Jumat, 13 Januari 2012

TINJAUAN TERHADAP KONSEP-KONSEP PASCAMODERN RICHARD RORTY DAN PENGARUHNYA TERHADAP SPIRITUALITAS KRISTEN


PENDAHULUAN  
Hari ini kita   sedang memasuki satu era yang dinamakan era pascamodern.  Terlepas dari kesimpangsiuran apakah  pascamodern adalah   kritik atas moderen atau kelanjutan dari moderen, tetapi yang pasti  pengaruh pascamodern telah merambah  diberbagai  area kehidupan manusia hari ini. Mulai dari seni, arsitektur, sistim pemikiran manusia,  politik, teknologi,  agama  dan  tidak kalah penting dalam hal spiritualitas Kristen.    
Pertanyaan  yang sering ditanyakan  hari ini, apakah  pengaruh pascamodern telah masuk dan mempengaruhi ranah spiritualitas Kristen? Memang sulit untuk menjawab ya atau tidak, tetapi  yang pasti  sadar atau tidak sadar,  pengaruh  spiritualitas pascamoderen sudah dan akan  terus merambah ke area spiritualitas Kristen,  karena kekristenan hidup di tengah dunia yang telah dicemari oleh pemikiran-pemikiran pascamoderen.  
Bagaimana menggambarkan  kondisi spiritualitas yang telah dipengaruhi oleh pemikiran  pascamodern? Kondisi  spiritualitas  yang telah dipengaruhi oleh  pascamodern  adalah kondisi dimana yang suci dicemari oleh yang kotor.  Sesuatu yang transenden dan  ilahi dirasuki oleh yang duniawi. Percampuran inilah yang akhirnya menimbulkan kesimpangsiuran sehingga perbedaan diantara keduanya menjadi kabur.  Suatu spiritualitas yang  menampilkan kesucian dan kesakralan yang hanya bersifat permukaan dan artifisial.  Suatu spiritualitas yang tidak memiliki dasar  dari kebenaran absolut. Suatu spiritualitas yang  pragmatis dan  subjektif.  
Oleh sebab itu melalui makalah ini  penulis  akan memaparkan mengenai  pengaruh    konsep  pascamodern  Richard Rorty  terhadap spiritualitas Kristen.  Tujuannya,  agar kita dapat  mengetahui  akan konsep-konsep  pascamodern  yang mempengaruhi akan spiritualitas  Kristen dan akhirnya bagaimana kita menyikapi akan dampak atau pengaruh pascamoderen dalam kehidupan spiritual orang percaya.
Dalam makalah ini, penulis pertama-tama  akan memaparkan akan riwayat singkat dari Richard Rorty.  Kedua, memaparkan akan konsep-konsep  pemikiran pascamodern Richard Rorty.  Ketiga, menjelaskan arti spiritualitas yang berhubungan dengan pembahasan dalam makalah ini dan terakhir, penulis akan mengevaluasi konsep-konsep tersebut yang dikaitkan dengan pengaruh   terhadap spiritualitas kekristenan masa kini.
LATARBELAKANG
            Rorty dilahirkan di New York, Amerika serikat pada 4 Oktober 1931. Dia adalah seorang ahli filsafat Amerika  Serikat, serta berkarir sebagai seorang filsuf humanis. Dia lebih dikenal sebagai pemikir atau filsuf Amerika yang bergaya Eropa yang cakap  dalam berbagai hal, optimistis, dan sering terlibat dalam perdebatan umum.  Ia dikenal secara internasional sebagai  pendiri dan bapak neo-pragmatisme. Melalui karya monumentalnya yang berjudul  Philosophy and the Mirror of Nature (1979) dia telah mengagumkan komunitas filsuf dengan meninggalkan model training  yang professional. Dia dikenal pula sebagai filsuf yang telah menghidupkan kembali gagasan John Dewey yang dia terapkan dalam filsafat analitis.[1] 
            Tahun 1946, Rorty masuk ke perguruan tinggi di Universitas Chicago dengan minat khusus dalam bidang filsafat.  Tiga tahun kemudian, dia memperoleh gelar Bachelor of Art,  lalu melanjutkan studinya lagi dan memperoleh gelar Master  of Arts pada tahun 1952.  Selanjutnya ia melanjutkan studi di Universitas Yale dan menyelesaikan Ph. D.   Tahun  1961, Rorty masuk sebagai dosen dan mengajar selama tiga tahun di Wellesley College kemudian pindah  mengajar ke  Universitas Princenton dan Universitas Virginia.  Tahun 1982, dia memperoleh gelar profesor humanisme dan tahun 1998, dia menerima jabatan sebagai pimpinan dari  Department of comparative literature di Stanford University.
            Rorty menerima banyak penghargaan akademis dari berbagai instansi dan perguruan tinggi di antaranya:  dari Guggenhein  fellowship (1973-1974), MacArthur Fellowship (1981-1986), the Northcliffe Lectures at University College, London (1986),  the Clark Lectures at Trinity College, Cambridge (1987),  dan dari  the  Massey Lectures at Harvard.
            Ada pun  hasil karya  Rorty dalam bentuk tulisan,  telah dipublikasikan serta menjadi buku pegangan bagi perguruan tinggi di antaranya: Philosophy and the Mirror of Nature (1979), Consequences of Pragmatism (1982), Contingency, Irony, and Solidarity (1989), Philosophy and Social Hope (1999), Objectivity, Relativism, and Truth (1991) dan masih banyak lagi.[2]

KONSEP-KONSEP PASCAMODERN RICHARD RORTY
Secara umum konsep-konsep pascamodern didasarkan pada satu filofosi relatifisme. Paham ini mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak (absolut). Segala sesuatu adalah relatif.  Bahkan karena begitu relatifnya  mereka dapat mensandingkan dua kebenaran yang saling berkontradiksi,  tanpa harus memilih salah satu dan membuang yang lain. Walaupun secara logis pandangan ini tidak bisa dibenarkan, namun para penganut pascamodern  “seperti Richard Rorty”  tetap memegang teguh paham ini karena pada dasarnya  mereka memang bukan tipikal orang yang berpikir logis. Cara berpikir mereka lebih ke arah  pragmatis. [3]
        Oleh karena dasar pemikiran seperti demikian, maka  setidaknya ada dua  konsep dasar  Rorty:
Pertama: Tidak Ada Dasar  Kebenaran yang mutlak
Rorty sama seperti  tokoh pascamodern  lainya memegang  paham relatifisme.  Akibat dari relatifisme  maka  dengan sendirinya  ia  menolak adanya suatu dasar kebenaran yang mutlak. Hal ini tercermin dari buku-bukunya[4]  yang merepresentasikan pemikiran dan falsafahnya.
 Salah satu pemikirannya adalah memudarnya kebenaran, tidak adanya kebenaran absolut  bahkan tidak ada lagi kebenaran di dalam dunia ini.[5]  Menurutnya, kebenaran bukanlah sebuah konsep filosofis, tetapi masalah kesepakatan manusia.[6]  Sebagaimana di jelaskan oleh Grenz, ia mengatakan bahwa  Rorty adalah seorang pragmatis, baginya kebenaran itu bersifat nonrealis, [7]  non esensialis, dan non representasionalis,  oleh sebab itu kebenaran bersifat  koheren dan bukan koresponden.[8] 
Rorty,  memahami kebenaran sebagai “apa yang bekerja” bukan apa yang benar secara teoritis.  Oleh sebab itu,  baginya tidak ada suatu sistim kepercayaan yang benar-benar sempurna, baginya dasar kebenaran  adalah kebenaran menurut kita.[9] Untuk mengembangkan dasar pemikirannya mengenai kebenaran, ia mengusulkan  pandangan “etnosentrik” mengenai pengabsahan terhadap klaim kebenaran. Menurutnya,  bahwa tidak ada seorangpun yang dapat keluar  dari kriteria benar-salah yang berlaku dalam masyarakat. Segala sesuatu yang kita katakan mengenai kebenaran, selalu terbatas dalam lingkup pemahaman dan konsep masyarakat tempat kita hidup.[10] Dia juga,  memegang penjelasan Darwinian tentang evolusi kehidupan, dimana tidak ada ruang bagi kebenaran.[11]
Rorty, tidak meyakini adanya kebenaran yang mutlak, universal, kekal dan historis, baginya kebenaran bersifat subjektif dan relatif.[12] Ia menolak semua kebenaran yang objektif dan berusaha menggantikan dengan kebenaran  yang subjektif.  Kebenaran ada didalam masyarakat atau komunitas bahkan lebih lagi kebenaran itu tergantung pada individual.  Kebenaran  sangat erat kaitannya dengan perspektif seseorang. Baginya kebenaran adalah yang berfungsi, bukan masalah benar atau kebenaran lagi (Truth as what works rather than what is right/correct).[13]   Dengan demikian,  kebenaran  menjadi social convention (kesepakatan bersama secara sosial), seperti konsensus, jadi kebenaran adalah kesepakatan bersama. 
Sejalan dengan pemikiran Rorty mengenai kebenaran, Lumintang  menjelaskan  bahwa secara umum  ciri kaum pascamodern memberlakukan pengertian kebenaran  yang  subjektif dalam proses hermeneutik,[14] mereka mengedepankan akan personal truth,  dimana manusia yang  menentukan kebenaran, oleh sebab itu sangat  subjektif  dan di dasarkan pada pengalaman manusia itu sendiri.  Sebagai contoh, apabilah manusia mengatakan tidak  benar sekalipun teks itu benar, maka yang benar adalah apa yang dikatakan oleh si pelaku hermeneutik. Dalam hal menafsirkan teks, si penafsir dapat  memasukan unsur pengalaman pribadi di dalamnya, pendapatnya dan presaposisinya. Sederhananya, tekslah yang tunduk kepada  si pelaku hermeneutik.[15]
Ciri-ciri pemikiran seperti demikian adalah merupakan bentuk pemikiran secara umum dari pascamodern, sebagaimana ditegaskan  oleh Amir Pilliang: “Pascamodern  menawarkan kepada manusia suatu otonomi khusus dalam hal kebenaran yaitu menjadikan manusia sebagai  patokan  dan penentu kebenaran.”[16]
 Jadi, semua kebenaran yang berada di luar diri manusia, bukanlah kebenaran. Kebenaran itu  akan  menjadi kebenaran apabila manusia atau individu memutuskan  itu sebagai kebenaran. Kebenaran umum yang diakui  oleh masyarakat  atau negara bahkan oleh  agama, harus tunduk  pada pengakuan manusia, semua itu benar  kalau manusia menentukan  itu benar. Contohnya, kita jangan memaksakan  kebenaran kita (agama) kepada orang lain, karena benar bagi kita belum tentu benar bagi orang lain. Dengan demikian kebenarannya menjadi sangat subyektif.[17]
 Seorang filsuf  pascamodern Perancis,  Jacques Derrida, memiliki pemahaman yang hampir sama dengan Rorty.  Ia menghilangkan onto teologi (usaha untuk mencari hakikat/esensi realitas) dan melenyapkan metafisika kehadiran (konsep mengenai adanya sesuatu yang transenden dalam realitas).[18]  Baginya tidak ada  Realitas dan sesuatu yang transenden.  Oleh sebab itu tidak ada sesuatu bersifat absolut, segala sesuatu berasal dari bagaimana manusia menafsirkan Realitas itu sendiri sesuai dengan sudut pandangnya sendiri.  Dia juga menolak akan logosentris yang  diartikan sebagai Firman, suatu kebenaran, Allah yang transenden.[19]  Pandangan  yang sama disampaikan oleh    seorang  tokoh  pascamodern,  yang bernama Foucault, ia menolak   adanya kebenaran atau pengetahuan yang  objektif, baginya kebenaran adalah produk atau dongeng.[20]
Melalui penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep Rorty dan beberapa tokoh pascamodern memiliki satu kesamaan konsep kebenaran. Mereka meletakan dasar kebenaran diatas  subjektifitas manusia dan  tidak mempercayai adanya  suatu Realitas dan  sesuatu yang transenden.

  Kedua, Richard Rorty dan Konsep Pragmatis
            Satu istilah yang tidak terelakan  dan identik dengan tokoh pascamodern Richard Rorty, adalah istilah “pragmatis” atau neo pragmatis. Ketika berbicara tentang pragmatis  di era pascamodern  selalu dikaitkan dengan Rorty.[21]  Inti tradisi  pragmatis adalah pemahaman tertentu terhadap hakikat kebenaran.  Inti pragmatisme Rorty adalah  penolakan terhadap konsep yang menganggap rasio manusia  sebagai “cermin dari realitas” .[22]
             Rorty,  melahirkan satu pemikiranbehaviorist questions”—sebuah upaya menjadikan epistemologi sebagai usaha untuk mempelajari beberapa cara manusia berinteraksi, berusaha memahami alasan penerimaan atau penolakan terhadap berbagai kepercayaan.[23]  Menurutnya,  benar atau salah ditentukan oleh praktek secara sosial,  ia  sangat  menekankan solidaritas “what is good for us to believe?” bahkan memberi ruang untuk improvisasi,  karena menurutnya  apa yang dipercaya sekarang secara rasional belum tentu “benar” karena ada kemungkinan ada  ide yang lebih baik.  Obyektifitas dipandang sebagai usaha mencari kesepakatan di antara berbagai subyektifitas yang ada,  bahkan bagimana memperluas  suatu makna   dengan seluas-luasnya. [24] 
                        Rorty dengan pandangan pragmatisnya, melihat satu kebenaran  sebagaimana dijelaskan diatas sebagai sesuatu bersifat non realis [25] dan non esensial[26]. Pandangan pragmatis Rorty dapat dilihat dalam pembahasannya mengenai pengetahuan, kebenaran, moralitas dan juga bahasa.
            Pemikiran Rorty ini adalah salah satu bentuk pemikiran atau konsep  pragmatisme pascamodern. Bagi Rorty,  benar atau salah ditentukan oleh praktek sosial  dan  solidaritas (pendekatan “what is good for us to believe?”= neo pragmatism). Baginya selalu ada ruang inprovisasi selalu memberi ruang bagi improvisasi karena apa yang dipercaya sekarang secara rasional belum tentu “benar” karena ada kemungkinan ide yang lebih baik [27] Dengan demikian mereka  sangat menekankan kebebasan manusia  untuk menentukan benar atau salah . Bahkan lebih   dari pada itu , sangat menekankan akan kebebasan yang sebebas-bebasnya, artinya tidak perlu mengikuti aturan, baik oleh hukum, adat, tatakrama, etika maupun agama. Manusia dapat menggunakan  kebebasannya, sebebas-bebasnya termasuk didalam meraih kesenangan.[28]   
            Rorty membuang semua dasar etika yang didasarkan pada natur pribadi atau realitas Allah karena baginya martabat manusia dikonstruksikan secara sosial melalui tradisi. Martabat tidak berdiam di dalam esensi manusia itu sendiri. Baginya tidak ada realitas transenden, rasionalitas, atau sistem nilai yang bisa dipakai untuk mengatur manusia yang saling bersaing. [29]
              Salah satu tokoh pascamodern yang  memegang pandangan pragmatis yang senada dengan Rorty  adalah Foucault.  Menurutnya  pembicaraan tentang  “hakikat manusia” hanya ada dalam wacana, bukan dalam pengetahuan murni dari privilese di luar wacana.  Manusia terikat oleh peraturan, tradisi-tradisi dan  kekuasaan,  oleh sebab  itu dia berusaha  “membebaskan manusia dengan  mencari kenikmatan”,  serta berusaha menikmati kehidupan yang sebebas-bebasnya yang tidak terikat dengan tradisi dan norma-norma yang ada. [30]    
            Senada dengan apa dipaparkan diatas mengenai pragmatism Rorty, Piliang memaparkan mengenai salah satu   tokoh pascamodern Derida yang  mengembangkan wacana pascamodern  dekonstruksi. Derida  menjelaskan dekonstruksi  sebagai sebuah   pencairan, peleburan  atau pembongkaran terhadap  berbagai konvensi sosial, konsensus moral, kode kultural, makna transendental atau kebenaran ilahi yang sebelumnya disepakati bersama.[31]  Dengan dibongkarnya setiap batas, maka terciptalah  sebuah dunia tanpa tabir pembatas.  Dunia yang tidak ada lagi batas-batas moral (telanjang),  mengenai baik buruk,  benar salah, layak atau tidak layak. Akhirnya apapun dapat di ekspos, di narasikan dan dipertontonkan.
   PENGERTIAN SPIRITUALITAS
Kata spiritualitas, seringkali di artikan   oleh orang Kristen dengan sederhana, yaitu menyangkut doa, ibadah, puasa, hidup baik  atau moralitas belaka. Namun sebenarnya spiritualitas  tidak sesempit  arti tersebut, tetapi menyangkut segenap aspek kehidupan manusia.  Meskipun diakui  bahwa  istilah spiritualitas selalu berkonotasi atau mengarah kepada satu bentuk disiplin religius tertentu, namun tidak selamanya dapat  diartikan seperti demikian.
 Kamus bahasa Indonesia mendefinisikan spiritual atau spiritualitas  adalah sesuatu yang berhubungan dengan  atau bersifat kejiwaan (rohani atau batin).[32]  Sedangkan kamus bahasa  Indonesia moderen mendefinisikan spiritualitas   sebagai suatu keadaan, ciri  atau kerohanian.[33]  Dan  kamus Webster  mengartikan spiritualitas; Spiritual nature, character  or quality; spiritual mindedness opposed to worldlenness and sensuality.[34] Melalui definisi ini  maka dapat  disimpulkan  bahwa tidak selamanya spiritual diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan aktifitas religius tertentu. Bagi  kaum pascamodern  seperti  David Ray Griffin[35],  ia mendefinisikan  spiritualitas    adalah menunjuk kepada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup manusia, baik duniawi maupun  tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak  meningkatkan komitmen kita  terhadap nilai-nilai dan makna tersebut.[36]   Menurutnya, istilah ini memang  memiliki konotasi  religius dalam arti bahwa nilai dan makna dasar yang dimiliki mencerminkan hal-hal yang dianggap suci, yaitu memiliki kepentingan mendasar. Akan tetapi apa yang dianggap suci bisa saja merupakan sesuatu yang sangat duniawi, seperti kekuasaan, energi seksual atau sukses.[37]
Sedangkan bagi Kristen, seperti  yang dikatakan oleh Michael Downey, spiritualitas  berkenaan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman hidup Kristiani, khususnya persepsi dan upaya mencapai gagasan atau tujuan tertinggi hidup Kristiani, yaitu suatu kesatuan yang lebih intensif dengan Allah yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus melalui kehidupan dalam Roh.[38]
Dalam upayanya menggali metode guna memahami Spiritualitas Kristen ini, Downey menyatakan:
In charting the terrain of Christian spirituality it may be helpful to identify seven focal points of investigation. From this vantage point, Christian spirituality is concerned with the work of the Holy Spirit (in itself a rather slippery term!) in persons:
1) within a culture; 2) in relation to a tradition; 3) in light of contemporary events, hopes, suffering and promises; 4) in remembrance of Jesus Christ; 5) in efforts to combine elements of action and contemplation; 6) with respect to charism and community; 7) as expressed and authenticated in praxis.

           Sedangkan  McGrath, mendefinisikan spiritualitas Kristen sebagai:
            “…. Concerns the living out of the encounter with Jesus Christ….the way in which the Christian life…as the way in which  Christian individuals or groups to deepen their experience of God, or to “practice the presence of God.”[39]
          
           Dari sini kita melihat bahwa Spiritualitas Kristen memiliki beberapa keunikan dibandingkan spiritualitas pada umumnya. Dalam makalah ini, penulis menfokuskan kepada arti spiritualitas yang berhubungan dengan makna yang melandasi  setiap sisi kehidupan manusia, secara khusus yang berhubungan ciri-ciri spiritualitas yang didasari oleh suatu kebenaran dasar yang absolut. Kebenaran yang dinyatakan melalui pribadi Yesus Kristus dan Firman-Nya.

PENGARUH KONSEP PASCAMODERN RICHARD RORTY TERHADAP SPIRITUALITAS KRISTEN
            Dalam bagian ini penulis akan memaparkan akan pengaruh  konsep  Rorty terhadap spiritualitas Kristen.  Dalam  memaparkan akan pengaruh  terhadap spiritualitas Kristen,  pertama  penulis  akan mengevaluasi  konsep pascamodern  yang ditinjau berdasarkan Firman Tuhan (Alkitab)   yang dipercaya  penulis sebagai sumber  kebenaran yang absolut yang di wahyukan  Allah.   Selanjutnya penulis akan memaparkan akan bahayanya terhadap spiritualitas Kristen.
             Penulis melihat bahwa akar permasalahan dari  konsep-konsep  Rorty dan juga konsep  pascamodern lainnya, bersumber dari penolakan  manusia akan Allah yang bersumber dari jatuhnya manusia di taman Eden (Kej. 3,  bnd. Roma 3:23). Dengan demikian, jika dikaitkan dengan  spiritualitas Kristen, maka  spiritualitas yang dibangun  didasarkan atas pemberontakan dan penolakan terhadap hakekat Allah dan kebenaran-Nya.  Hal ini dapat dilihat dari dua konsep  yang mendasari  spiritualitas pascamoderen, sebagaimana telah dijelaskan diatas,  yaitu:
 Spiritualitas Yang Tidak Memiliki Kebenaran Dasar Yang Absolut
            Setiap orang yang memeluk satu agama di dunia ini pasti memiliki keyakinan bahwa agama benar, kitab sucinya benar, ibadahnya benar, penyembahannya dan semua sistem   beragamanya, pastilah benar dan mutlak (absolut). Karena kalau tidak, maka dia bukan sedang beragama  atau malah sedang meragukan agamanya. [40] Demikian  pula dengan orang yang tidak beragama, mereka pasti memiliki  keyakinan  mengenai kebenaran dari  apa yang mereka yakini dan percayai (ketidakberagamanya) dan hal itu pastilah benar dan bersifat mutlak,  kalau tidak,  pasti   mereka akan beragama.  Tetapi  menurut Rorty  dan kaum pascamodern umumnya mengatakan bahwa,  tidak ada satu kebenaran mutlak.
            Konsekwensi logis dari pemahaman ini jika dikaitkan dengan spiritualitas Kristen, maka  mereka akan menolak akan keyakinan Kristen (ortodoks),   yaitu menolak akan  keunikan, finalitas atau klaim-klaim kebenaran mengenai pernyataan Allah di dalam pribadi Yesus Kristus.[41]
            Konsekwensi kedua, adalah  mereka  akan menolak metanarasi atau cerita yang  terdapat di dalam kitab-kitab suci dari setiap agama, apalagi yang berkaitan  dengan pengajaran atau doktrin kebenaran dalam Alkitab .[42]
            Konsekwensi ketiga adalah  kalau  Tuhan  dan Alkitab  bukan menjadi  sumber penentu kebenaran  dan tolak ukur kebenaran (absolut), maka  itu berarti  yang menjadi tolak ukur dan penentu kebenaran adalah manusia atau mungkin satu komunitas. 
            Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pascamodernisme adalah merupakan upaya manusia tanpa Allah, sebagaimana  dikatakan oleh, Gene Edward Veith:
Without belief in God, it would be difficult to avoid the postmodernist conclusion. If There is no transcendental logos, then there can be no absolutes, no meaning apart from human culture, no way out of the prison house of language.Such postmodern theories may represent the ultimate development of way, Postmodernism may represent the dead-end---the implosion, the deconstruction- of human attempts to do without God.[43]

            Pertanyaannya, apakah manusia atau komunitas  dapat menjadi tolak ukur dan penentu kebenaran sebagaimana konsep Rorty? Jelas tidak! Karena Alkitab mengatakan bahwa  semua manusia telah  berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah ( Roma 3:23). Demikian juga  dalam Roma 1:21-22 “ Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia  sebagai Allah  atau mengucap syukur  kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.”  Dan Roma 3:10-11   “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak seorang pun mencari Allah.”
            Dengan pemahaman tidak adanya kebenaran yang absolut, maka dapat dipastikan  bahwa fondasi spiritual  yang dibangun   adalah kerangka spiritual yang begitu mudah goyah, terombang ambing, bahkan akan begitu mudah runtuh dan  akan membawa kepada kehancuran.       Alkitab dengan jelas memaparkan ketika manusia  menolak Allah (Roma 1:18-32) dan kebenaran-Nya,  serta berusaha mencari kebenarannya sendiri maka yang didapatkan bukan kebenaran tetapi kehancuran secara moral dan spiritual. Karena di dalam manusia yang berdosa tidak ada kebenaran (absolute). Hanya  Allah yang memiliki kebenaran absolut dan infinitif  dalam segala hal, didalam alam ciptaan-Nya,  kebenaran-Nya, kuasa, hikmat,  kebaikan  dan kekudusan .[44] Manusia tidak mungkin menjadi  seperti Allah  yang  memiliki kebenaran, hikmat, kekudusan,  dan kuasa   yang mutlak atas segala sesuatu di dalam dunia ini. 
            Salah satu ciri spiritualitas Kristen  adalah berorientasi pada Firman Tuhan sebagi sumber kebenaran yang absolut, sebagaimana dikumandangkan  oleh tokoh-tokoh reformasi: Sola scriptura dan back to the Bible. Karena Firman Tuhan adalah pusat dari ibadah dan penyembahan  manusia kepada Allah, [45] Namun ketika Firman Tuhan tidak diyakini berotoritas dan absolut maka yang ada adalah spiritualitas yang didasarkan oleh subyektifitas manusia.
