hick, God Has Many Names 71.
[10] Penjelasan mengenai
definisi anonimus Kristen, di jelaskan
oleh Rahner dalam bukunya Theological Investigation sebagai berikut: “We prefer the terminology according to which
that man is called an ‘anonymous Christian’ who on the one hand has de facto
accepted of his freedom this gracious self-offering on God’s part through
faith, hope, and love, while on the other he is absolutely not yet a Christian
at the social level (through baptism and membership of the Church) or in the
sense of having consciously objectified
his Christianity to himself in his own mind (by explicit Christian faith
resulting from having hearkened to the explicit Christian message) We might
therefore put it as follows: the ‘anonymous Christian’ in our sense of the term
is the pagan after the beginning of the Christian mission, who lives in the
state of Christ’s grace through faith, hope and love, yet who has no explicit
knowledge of the fact that his life is orientated in grace-given salvation to
Jesus Christ.” Karl Rahner, Theological
Investigations Vol 14 translated by David Bourke (London: Darton, Longman & Todd, 1976)
283.
[11]John Hick dan Paul Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) 55.
[12]Joseph Neuner, ed. Christian
Revelation and World Religion (London: Burn & Oates, 1967) 53.
[13]Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan (Terj. Yogyakarta: Kanisius, 2005) 160.
[14] Ibid.
[15] Hick, “A Pluralist View”
35.
[16]John Hick, The Myth 20.
[17]John Hick, The Metaphor of God Incarnate: Christology
in a Pluralistic Age (Louisville: Westmister Press, 1993) 12.
[18]Lumintang, Teologi Abu-Abu 110.
[19]John Jick, Metaphor 12.
[20]Hick, “Jesus and the World
Religion” 168.
[21] Hick, “A Pluralist View”
35-36.
[22]Ibid.
[23]Paul F.Knitter, Pengantar ke dalam Teologi Agama-Agama
(Yogyakarta:Kanisius, 2008) 134-135.
[24]John Hick, The Metaphor iX.
[25]Ibid.
[26] John Hick, Jesus And the World Religion, The Myth of
God Incarnate (Philadelphia:
Westminster, 1977) 168.
[27]John Hick, An Interpretation of Religions (New
Heaven and London: Yale University, 1989) 372.
[28]John Hick, The Metaphor 106.
[29] John Hick, Jesus and the World Religion 242.
[30]Ibid, 178.
[31]Lumintang, Teologi Abu-Abu 111-112.
[32]Hick, Jesus and World Religion 176.
[33]Ibid, 178.
[34]Ibid. 181.
[35]Hick, Jesus and the World Religion 178.
[36]Hick, The Metaphor 4.
[37] Hick, Jesus and the World Religion 172.
[38]Ibid. 12.
[39]Hick dan Knitter, The Myth of Christian Uniqueness 16.
[40] Neune, Christian Revelation 52.
[41]Ibid. 35.
[42] Ibid. 52. Dikutip dari
Budi Dermawan “TinjauanTerhadap Hipotesa Pluralisme Agama John Hick: Suatu
Dialog Kritis Dari Perspekti Eksklusifis” Skripsi
(Malang: SAAT, 2002) 18.
[43]Hick, The Metaphor of God Incarnate 127.
[44]Lumintang, Teologi Abu-Abu, 180-181.
[45]John Hick, God
and The Universe of Faith (London:
Macmillan; Ny: St Martin’s, 1973) 122.
[46]Dermawan, “Tinjauan Terhadap
Hipotesa Pluralisme” 40.
[47]John Hick, “Pluralist
View” dalam Four Views on Salvation in a
Pluralistic World (Grand Rapids:
Zondervan, 1995) 43.
[48]Debora N. Eliasih, “Respon Injili Terhadap Dekonstruksi Konsep
Kristologi oleh Kaum Pluralis,” http://debbiepunya.blogspot.com/2010/08/respon-injili-terhadap
dekonstruksi.htm. (diakses maret 2013)
[49]Ibid.
[50] Peter Byrne “A Religious
Theory of Religion” dalam Budi Dermawan
“Tinjauan Terhadap Hipotesa Pluralisme” 58.
[51]Dermawan “Tinjauan
Terhadap Hipotesa Pluralisme” 60-61.
[52]Hick, “Jesus and the World
Religion” 168.
[53]Elizabeth A. Johnson, Kristologi di Mata Kaum feminis: Gelombang
Pembaharuan Dalam Kristologi (Yogyakarta: Kanisius 2003) 65-66. Bnd. Dame
Mian Asi Simajuntak, Analisa Kritis Terhadap Kristologi John Hick
(skripsi) (Malang: SAAT, 2004) 111.
[54]Millard J. Erickson, Introducing Christian Doctrine (Grand Rapids: Baker, 1992) 208.
[55] James D.G Dunn, Christology in the Making (Philadelphia:Westminster, 1980) 60. Dikutip
dari John Hick, “Is Christianity the Only True Religion or One among Others?”
[http:/www.johnhick.org.uk/articel2.pdf]
[56] Alister E. McGrath,
“Response to John Hick “ dalam Gundry,
Stanley N., ed. Four Views on Salvation in a Pluralistic World (Grand Rapids:
Zondervan, 1995) 67.
[58] Hick, The rainbow of Faiths: Critical Dialogues on
Religious Pluralism (London:SCM,
1995) 92.
[59]Hick, “Pluralist View”
33-34.
[60]Merril C. Tenney, Survey
Perjanjian Baru [Ed. Keempat; Malang: Gandum Mas, 1997) 183. Dalam Dermawan
“Tinjauan Terhadap Hipotesa” 70.
[61]Ibid.
[62]Pembahasan dalam makalah
ini adalah berhubungan dengan
kristologi, namun penulis akan memaparkan sedikit mengenai konsep
soteriologinya agar pembaca dapat
memahami secara komprehensif mengenai konsep kristologi John Hick. Hal ini juga
berkaitan dengan konsep keselamatan
dalam Kristen bahwa keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus yang
ditentang oleh Hick.
[63]Hick, The Metaphor 127.
[64]Tumpal H. Hutahean,
“Finalitas Karya Yesus Sebagai Juruselamat: Suatu tinjauan Kritis Terhadap
Teologia Religionum,”
http//www.grii-andhika.org/makalah/finalitas-karyayesus.htm
[65]Hick, “ A pluralist View”
43.
[66] Hick, The Rainbow 80/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar