PENDAHULUAN
Penderitaan adalah suatu realita yang tidak
dapat dihindari oleh setiap manusia. Alkitab mencatat bahwa sejak manusia jatuh
dalam dosa, maka penderitaan menjadi bagian yang tidak terelakan dari realita kehidupan manusia. Penderitaan dapat
dialami oleh siapa pun, apakah orang
beriman atau saleh, orang berdosa, orang dewasa, bahkan anak-anak sekalipun tidak bebas dari penderitaan. Oleh
sebab itu, tidak mengherankan jikalau
topik penderitaan selalu menjadi isu
yang hangat untuk didiskusikan, ditanyakan bahkan diperdebatkan, baik dalam kalangan kekristenan sendiri maupun
antara teis dan non teis (ateisme).
Pertanyaan yang sering ditanyakan adalah, mengapa ada penderitaan di dalam dunia?
Pertanyaan ini adalah suatu pertanyaan filosofis dan teologis yang
selalu dipertanyakan sepanjang
zaman. Pertanyaan ini dapat dikatakan menjadi satu “momok”
abadi bagi kaum teis termasuk kekristenan
dan menjadi pijakan yang kokoh bagi kaum non teis untuk menolak eksistensi
Allah. Bagi non theis adanya Tuhan
inkonsisten dengan fakta adanya kejahatan dan penderitaan yang dialami di dalam
dunia ciptaan-Nya.[1] Seorang filsuf bernam Max Horkheimer,
mengatakan “…Dihadapan penderitaan yang sejak berabad-abad
melimpah diatas dunia ini, ajaran agama Kristiani tentang Allah yang mahakuasa
dan maha baik tidaklah meyakinkan…”[2]
Dari paparan ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa permasalahan ini adalah hal yang penting oleh
karena itu, setiap orang kristen termasuk penulis harus memberikan suatu jawaban atas pertanyaan mengenai adanya
penderitaan yang dikaitkan dengan eksistensi Allah. Oleh sebab itu melalui makalah ini penulis akan mencoba
menjawab argumentasi non theis yang mengaitkan mengenai fakta adanya
penderitaan dengan eksistensi Allah dengan memakai konsep penderitaan menurut C.S Lewis.
Adapun sistimatika penulisan adalah
sebagai berikut: Pertama, penulis akan memaparkan secara singkat
mengenai pengertian penderitaan; Kedua penulis
akan
membahas beberapa argumentasi beberapa
tokoh ateis yang menolak eksistensi Tuhan yang didasarkan oleh masalah
penderitaan. Ketiga; penulis akan memaparkan konsep penderitaan menurut C.S Lewis,
sekaligus sebagai jawaban terhadap pandangan yang menolak eksistensi Allah
didasarkan masalah penderitaan dan Terakhir, penulis akan membuat satu
kesimpulan.
PENGERTIAN PENDERITAAN
A. Pengertian
penderitaan secara umum
Penderitaan
berasal dari kata derita yang berarti suatu
keadaan yang menyedihkan dan
dalam bahasa Inggris “suffer”
yang artinya “menderita.” Kamus Webster mendefinisikan penderitaan
adalah suatu yang tidak menyenangkan yang dialami oleh
manusia dikatakan: Sufering is the bearing of pain, inconvenience or loss, pain endured, distress, loss, or
injury incurred; as suffering, etc”.[3]
B. Pengertian
penderitaan Menurut Alkitab
Penderitaan
atau derita dalam Alkitab PB berasal
dari dua kata Yunani, pertama paskho
yang menunjuk kepada sesuatu yang
dilakukan terhadap seseorang yang berkaitan dengan penderitaan. Dalam Kisah 1:3
kata ini merujuk kepada penderitaan Yesus.
Kata yang kedua adalah thlipsis secara
umum diartikan sebagai tekanan, beban yang berat dalam hati seseorang. Kata ini juga dipakai dalam
konteks eskatologi mengenai adanya penderitaan besar. Dalam PL kata penderitaan lebih bersifat umum
seperti sakit, dukacita, kemalangan dan lain sebagainya.[4]
Dari
berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penderitaan dapat berupa
penderitaan secara fisik maupun non fisik. Penderitaan bukan sesuatu yang
menyenangkan, tidak membawa sukacita tetapi dukacita, oleh sebab itu setiap
manusia berusaha untuk menghindarinya.
BEBERAPA
PANDANGAN YANG MERAGUKAN EKSISTENSI ALLAH YANG
DIDASARKAN PADA REALITA ADANYA PENDERITAAN
Secara umum pandangan yang menolak atau meragukan eksistensi Allah di dasarkan pada adanya penderitaan di wakili oleh dua golongan, pertama adalah golongan ateis
dan kedua dari golongan Kristen sendiri yang
diwakili oleh penganut teologi kemakmuran.
Dalam bagian ini penulis tidak akan membahas akan pandangan dari kedua golongan ini. Penulis hanya akan memaparkan secara ringkas mengenai golongan
ateis. Secara khusus penulis akan memaparkan akan beberapa argumen-argumen
dasar dari beberapa tokoh ateis dalam
mempertanyakan akan keberadaan Allah yang dikaitkan dengan realita
adanya penderitaan di dalam dunia.
Sebelum membahas mengenai
argumen-argumen non teis atau ateis pertama-tama yang harus kita ketahui adalah siapa golongan ateis. Ateis
adalah sebuah pandangan filosofi
yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas,
ateis adalah ketidak percayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan. Istilah ateisme berasal dari bahasa Yunani ἄθεος (atheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada
siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah
mapan.[5] New Dictionary of Theology mendefinisikan ateis atau ateisme adalah
pandangan yang percaya bahwa Allah tidak ada. Istilah ini sering dipakai secara
umum untuk menunjukan ketidakpercayaan seseorang kepada Allah dari
tradisiYahudi-Kristen.[6]
Secara umum, ateis dapat dibagi dua yaitu ateis praktis[7] dan teoritis[8]. Dari kedua macam ateis ini,
dapat dikatakan bahwa ateis
teoritis adalah ateis yang selalu
bertentangan dengan kaum teis secara
khusus dalam diskusi-diskusi
mengenai pembuktian keberadaan Allah.
Dalam usaha untuk menyangkal
atau menolak akan keberadaan Allah, maka para kaum ateis pada saat ini,
selalu bertolak dari satu argumentasi
yaitu adanya fakta mengenai berbagai penderitaan yang dialami manusia di dalam
dunia ini membuktikan bahwa tidak ada
Tuhan. Penolakan akan keberadaan Allah didasarkan pada satu titik, jikalau Allah dengan segala
kualitasnya serba “Maha”, mengapa ada penderitaan? Secara logis hal ini menunjukan akan
ketidakonsitenan Allah dan tentunya bertentangan dengan sifat-sifat Allah.[9] Lebih dalam lagi, orang ateis
melihat bahwa penderitaan itu tidak hanya dialami oleh orang-orang tertentu tetapi semua orang, tidak terkecuali. Apakah anak-anak, orang jahat, orang berdosa bahkan orang saleh
seperti Ayub pun tidak luput dari penderitaan.
Dibawa ini akan dipaparkan mengenai
beberapa pernyataan dan argumentasi tokoh dan filsuf ateis yang menggunakan fakta adanya penderitaan untuk menolak eksistensi
Allah:
Seorang ateis bernama Emmanuel Levinas,[10]
menolak eksistensi Allah didasarkan sisi
moral, ia mengatakan:
“…kelemahan dan ketidakmahakuasaan Tuhan
disini memiliki korban manusia yang sangat banyak. Pantaskan kita mengatakannya
demikian?…Tahukah anda, saya tidak mengerti perihal kemahakuasaan Allah,
sekarang ini, setelah Auschwitz… kataku: harganya terlalu mahal, dan korban itu
bukanlah Allah, melainkan kemanusiaan… kenosis dalam ketidakmahakuasaan ini
memakan terlalu banyak korban manusia…”[11]
Argumentasi yang senada,
menolak kepantasan moral Allah, juga dapat kita temukan pada tulisan Ernst
Bloch.[12]
Bagi Bloch, kisah Ayub dalam kitab suci dapat dimengerti sebagai sebuah pesan
bahwa seorang manusia melampaui Allahnya karena kesadaran moralnya bertahan di
hadapan Allah, yang notabene adalah hakim yang meragukan. Dikatakan:
“…Dalam kitab Ayub mulailah sebuah pembalikan
nilai yang luar biasa…: seorang manusia dapat lebih baik, dapat berperilaku
lebih baik dari pada Allahnya… Kesadaran moral Ayub bertahan dihadapan Yahwe,
Hakim yang meragukan…seorang manusia melampaui, ya mengatasi Allahnya (dari
kaca mata moral), itulah logika kitab Ayub…”[13]
Dari apa yang disampaikan diatas, Bloch sebenarnya ia ingin menegaskan bahwa setelah peristiwa Ayub maka semua argumentasi keadilan Allah menjadi sesuatu yang
meragukan. Lebih lanjut ia
mengatakan “… Jika Allah yang
sungguh-sungguh mahakuasa dan mahabaik Ia tidak akan berdiam diri dan nampak
lelah dan lemah, baik terhadap pendosa, apalagi, sebagaimana ditunjukkan oleh
Ayub- terhadap mereka yang benar dan adil…”[14] . Menurutnya apakah Allah dapat disebut kudus
dan suci kalau Ia, secara moral lemah?
Dapatkah Allah yang secara moral lemah, ragu-ragu, dan tidak cukup tegas
memihak yang lemah dan menderita, menjadi Allah bagi manusia?
Bloch di sini hendak mengatakan bahwa Allah telah
kehilangan kepantasannya untuk dipercaya di mata manusia, karena Ia berdiam
diri ketika penderitaan terjadi di depan mataNya. Dan tentunya hal itu
bertentangan dengan hakekatNya yang mahakuasa, menurutnya ternyata Allah tidak mampu atau tidak mau
mencegah ketidakadilan terhadap mereka-mereka yang tak bersalah, dan tidak mampu menghapuskan penderitaan.[15]
Seorang yang bernama Sthendal mengatakan: “ Penolakan
Allah untuk berinterfensi terhadap penderitaan adalah suatu yang tidak
bermoral”. Lebih lanjut dikatakan, “walaupun saya adalah mahluk terbatas, namun
saya lebih bermoral dari-Nya, karena itu saya berontak terhadap situasi ini.
Sama saja kalau dikatakan bahwa Ia tidak ada, sebab Allah yang tidak bermoral
itu sama dengan ketiadaan Allah…”[16]
Bahkan dalam satu diktum yang termasyur
ia mengatakan, “…Satu-satunya alasan untuk memaafkan Allah adalah dengan
menegaskan, bahwa Ia tidak ada…, ”[17] hal
senada dikatakan oleh Odo
Marquard “bahwa demi kemuliaan Allah, sebaiknya Ia tidak ada saja.”[18]
Seorang ateis lainnya yang sering muncul dalam perdebatan dengan
kekristenan yaitu Walter
Sinnot-Armstrong, ia mengatakan bahwa ada tiga argumentasi untuk kita tidak
perlu mempercayai eksistensi Allah yaitu
The problem of evil, the problem of action and the argument of ignorance.[19] Menurutnya, kekristenan mendefinisikan Allah setidaknya dengan enam
definisi.[20] Pertanyaan adanya fakta kejahatan dan penderitaan yang terjadi didalam dunia ini dan yang
dialami oleh seluruh umat manusia tanpa terkecuali mulai dari bayi yang lahir
cacat dan lain sebagainya sangat
bertentangan dengan natur atau definisi Kristen tentang Allah yang all-good and all-powerfull. Dengan fakta ini maka ia berkesimpulan bahwa tidak ada Allah. [21]
Mengapa demikian? menurutnya, Allah tidak memiliki alasan yang tepat untuk membiarkan bayi-bayi menderita bahkan mati, mengapa ada
sakit penyakit, bencana alam merenggut ribuan nyawa dan lain sebagainya. Kalau
ada Allah, maka Ia dapat menjelaskan kepada kita, namun Ia tidak dapat menjelaskan
kepada kita.[22]
Adapun dasar
argumentasi logisnya untuk
menolak Allah adalah sebagai berikut:
1.
If there were an all-powerfull
and all-good God, the there would not be any evil in the world unless that evil is logically necessary for an adequately
compensating good.
2.
There is lots of evil in the
world.
3.
Much of that evil not logically
necessary for any adequately compensating good.
4.
Therefore, there is no God who
is all-powerful and all-good.[23]
Melalui argumentasi ini, ia hendak menunjukan bahwa Allah
Kekristenan bukanlah Allah yang mahabaik
dan maha kuasa, karena fakta adanya
penderitaan menunjukan inkonsistensi dengan natur Allah yang all-good dan all-powerful.
Dari beberapa pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa
alasan utama ateis untuk menyangkal eksistensi Allah didasarkan pada masalah penderitaan, sebenarnya
karena mereka hanya melihat Allah dari sisi kemutlakan kebaikan moral yang didasari pada kebaikan moral manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Leahy: “…Rasa
berontak terhadap kejahatan telah menyebabkan orang menyangkal Tuhan, justru
karena mereka percaya akan kemutlakkan kebaikan moral itu sendiri…”[24] Leahy juga menambahkan, “…sedemikian transendenlah nilai moral itu,
sampai orang ateis lebih suka menyangkal Allah daripada melihat nilai moral
berkompromi dengan kejahatan…kewajiban itu sedemikian kuatnya, sehingga orang
merasa perlu menyangkal Allah atas nama kewajiban itu…”, dengan kata lain, “…seseorang menyangkal Allah
untuk tetap setia kepada kemutlakkan nilai moral tersebut…”[25]
KONSEP
PENDERITAAN MENURUT C.S LEWIS: SUATU JAWABAN TERHADAP PANDANGAN YANG MENOLAK
EKSISTENSI ALLAH
A. Pengertian
Penderitaan Menurut Lewis
Lewis
membedakan 2 pengertian mengenai
penderitaan, pertama penderitaan
adalah suatu sensasi spesifik yang
dirasakan atau disalurkan melalui urat-urat syaraf khusus dan dikenali oleh
seseorang seperti sejenis sensasi baik
di sukai maupun tidak, misalnya,
seseorang mengalami sedikit perasaan sakit di dalam anggota tubuhnya namun ia
tidak memprotesnya. Kedua,
penderitaan yang berhubungan dengan pengalaman apapun bersifat fisik dan mental
yang tidak disukai oleh seseorang, intensitasnya lebih tinggi levelnya dari
pengertian pertama. Penderitaan ini sinonim dengan kesusahan, kesulitan besar,
kemalangan, yang memunculkan berbagai masalah penderitaan.[26]
B. Konsep Penderitaan
Menurut C.S Lewis
Menurut
Lewis, untuk menjelaskan adanya penderitaan, maka pertama-tama kita harus
menyelesaikan problem mengenai klaim non theis mengenai eksistensi Allah yang berhubungan
dengan kasih, kebaikan dan
kemahakuasaan Allah. Lewis berpandangan bahwa adanya penderitaan tidak
membuktikan bahwa Allah tidak
ada dan tidak membuktikan bahwa
Allah tidak memiliki kebaikan atau kuasa. Dalam bukunya problem of pain ia
menjelaskan bahwa adanya penderitaan dan kejahatan di dalam dunia ini, tidak serta merta dapat
menjadi satu kesimpulan untuk
kita menyangkal akan kebaikan dan kebijaksanaan dari Allah Sang Pencipta, apalagi menolak akan eksistensi Allah.[27]
Menurutnya untuk
menjawab akan hal ini, maka perlunya kita menempatkan secara tepat istilah “maha kuasa”
atau “baik”. Baginya kemahakuasaan Allah
berarti kuasa untuk melakukan semua yang
secara intrinsik mungkin
dilakukan, bukan untuk melakukan apa yang secara intrinsik mustahil
dilakukan. Kemustahilan-kemustahilan
yang intrinsik, bukanlah hal-hal yang nyata melainkan non entitas.[28] Oleh sebab itu adanya penderitaan tidak dapat
membuktikan ketidakadaan Allah
atau ketidak-Mahakuasa-an Allah. Kesimpulan
adanya penderitaan membuktikan
Allah tidak Mahakuasa dan baik sebenarnya
diakibatkan oleh keterbatasan manusia untuk memahami Allah.
Bisa saja, apa yang baik bagi kita, bukan merupakan suatu hal yang baik menurut
Allah, dan apa yang tampak jahat bagi
kita, bisa saja tidak jahat menurut pandangan Allah.[29] Oleh sebab itu, secara sederhana untuk mengerti adanya penderitaan harus dilihat dari sisi
kebaikan Allah. Sebagaimana dikatakan: “….if
the universe must, from the outset, admit the possibility of suffering, the
absolute goodness would have left the
universe uncreated.[30] Dengan kata lain bahwa melalui penciptaan alam semesta membuktikan
bahwa Allah Maha Kuasa dan juga adalah
Allah yang baik. Lebih tepat dapat
dikatakan bahwa Allah tidak mungkin kontradiksi dengan diri-Nya sendiri, oleh
sebab itu yang terpenting adalah,
bagaimana kita menemukan kebaikan Allah dan penderitaan tanpa kontradiksi.
Sejalan dengan
hal tersebut, maka menurut Lewis untuk memahami kebaikan Allah maka harus didasarkan oleh standar moral Allah bukan standar moral manusia.
Gagasan “kebaikan” Allah berbeda dengan gagasan kita, demikian juga ada perbedaan
antara etika kita dengan etika Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Lewis:
“The divine
‘goodness’ differs from ours not as white from black but it is not
sheerly different: it differs from ours
not as white from black but as perfect circle from a child’s first attempt to draw a wheel. But when the child has learned to
draw, it will know that the circle it then makes it what it was trying to make
from the very beginning.”[31]
Dengan kata lain, Lewis hendak mengatakan
bahwa standar moral manusia belum sempurna, sehingga pandangan kita mengenai
kebaikan Allah selalu dilihat dari perspektif manusia yang terbatas. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemahaman kita mengenai kebaikan Allah selalu merujuk kepada “kasih sayang Allah”. Kata
‘kasih’ disini seringkali
diartikan sebagai satu keinginan melihat orang lain lebih bahagia dari pada
dirinya sendiri. Kita menginginkan Allah memuaskan segala keinginan kita. Oleh sebab itu menurut Lewis, jika pemahaman
kita mengenai kasih seperti demikian, maka sebenarnya yang kita inginkan
bukan Allah Bapa di Surga tetapi
seorang kakek di Surga yang selalu senang melihat orang muda bersenang-senang.[32]
Bagi Lewis,
kasih adalah sesuatu yang lebih tegas dan istimewa dari pada kebaikan
hati semata. Ada kebaikan hati di dalam
kasih, tetapi kasih dan kebaikan hati
tidak setara. Kebaikan hati melibatkan
suatu ketidakpedulian tertentu
yang fundamental terhadap objeknya, dan bahkan sesuatu yang menyerupai perasaan
jijik terhadap objeknya.[33] Di dalam
kasih mencakup hal-hal yang
menyakitkan bahkan penderitaan. Oleh sebab itu jika Allah adalah ‘kasih’
secara naturnya, maka
kasihnya tidak sekedar kebaikan
hati. Sebagaimana di katakan Lewis:
“And it appears, from all the
records, that though He has often rebuked us and condemned us, He has never regarded us with
contempt. He has paid us the intolerable
compliment of loving us, in the deepest,
most tragic, most inexorable sense.”[34]
Hal
ini menunjukan bahwa relasi antara Allah dan manusia adalah suatu relasi yang
unik, relasi yang tidak bisa diparalelkan dengan relasi apa pun di antara sesama ciptaan. Tuhan Yesus memberikan gambaran yang Agung
mengenai relasi kita dengan Allah. Relasi manusia dengan Allah dapat
digambarkan seperti relasi antara seorang ayah dengan anaknya. Kasih antara ayah dan anak merupakan simbol kasih otoritatif dan di sisi lain berarti kasih yang taat. Selain
gambaran tersebut, Lewis memberikan satu gambaran yang lebih ideal mengenai relasi antara manusia dengan analogi kasih seorang pria kepada wanita
(suami istri).[35]
Melalui
bagian ini, Lewis hendak
menjelaskan bahwa untuk menggambarkan kebaikan
moral Allah tidak bisa hanya dilihat dari perspektif manusia dengan
segala keterbatasannya, tetapi harus dilihat dari sisi Allah yang melihat
manusia sebagai objek kasih-Nya. Di dalam kasih-Nya Allah tidak seperti seorang kakek yang
mengharapkan kita bahagia dengan keinginan kita sendiri, tetapi seperti seorang Bapa yang menginginkan
anaknya taat, seperti kasih antara pria
dan wanita yang cemburu. Allah dengan kasih-Nya memberikan kepada kita apa yang
kita butuhkan, bukan apa yang kita
inginkan menurut pikiran kita saat ini.
Dengan demikian dapat dikatakan di dalam kasih dan kebaikan selalu
terselip adanya penderitaan.
Oleh sebab itu adanya penderitaan tidak membuktikan bahwa Allah tidak
baik atau tidak berkuasa, tetapi sebaliknya melalui penderitaan kita dapat
mengenal akan kebaikan dan kuasa Tuhan.
Kedua, mengapa ada penderitaan? Menurut Lewis penderitaan merupakan cara Allah untuk menaklukan keegoisan atau keakuan
manusia. Dalam The problem of Pain, ia menuliskan: “ The human spirit will not even begin to try
to surrender self-will as long as all seems to be well with it[36]. Dengan kata lain melalui penderitaan menyadarkan manusia bahwa ada sesuatu yang
salah dalam hidupnya. Oleh sebab itu tidak salah jika dikatakan bahwa
penderitaan, kepedihan, ujian dan pencobaan hidup adalah berguna untuk
membangun suatu kedewasaan rohani, kekudusan dan hikmat manusia. [37]
Lebih
lanjut Lewis mengatakan bahwa penderitaan
adalah megaphone Allah untuk mengingatkan dan menyadarkan
manusia akan keberdosaan manusia.
Penderitaan memaksa manusia untuk memperhatikan Allah dan kembali mengingat
akan Allah. Allah berbisik dalam kesenangan manusia, Ia berbicara dalam hati
nurani manusia, tetapi Ia berteriak dalam penderitaan kita, itu yang disebut
pengeras suara raksasa Allah untuk menyadarkan dunia. Megaphone (pengeras
suara) Allah merupakan “alat yang mengerikan” namun bagi sebagian orang alat
ini memberikan “satu-satunya kesempatan bagi orang jahat untuk mendapat
amandemen atau kesempatan untuk berubah. Alat ini membukakan selubung; memancangkan panji
kebenaran di dalam jiwa yang memberontak.”[38]
Melalui
penderitaan Allah menghancurkan ilusi
kepuasan diri sendiri, saat kita mengalami penderitaan atau sakit
penyakit, maka kita disadarkan bahwa ilusi kesenangan duniawi hanyalah hayalan belaka. Di saat penyakit
menyerang, kita disadarkan pada kenyataan bahwa kita tidak dapat mengatur jalan hidup kita.
Sehingga Lewis mengatakan: “ setiap orang tahu betapa sulitnya memalingkan
pikiran kita kepada Allah di saat segalanya tampak berjalan lancar-lancar
saja.”[39] Dapat
disimpulkan, mengapa ada penderitaan? Karena penderitaan merupakan salah satu instrumen Allah untuk
menyadarkan manusia untuk mengingat akan Allah, berserah dan hidup benar sesuai
dengan kehendak Allah.
Ketiga, Adanya penderitaan adalah untuk menghancurkan
ilusi bahwa apa yang kita miliki apakah baik atau jahat adalah milik kita dan
cukup bagi kita. Lewis menjelaskan bahwa
penderitaan dipakai Allah untuk membawa
manusia untuk bergantung kepada-Nya bukan kepada hal-hal yang berada di luar
Tuhan. Menurutnya ketika kehidupan
seseorang berjalan lancar dan baik maka
manusia akan sulit untuk mengalihkan pikirannya kepada Allah. Manusia cenderung
lebih mencintai kebahagiaan dan
kesenangan diluar Tuhan. Pada hal Tuhan
mengetahui bahwa sumber kebahagiaan kita
ada di dalam Tuhan. Oleh sebab itu
melalui penderitaan Tuhan mau menghancurkan ilusi manusia mengenai kecukupan diri, demi kebaikan sang
ciptaan.[40]
Lewis
dalam bukunya A Grief
observed menjelaskan mengenai tujuan
penderitaan yang berkaitan dengan kebaikan Allah. Ia mengatakan bahwa Allah
seperti seorang ahli bedah yang bermaksud baik. Semakin ia baik dan sadar,
semakin tidak bisa ditawar lagi, ia akan melakukan pembedahan, walaupun hal
tersebut terasa sakit bagi kita.[41] Lebih
lanjut ia mengatakan, kalau Dia menyerah
pada keluhan Anda, lalu berhenti sebelum
operasi selesai, maka semua rasa sakit sampai saat itu tidak akan ada gunanya.
Tetapi bukankah sesuatu yang menakjubkan, kalau siksaan yang menyakitkan
ternyata perlu bagi kita? Oleh sebab
itu dapat disimpulkan bahwa kebaikan Allah dapat Ia tunjukan melalui penderitaan manusia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penderitan adalah sesuatu yang perlu
untuk dialami manusia untuk kebaikan manusia. Namun harus diakui bahwa penderitaan
adalah sesuatu tidak menyenangkan namun secara positif dapat mendorong kita
untuk berserah kepada Allah dan
kehendak-Nya.[42]
Keempat, penderitaan
adalah pilihan kita untuk taat kepada Allah. Lewis secara cermat melihat sisi yang berbeda
dari pemahaman manusia secara umum mengenai adanya penderitaan. Menurutnya
penderitaan adalah satu bentuk tindakan manusia yang berasal dari penyerahan
diri dan ketaatan total kepada Allah.[43] Jadi
penderitaan merupakan bentuk ujian Allah terhadap ketaatan kita kepada-Nya. Dalam menjelaskan hal ini, Lewis memberi
contoh mengenai ujian yang dialami oleh Abraham ketika ia
diminta untuk mempersembahkan Ishak. Menurut
Lewis Allah sudah tahu bahwa
Abraham akan taat tanpa harus melakukan
eksperimen, tetapi tujuan Allah
adalah agar Abraham mengetahui bahwa ia
sanggup bertahan dan melewati perintah atau ujian seperti ini. [44]
Bagi
Lewis penderitaan bukan sesuatu yang menyenangkan, namun ujian
dan penderitaan sangat penting bagi
manusia untuk menyempurnakan atau
memurnikan iman kepada Allah (bnd. Yak. 1:2-4; 1 Petrus 4:13; Rom. 5:3-5).[45] Dalam kumpulan surat-suratnya (letters
of C.S Lewis) ia mengatakan:
“….saya sering
bertemu dengan begitu banyak orang tidak berdosa yang menderita sebagai bagian
dari kematian Kristus, begitu sabar, lemah lembut, bahkan begitu tenang dan
tidak egois, sehingga kita tidak ragu lagi bahwa mereka seperti kata Paulus: “disempurnakan oleh
penderitaan.” Di sisi lain, saya telah sering bertemu dengan orang-orang egois yang
mementingkan diri sendiri, yang penderitaannya hanya menghasilkan rasa tidak
suka, kebencian, amarah, dan lebih egois lagi. Diri merekalah yang merupakan
masalah sebenarnya.”[46]
Lewis
melihat bahwa penderitaan bagi orang yang sungguh-sungguh percaya, tidak
dilihat secara negatif tetapi sesuatu yang positif sebagai bagian dari
panggilan ketaatan kepada Allah. Sama
seperti Yesus telah memberikan teladan, melalui penderitaan yang dialaminya bahkan sampai mati
di kayu salib. Penderitaan yang dialami Yesus membuktikan ketaatan-Nya kepada Allah Bapa. Oleh sebab
itu Lewis memandang bahwa penderitaan
yang dialami orang percaya juga sebagai
bagian dari turut mengambil bagian dalam penderitaan dan kematian Yesus.[47]
KESIMPULAN
Konsep penderitaan
Lewis yang telah dipaparkan
diatas menurut penulis dapat menjawab pertanyaan dari ateis mengenai eksistensi Allah yang
dikaitkan dengan penderitaan. Lewis secara lugas dan baik
menjawab semua argumentasi ateis
mengenai penolakan eksistensi Allah yang dikaitkan dengan penderitaan.
Bagi Lewis, adanya fakta penderitaan sama sekali tidak membuktikan
bahwa Allah tidak ada, malahan adanya penderitaan justeru memperjelas bukti akan
eksistensi Allah yang mahakasih, mahakuasa,
mahabaik, mahaadil serta berdaulat atas
seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia.
Bahkan adanya penderitaan secara inplisit menyatakan adanya interfensi
Allah dalam seluruh ranah kehidupan
manusia dan seluruh alam ciptaan-Nya.
Dibawa ini penulis akan memberikan
kesimpulan atau ringkasan dari jawaban Lewis, terhadap pandangan yang
mengaitkan penderitaan dengan
eksistensi Allah:
Pertama,
dasar ateis untuk menyatakan argumentasinya didasarkan pada standar moral,
namun standar moral yang dipakai adalah standar manusia bukan standar moral
Allah. Menurutnya standar moral manusia
sangat terbatas, oleh sebab itu tidak
mungkin dengan standar moral yang terbatas manusia dapat memahami apa yang terjadi di alam semesta ini, serta tujuan
secara luas dari apa yang sedang dilakukan Allah di dalam dunia ciptaan-Nya.