            Selanjutnya, apakah spiritualitas yang tidak meyakini akan kebenaran absolut telah memasuki area spiritualitas Kristen?  Lumintang , menjelaskan bahwa salah satu  contoh gejala  yang “merasuki”  gereja  saat ini adalah konsep “Rhema” yang berdampak pada lahirnya kebenaran subjektif, kebenaran perspektif dan kebenaran yang bersumber dari human center (Antroposentris).[46]  Dengan konsep seperti ini,  maka akan ada banyak orang Kristen yang akan terjebak untuk memutlakan apa yang relatif dan merelatifkan apa yang absolut. Mereka akan menggantikan Alkitab sebagai kebenaran mutlak  dengan  “kebenaran subjektif “ yang berasal dari individu atau pribadi seseorang (hamba Tuhan).  Pada akhirnya yang nampak adalah spiritual yang kosong. Sebagaimana di katakan dalam 2 Timotius 3:5 “….Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.”    
            Hal yang lain adalah munculnya theology liberal  yang melihat Alkitab hanya berisi kebenaran, atau hanya sebagian Alkitab adalah kebenaran dan yang lain  bukan suatu kebenaran atau   seperti   teolog liberal Rudolf Bultman dengan “demitologisasi”.  Baginya  Alkitab harus dilihat  sebagai “mitos”  ketimbang sebagai fakta “historis”.[47]
            Contoh yang lain adalah banyak orang “Kristen” yang mengatakan menyembah Tuhan dan percaya Yesus, tetapi di sisi lain ia masih percaya bahwa ada kebenaran lain di luar kekristenan. Keselamatan tidak hanya  ada di dalam Yesus Kristus tetapi agama-agama lain  ada jalan keselamatan.[48]  Penyembahan dapat dengan berbagai “cara” (bukan pola liturgis, pola Ibadah) sesuai dengan keinginan manusia.  Hal ini akan berdampak pada sinkretisme dan juga penyembahan berhala.
            Oleh sebab itu, spiritualitas yang benar adalah spiritualitas yang  harus dibangun didasarkan kepada  suatu kebenaran yang absolut dan objektif, yaitu spiritualitas yang bersumber mutlak kepada Allah  didalam Yesus Kristus dan Firman-NYA.  Spiritualitas Kristen harus dibangun atas dasar Firman Tuhan yang mengarahkan manusia untuk menyembah Allah dengan benar. Membangun relasi yang intim dengan Allah melalui doa, penyembahan, pengagungan dan syukur kepada Tuhan sebagai satu-satunya Allah yang di sembah  dan satu-satunya  sumber kebenaran.
            Inti dari spiritualitas Kristen adalah membangun suatu hubungan yang intim dengan Allah  melalui  Firman Tuhan, doa dan penyembahan sebagai usaha untuk mengenal  dan mengalami Allah sebagai satu-satu sumber kebenaran yang absolut.  Hal ini jelas sebagaimana di katakan  di dalam Yohanes 17:3 “ Inilah hidup yang kekal itu,  yaitu bahwa mereka mengenal  Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus”.  Demikian juga ditegaskan  oleh Tuhan melalui nabi Yeremia: “Aku akan memberi mereka suatu hati untuk mengenal Aku, yaitu bahwa Akulah TUHAN.” (Yer. 24:7).

Spiritualitas Yang Subjektif Dan Pragmatis

             Dari penjelasan diatas  mengenai pandangan Rorty yang subyektif dan  pragmatis,  jikalau dikaitkan dengan spiritualitas Kristen, maka akan muncul suatu spiritualitas  yang setidaknya  ditandai dengan  tiga ciri:   Pertama spiritualitas  yang didasarkan pada  perasaan  (like or dislike) dan  pengalaman,  kedua, kebebasan  dan  ketiga,  hiburan ( entertainment).
            Berikut penulis akan memaparkan  bagian ini satu persatu:
            Pertama, Perasaan dan Pengalaman. Apakah perasaan dan pengalaman seseorang bisa menjadi  suatu standar  objektif mengenai kebenaran, atau  sesuatu yang bersifat religius atau sesuatu yang bersifat spiritual? Manusia disebut  manusia spiritual,  di mana manusia dapat “merasakan”, dan “mengalami”  kehadiran dari “yang Ilahi” (Divine Being/Beings) atau apapun sebutannya. Perasaan memang  banyak memainkan peranan penting didalam kehidupan beragama dan selalu dikaitkan dengan spiritualitas. Tetapi kesalahpahaman sering  kali terjadi  di antara banyak orang adalah pemahaman bahwa “merasakan” adalah sama dengan pencapaian religius.[49]  Misalnya, ketika seseorang menyanyi nyanyian rohani, dan merasakan sukacita, kadang ia berfikir bahwa ia sudah menjadi manusia spiritual, pada hal belum tentu hal tersebut berhubungan dengan spiritual.
            Konsekuensi tak terelakkan dari relatifisme  suatu kebenaran  adalah munculnya spiritualitas  yang lebih didominasi oleh  perasaan seseorang.  Seseorang datang beribadah   tidak terlalu mempedulikan kebenaran dari suatu ajaran. Yang penting bagi mereka adalah ajaran tersebut mendatangkan perasaan nyaman,  senang dan kepuasan psikologis.  
            Untuk hal ini,  Gene Edward Veith berkomentar:
 “Today religion is not seen as a set of beliefs about what is real and what is not. Rather, religion is seen as a preference, a choice. We believe in what we like. We believe what we want to believe.” [50]
           
            Perasaan memang memiliki tempat didalam pengalaman spiritual tetapi perasaan tidak dapat dijadikan standard  spiritual seseorang.  Perasaan adalah suatu respons atau tangggapan  yang dimiliki oleh seseorang dalam kaitan dengan pemahamannya atau persepsinya terhadap realita atau fakta.[51] Perasaan juga  bisa menjadi respons atas hal-hal spiritual  atau bisa menjadi pintu  menuju pencapaian spiritual  tetapi perasaan adalah sesuatu yang bersifat subjektif.
            Dengan demikian, bukan berarti bahwa spiritualitas  Kekristenan mengesampingkan akan perasaan didalam  kehidupan spiritualitas, namun perasaan dipahami sebagai hasil dari kesadaran spiritual atau “bersama Tuhan” bukan hasil dari melakukan tingkah laku agamawi.[52] Tingkah laku  agamawi atau disiplin spiritual  dalam kekristenan bukan menjadi syarat  untuk mendapatkan perasaan, melainkan wujud nyata  dari perasaan dan keberadaan yang telah diperbaharui dan dipenuhi dalam Kristus.[53]  Perasaan dalam spiritualitas Kristen  adalah sesuatu yang sangat penting, perasaan dapat menggerakkan  kehidupan manusia tetapi  perasaan  yang benar adalah perasaan yang ditaklukan di dalam diri Kristus yaitu perasaan-perasaan saleh dalam diri orang yang telah diubah secara spiritual.[54]
            Perasaan dan keberadaan yang telah dipenuhi  oleh  Kristus akan membawa  seseorang untuk  datang menyembah Allah. Namun landasan penyembahan tidak terletak pada perasaan karena penyembahan bukanlah suatu yang kita timbulkan melainkan suatu karakteristik Allah yang “turun” menghampiri kita.[55]   
                        Kedua, Landasan  pemikiran pragmatis  dari Rorty  adalah manusia yang menetukan kebenaran dimana manusia bisa hidup sebebas-bebasnya.  Pertanyaannya,  apakah dengan kebebasan yang ada menjadikan moral atau kehidupan manusia lebih baik ?   Alkitab menjelaskan bahwa  Allah menciptakan  sebagai mahluk  yang diberikan kebebasan, namun kebebasan manusia itu, dikontrol  dan dibatasi oleh Allah sang Pencipta. Manusia tidak mungkin menjadi manusia dengan segala kebebasannya apalagi setelah  manusia pertama jatuh  di dalam dosa. Alkitab mengatakan bahwa  oleh dosa Adam dan Hawa maka semua keturunannya adalah berdosa.[56]
            Alkitab menjelaskan bahwa  manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah yang membuat manusia memiliki posisi di atas segala ciptaan lain. Manusia juga diperlengkapi dengan kemampuan untuk memilih atau kehendak bebas. Kehendak bebas ini adalah suatu berkat  selama digunakan  dalam ketaatan pada natur dirinya sebagai ciptaan yang harus taat kepada  kehendak Penciptanya dan melaksanakan panggilannya untuk memelihara dunia.[57]            Dalam membahas mengenai kebebasan orang Kristen, Calvin mengatakan: Kebebasan bukan berarti membuang seluruh ketaatan  kepada Allah dan menceburkan diri dalam keliaran yang tak terkendalikan (hawa nafsu)  tetapi di dasarkan pada pemahaman  bahwa mereka  telah dibenarkan di hadirat Allah. Oleh sebab itu seluruh kehidupan  orang Kristen  hendaknya merupakan perenungan  tentang ibadah terhadap Allah karena  mereka dipanggil untuk menjadi kudus (Ef.1:4; 1 Tes.4:3).[58]
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa  spiritualitas Kristen harus  diarahkan kepada  hasrat dan kebebasan untuk memuliakan Tuhan,  melalui kehidupan yang kudus dan tidak bercela bukan untuk memuliakan diri sendiri dengan kesenangan-kesenangan  yang bersifat kedagingan dan keduniawian.
            Ketiga, spiritualitas pascamoderen adalah spiritualitas  subyektif fragmatis yang sangat  mementingkan hiburan (entertainment) dari sebuah narasi dan bukan lagi kebenaran yang absolut.   Mereka menawarkan kisah-kisah yang indah dari sebuah  narasi untuk menghibur dan bukan lagi melihat kebenaran yang berada dibalik narasi tersebut. Hal ini telah merambah ke area kekristenan atau gereja hari ini, maka banyak orang Kristen cenderung lebih menyenangi pengkhotbah yang lucu  dengan cerita-cerita humor dan tidak menyenangi khotbah-khotbah doktrinal yang berat. Jemaat lebih menyenangi pengkhotbah yang mengkhotbahkan akan kasih Allah, berkat, mujizat dan menghindari penghotbah yang mengkhotbahkan dosa, dan neraka.  Yang dipercayai bukan apa yang riil tetapi berhubungan dengan satu pilihan, “yang kami percaya adalah yang kami suka” , “apa yang kami percaya yang ingin kupercaya” [59] Gejala yang lain adalah gereja menyediakan berbagai hiburan bagi jemaat, mengundang artis, pengkhotbah lucu, musik-musik  yang menggelegar dan lain sebagainya.
            Spiritualitas Kristen adalah hidup sebebas-bebasnya untuk memuliakan Allah,  yang esensinya adalah bukan untuk kepuasan diri sendiri melainkan “kepuasan” Allah. Karena yang menjadi pusat  spiritualitas  Kristen adalah Allah.
Kesimpulan  
            Melalui pembahasan diatas, maka penulis memberikan beberapa kesimpulan dan aplikasi.
            Pertama, Spiritualitas pascamoderen adalah spiritual yang dibangun atas  bangunan kerangka manusia yang berdosa,  yang dicirikan dengan tidak percaya akan adanya kebenaran yang absolut. Spiritualitas demikian adalah spiritualitas  yang memberontak terhadap Allah  dan spiritualitas yang menyimpang dari  kebenaran Allah.  Sedangkan spiritualitas Kristen adalah spiritualitas yang di bangun atas dasar kebenaran dan keyakinan serta ketundukan kepada Allah dan Firmannya yang diyakini sebagai satu kebenaran yang absolut.
            Kedua, Spiritualitas pascamodern adalah spiritualitas yang sangat pragmatis yang sangat menekankan akan kebebasan manusia, yang pada akhirnya  menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan kecil dan penentu kebenaran. Hal ini berdampak pada ketidak adanya batas-batas moral, nilai-nilai hidup yang sesuai dengan keyakinan dan pandangan  universal.
             Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas pascamodern, adalah spiritualitas yang melangkahi dan meng-explorasi akan batas-batas, norma, moral,    tradisi dan agama  yang ada.  Spiritualitas yang bebas  menikmati kehidupan sebagai manusia yang berdosa dan berusaha untuk hidup menurut kehendak hati dan keinginan diri sendiri. Suatu spiritualitas yang semakin menjauhkan manusia dari “kesucian” dan kesadaran adanya suatu yang Ilahi yang berkuasa yang mengatur hidup dan tatanan hidup manusia. Spiritualitas yang kelihatan  “bermoral” tetapi sebenarnya jauh dari  nilai “moral”. Selain itu,  spiritualitas pascamodern lebih mengedepankan perasaan (like or dislike),  pengalaman  hiburan di dalam relasinya baik dengan sesama  maupun dengan Tuhan.  Oleh sebab itu pemahamannya tentang Allah dan relasinya dengan manusia sangat dangkal  dan sempit. Bahkan lebih cenderung akan membawa manusia kepada  dosa dan kecemaran.