Oleh karena mereka memakai standar moral
manusia yang terbatas sehingga ateis salah mengartikan akan kebaikan Allah,
keadilan, kasih dan ke-Mahakuasa-an
Allah.
Kedua,
kesimpulan yang menyatakan bahwa adanya
penderitaan membuktikan Allah tidak maha kuasa, maha kasih dan maha baik adalah
suatu kesimpulan yang prematur, karena didasarkan pada keterbatasan manusia
untuk memahami Allah. Menurutnya konsep kasih dan kebaikan menurut
manusia sangat berbeda dengan konsep Allah. Oleh sebab itu adalah suatu yang mustahil manusia dalam keterbatasan dan
kelemahan dapat menyimpulkan adanya penderitaan di dalam dunia ini membuktikan
bahwa Allah tidak ada.
Ketiga, secara positif Lewis melihat bahwa penderitaan
adalah sesuatu yang penting bagi
manusia, karena penderitaan merupakan
alat Tuhan untuk mengajar manusia untuk
dapat memahami rencana Allah, kebaikan Allah bahkan kasih Allah dalam setiap
jalan kehidupan manusia.
Keempat, secara rohani
Lewis melihat bahwa penderitaan adalah alat Tuhan untuk membentuk manusia
untuk lebih taat kepada Tuhan dan berguna untuk memurnikan iman setiap orang
percaya.
[2] Max Horkheimer, Die Sehnsucht nach dem ganz
Anderen, Hamburg, Furche-Verlag, 1971, S.60, seperti dikutip oleh A.
Sunarko, “ Teodisea, Antropodisea, Anti-Teodisea? Allah, Manusia, dan
Penderitaan”, Diskursus, Vol.4, no. 3, Jakarta, STF
Driyarkara, 2005, hal. 215.
[7] Ateisme praktis atau pragmatis, yang
juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa Tuhan dan menjelaskan
fenomena alam tanpa menggunakan alasan
paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan Tuhan tidaklah disangkal, namun
dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; Tuhan tidaklah
memberikan kita tujuan hidup, ataupun mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita.
Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah
adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis
dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh
menerima atau mempercayainya." Ateisme praktis dapat berupa:
• Ketiadaan motivasi religius, yakni
kepercayaan pada Tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun
bentuk-bentuk tindakan lainnya.
•Pengesampingan masalah Tuhan dan religi
secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis;
•Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan Tuhan dan agama.
•Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan Tuhan dan agama.
•Ketidaktahuan akan konsep Tuhan dan dewa.
Ramahdhana Dwi Andhika “Atheisme Secara Terperinci” http://moreartikel.blogspot.com/2010/06/atheisme-secara-terperinci.html
[8]
Ateisme teoritis
secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara
aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, misalnya
argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan
teoritis untuk menolak keberadaan tuhan , utamanya secara ontologis,
gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan
sosiologis. Ibid.
[10]
Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf
Perancis dan juga seorang moralis. Dua karya besarnya adalah Totalitas
dan Tak Berhingga dan Lain dari pada Ada atau di seberang
Esensi. “Emmanuel Levinas” http://id.wikipedia.org/wiki/Emmanuel_Levinas
[12]
Ernst Bloch adalah seorang filsuf
Marxist Jerman, pemikirannya sangat dipengaruhi
oleh Marx dan Hegel. Ia juga
disebut sebagai pemikir utopia moderen. http://en.wikipedia.org/wiki/Ernst_Bloch
[15] Reza A. Watimena “ Jika ada Tuhan, mengapa
ada kejahatan dan penderitaan” http://rumahfilsafat.com/tag/kejahatan/
[20]
Enam definisi Allah tersebut yaitu; 1. All-good (God always does the best that He
can), 2. All-powerfull (God can do anything that is logically possible), 3.
All-knowing (God knows everything that is true), 4.Eternal (God exists outside
of time), 5. Efective (God causes changes in time), 6. Personal (God has will
and makes choices). Ibid. 83.
2 komentar:
syaloom pak saya mau tanya tentang buku c.s. lewis ini apakah ada versi b.indonesianya dan jika ada buku itu terbitan apa ya?
Buku C.S Lewis ada dalam bahasa Indonesia terbitan Pionir Jaya Bandung, namun terjemahnnya kurang terlalu baik.
Posting Komentar