   KEPUSTAKAAN
Buku dan Artikel
Calvin, Yohanes.  Institutio: Pengajaran Agama Kristen. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1999.
Crampton, W. Gary.  Verbium Dei (Alkitab: Firman Allah). Surabaya: Momentum, 2000.
Erickson, Millard J. Truth or Consequences.   Illionis: Intervarsity, 2001.
Ferguson, Sinclair B. Hati yang  Dipersembahkan kepada Allah . Surabaya: Momentum, 2002.
Frame, John M.  Cornelius Van Til: An Analysis of His Thought. Phillipsburgh: Presbyterian &                  Reformed, 1995.
______. Apologetics to the Glory of God, an Introduction. Philipsburgh, New Jersey:                                  Presbyterian and Reformed pub., 1994.
Griffin, David Ray.  Tuhan dan Agama Dalam Dunia Postmoderen, Yogyakarta: Kanisius, 2005. ______. Visi-visi Postmodern (Yogyakarta: Kanisius, 2005
Grenz, Stanley J. A Primer on Postmodernism: Pengantar untuk memahami postmodernisme dan             peluang penginjilan atasnya.  Yogyakarta: Yayasan Andi, 1996.
Hidayat, Paul . Hidup Dalam Ritme Allah. Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2005.
Lumintang, Ramli B. Bahaya Postmodernisme dan Peranan Kredo Reformed Batu Malang:                      Institut Petrus Octavianus, 2010.
Lumintang, Stevri I. Theologia Abu-Abu-Pluralisme Agama. Malang: Gandum Mas, 2004.
McKeechnie, Jean L. Webster’s New Twentieth Century Dictionary of the English Language                      Unabridged,  ____: Collins World Pub. 1975.
McGrath, Alister E. Christian Spirituality.  Malden: Blackwell, 2004.
Newbigin, Lesslie.  Injil Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. O’Donnel, Kevin.  Post Modernisme. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Piliang, Yasraf Amir.  Dunia yang dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan,                        Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
______. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.                                                         Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Salim, Yeni.  Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English press, 1991.
Veith, Gene Edward Jr.,  Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and
            Culture . Wheaton: Crossway Books, 1994.
Dalas Willard. Renovation of the Heart. Malang: Literatur SAAT, 2005.
Jurnal
Don Matzat, “Apologetics in a postmodern age.New York, Saint John Church: Issues,                           Etc. Journal 2/5 (Fall 1997)
Lie Han Ing, Johannes.  “Keunikan Spiritualitas Kristen dalam sebuah perbandingan dengan                     pengalaman religius dan tingkah laku dari Agama-agama.”  Jurnal amanat Agung, 5/2,   (2009) 260-281.
Internet
Michel Downey, “Understanding Christian Spirituality:   Dress Rehearsal for a Method,” http://www.spiritualitytoday).org/spir2day/91433downey.html
Yakub Tri Handoko,Spiritualitas Reformed di Era Post Modern,”  http://www.gkri-exodus.org/image-upload/MS%2010%20Spiritualitas%20Reformed.pdf


[1] G. Borradori , The American Philosopher. (Chicago and London: The University ofChicago Press, 1994),103,106.
                [2] Ramly B. Lumintang,  Bahaya Postmodernisme  dan Peranan Kredo Reformed   (Batu: Departemen Multimedia Institut Petrus Octavianus, 2010), 84-85,  Riwayat hidup Rorty, dikutip dari Bjonberg, “Richard Rorty”, http://plato.stanford.edu/fundraising/, 2007.
                [3] Yakub Tri Handoko,  “Spiritualitas Reformed di Era Post Modern”  http://www.gkri-exodus.org/image-upload/MS%2010%20Spiritualitas%20Reformed.pdf
                [4]Buku-bukunya dapat dilihat di riwayat hidupnya.
                [5]Lumintang, Bahaya postmodernisme  85.
                [6]Stanley J. Grenz, A Primer on postmodernism (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1996) 240.
                [7]Nonrealis (Richard Rorty)  beranggapan bahwa pemahaman kita terhadap dunia dijembatani oleh bahasa, kebenaran bukanlah konsep filosofis tetapi masalah kesepakatan manusia. Sedangkan kaum realis, kita mampu memahami dunia terlepas dari bahasa, dan bahasa kita lahir dari pengamatan terhadap dunia yang objektif, jadi kebenaran adlah istilah filosofis yang mencerminkan realitas objektif secara tepat. Ibid.
                [8]Ibid, 242.
                [9]Ibid, 244.
                [10]Ibid, 247.
                [11]Ramli B. Lumintang,  Bahaya Postmodernisme  85.
                [12]Douglas  Groothuis, Pudarnya Kebenaran  (Surabaya: Momentum, 2003) 29.
                [13]Lumintang,  Bahaya Postmodernism 86.
                [14]Tokoh-tokoh hermeneutik  yang memunculkan benih postmodern  seperti: Wihelm Dilhtey, Marthin Heideger, Hans-George Gadamer sedangkan  dalam hal bahasa, seperti:Ludwig Wittgenstein dan Ferdinand  De Sausure.
                [15] Lumintang,  Bahaya Postmodernisme 108-109.
                [16] Yasraf Amir Piliang, Dunia yang dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) 108.
                [17] Ibdi.
                [18] Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism: Pengantar untuk memahami postmodernisme dan peluang penginjilan atasnya. (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1996)15.
                        [19] Millard J. Erickson, Truth or Consequences  (Illionis: Intervarsity, 2001) 115.
[20]Demikian juga, mereka menolak  metanarasi   atau cerita (historis) yang  tercermin dalam pengajaran yang utuh dari sebuah doktrin kebenaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci    dari setiap agama, apa lagi  yang berkaitan dengan pengajaran atau doktrin kebenaran yang diajarkan Alkitab  yang  dipercaya oleh orang Kristen (ortodoks) sebagai sesuatu yang absolut.  Pascamodern   menawarkan cara baru, yaitu memecah dan membagi-bagi  cerita tersebut  ke dalam mikro narasi.  Sebagai contoh di dalam kekristenan, mereka menolak Alkitab  sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling terkait, (kisah dari PL ke  PB atau  dari kitab satu ke kitab yang lain) akhirnya Alkitab akan kehilangan makna yang sesungguhnya dari karya Allah dalam sejarah dunia (alam semesta)  dan  manusia, sebagaimana di ajarkan  dan disaksikan oleh Alkitab itu sendiri.  Ibid. 211-212. 
                [21] Rorty, memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Dewey (seorang filsuf  pragmatis), sehingga ia di juluki tokoh pragmatis Amerika.
                [22] Grenz,  a Primer on postmodernism 239-240.
                [23] Erickson,  Truth or consequences 154.
                [24] Ibid.155.
                [25] Non realis adalah kebalikan dari realis, realis melihat  bahwa kita mempunyai kemampuan memahami dunia dunia  terlepas dari bahasa dan bahasa lahir  dari pengamatan dunia yang objektif. Sedangkan nonrealis mengetengahkan bahwa pemahaman kita terhadap dunia dijembatani oleh bahasa.  Grenz,  A Primer on Postmodern 240.
                [26] Kaum non esensialis percaya hanya pada sifat relasional, kita tidak dapat berbicara tentang hakikat esensial sebuah benda secara tersendiri. Kita hanya dapat berbicara tentang hakikat sebuah benda hanya dalam hubungan dengan benda-benda lainnya. Pandangan yang sebaliknya  yaitu  kaum essensialis, mereka berpendapat  dan percaya bahwa  sebuah objek atau benda mempunyai sifat “intrinsik” dan “relasional”. Sifat intrinsik adalah kualitas hakiki yang dimiliki benda itu “dalam dirinya sendiri”. Sedangkan sifat relasional adalah kualitas yang dimiliki oleh benda-benda itu dalam hubungan dengan benda-benda lainnya, khusunya dengan hasrat dan minat manusia.  Ibid.
                [27] Erickson, Truth or Consequences 155.
                [28] Lumintang, Bahaya Postmodernism 107.
                [29] Groothuis, Pudarnya Kebenaran 186.
                [30] Kevin O’Donnel, Post Modernisme  (Yogyakarta: Kanisius, 2009) 106-107.
                [31] Selanjutnya dia menjelaskan, “Peleburan demikian menciptakan semacam  peleburan batas atau ketidakpastian kategori.  Pencairan pada tingkat moral, telah melenyapkan batas-batas mengenai benar-salah, boleh-tidak boleh, pantas-tak pantas, patut-tak patut. Pada tingkat  pertandaan telah melenyapkan batas tanda/realitas, realitas/fantasi, fakta atau fiksi. Dengan dibongkarnya setiap batas, maka terciptalah  sebuah dunia tanpa tabir pembatas.
                [31]  Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003) 237.
                [32] -----Kamus Bahasa Indonesia, ed.III.  (Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008).
                [33] Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English press, 1991)
                [34] Jean L.McKeechnie, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of the English Language Unabridged (____:Collins World Publ. 1975)
                [35] David Ray Griffin adalah seorang professor,  teolog dan juga seorang  tokoh postmodern. http://en.wikipedia.org/wiki/David_Ray_Griffin
                [36] David Ray Griffin, Visi-visi Postmodern (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 15.
                [37] Ibid.
                [38] Michel Downey, “Understanding Christian Spirituality:   Dress Rehearsal for a Method, “  http://www.spiritualitytoday.org/spir2day/91433downey.html
                [39] Alister E. McGrath, Christian Spirituality  (Malden: Blackwell, 2004), 3.
                [40] Lumintang, Bahaya Postmodernisme 104.
                [41] Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu-Pluralisme Agama, ( Malang: Gandum Mas, 2004)41. Lihat Juga, Lumintang, Bahaya Postmodernisme 105.
                [42] Ibid. 105.
                [43] Gene Edward Veith, Postmodern Times…, (Wheaton Crosway, 1994) Dikutip dari, Christian Sulistio, Penerapan Konsep Kebenaran,175.
                [44] John M. Frame, Apologetics to the Glory of God, an Introduction  (Philipsburgh, New Jersey: Presbyterian and Reformed pub., 1994) 35.
                [45] Paul Hidayat, Hidup Dalam Ritme Allah (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2005) 13.
                [46] Konsep Rhema  adalah konsep yang diadopsi dari Paul Yonggi Co, yang mengatakan bahwa kehendak Allah dinyatakan melalui “Rhema” yang bersifat individual dan kadang tidak terdapat didalam Alkitab. Rhema  menjadi suatu semacam kebenaran pribadi yang juga didapatkan oleh orang  lain (khusus) dan di sisi lain tidak diberikan Allah kepada orang lain. Ciri-ciri dari hal ini adalah, seseorang akan  begitu mudah mengatakan “Tuhan telah berbicara kepada saya”,  “Tuhan telah memberi Rhema”, “Tuhan telah berbisik kepada saya, “Tuhan telah berfirman kepada saya” dan lain sebagainya. Lumintang, Bahaya Posmodernisme 181.
                [47] Ibid.106.
                [48] Dengan  demikian ia harus menanggalkan kemutlakan dan finalitas dari iman kepercayaannya, bagi  orang Kristen seperti demikian,  ia tidak akan melihat bahwa  Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat dan  sumber kebenaran tetapi hanya salah satu Juruselamat dan salah satu kebenaran dari sekian banyak pilihan keselamatan dan kebenaran.
                [49] Johanes, Keunikan Spiritualitas Kristen  270.
                [50]  Gene Edward Veith, Jr.,  Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and
Culture (Wheaton: Crossway Books, 1994) 193.
[51] Ibid.
[52] Yang dimaksud tingkahlaku agamawi adalah  melakukan ritual-ritual keagamaan, seperti berdoa, , menyanyi, beribadah dan lain-lain.
[53] Johanes,  Keunikan Spiritualitas Kristen  274.
[54] Dalas Willard, Renovation of the Heart (Malang: Literatur SAAT, 2005) 192.
[55] Sinclair B. Ferguson, Hati yang  Dipersembahkan kepada Allah  (Surabaya: Momentum, 2002) 136.
                [56] Ramli B. Lumintang, Bahaya Postmodernisme 107.
                [57] Johannes Lie Han Ing, “Keunikan Spiritualitas Kristen dalam sebuah perbandingan dengan pengalaman religious dan tingkah laku dari Agama-agama” (Jurnal amanat Agung, vol.5 no 2, 2009) 265-267.
                [58]Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen  (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1999) 180-181.
                [59] Veith, Postmodern Times, Postmodern Religion   (Wheaton: Crossway Books, 1994) 193.

Tidak ada komentar: