PENDAHULUAN
Hari ini kita sedang memasuki satu era yang dinamakan era pascamodern. Terlepas dari kesimpangsiuran apakah pascamodern adalah kritik atas moderen atau kelanjutan dari moderen, tetapi yang pasti pengaruh pascamodern telah merambah diberbagai area kehidupan manusia hari ini. Mulai dari seni, arsitektur, sistim pemikiran manusia, politik, teknologi, agama dan tidak kalah penting dalam hal spiritualitas Kristen.
Pertanyaan yang sering ditanyakan hari ini, apakah pengaruh pascamodern telah masuk dan mempengaruhi ranah spiritualitas Kristen? Memang sulit untuk menjawab ya atau tidak, tetapi yang pasti sadar atau tidak sadar, pengaruh spiritualitas pascamoderen sudah dan akan terus merambah ke area spiritualitas Kristen, karena kekristenan hidup di tengah dunia yang telah dicemari oleh pemikiran-pemikiran pascamoderen.
Bagaimana menggambarkan kondisi spiritualitas yang telah dipengaruhi oleh pemikiran pascamodern? Kondisi spiritualitas yang telah dipengaruhi oleh pascamodern adalah kondisi dimana yang suci dicemari oleh yang kotor. Sesuatu yang transenden dan ilahi dirasuki oleh yang duniawi. Percampuran inilah yang akhirnya menimbulkan kesimpangsiuran sehingga perbedaan diantara keduanya menjadi kabur. Suatu spiritualitas yang menampilkan kesucian dan kesakralan yang hanya bersifat permukaan dan artifisial. Suatu spiritualitas yang tidak memiliki dasar dari kebenaran absolut. Suatu spiritualitas yang pragmatis dan subjektif.
Oleh sebab itu melalui makalah ini penulis akan memaparkan mengenai pengaruh konsep pascamodern Richard Rorty terhadap spiritualitas Kristen. Tujuannya, agar kita dapat mengetahui akan konsep-konsep pascamodern yang mempengaruhi akan spiritualitas Kristen dan akhirnya bagaimana kita menyikapi akan dampak atau pengaruh pascamoderen dalam kehidupan spiritual orang percaya.
Dalam makalah ini, penulis pertama-tama akan memaparkan akan riwayat singkat dari Richard Rorty. Kedua, memaparkan akan konsep-konsep pemikiran pascamodern Richard Rorty. Ketiga, menjelaskan arti spiritualitas yang berhubungan dengan pembahasan dalam makalah ini dan terakhir, penulis akan mengevaluasi konsep-konsep tersebut yang dikaitkan dengan pengaruh terhadap spiritualitas kekristenan masa kini.
LATARBELAKANG
Rorty dilahirkan di New York, Amerika serikat pada 4 Oktober 1931. Dia adalah seorang ahli filsafat Amerika Serikat, serta berkarir sebagai seorang filsuf humanis. Dia lebih dikenal sebagai pemikir atau filsuf Amerika yang bergaya Eropa yang cakap dalam berbagai hal, optimistis, dan sering terlibat dalam perdebatan umum. Ia dikenal secara internasional sebagai pendiri dan bapak neo-pragmatisme. Melalui karya monumentalnya yang berjudul Philosophy and the Mirror of Nature (1979) dia telah mengagumkan komunitas filsuf dengan meninggalkan model training yang professional. Dia dikenal pula sebagai filsuf yang telah menghidupkan kembali gagasan John Dewey yang dia terapkan dalam filsafat analitis.[1]
Tahun 1946, Rorty masuk ke perguruan tinggi di Universitas Chicago dengan minat khusus dalam bidang filsafat. Tiga tahun kemudian, dia memperoleh gelar Bachelor of Art, lalu melanjutkan studinya lagi dan memperoleh gelar Master of Arts pada tahun 1952. Selanjutnya ia melanjutkan studi di Universitas Yale dan menyelesaikan Ph. D. Tahun 1961, Rorty masuk sebagai dosen dan mengajar selama tiga tahun di Wellesley College kemudian pindah mengajar ke Universitas Princenton dan Universitas Virginia. Tahun 1982, dia memperoleh gelar profesor humanisme dan tahun 1998, dia menerima jabatan sebagai pimpinan dari Department of comparative literature di Stanford University.
Rorty menerima banyak penghargaan akademis dari berbagai instansi dan perguruan tinggi di antaranya: dari Guggenhein fellowship (1973-1974), MacArthur Fellowship (1981-1986), the Northcliffe Lectures at University College, London (1986), the Clark Lectures at Trinity College, Cambridge (1987), dan dari the Massey Lectures at Harvard.
Ada pun hasil karya Rorty dalam bentuk tulisan, telah dipublikasikan serta menjadi buku pegangan bagi perguruan tinggi di antaranya: Philosophy and the Mirror of Nature (1979), Consequences of Pragmatism (1982), Contingency, Irony, and Solidarity (1989), Philosophy and Social Hope (1999), Objectivity, Relativism, and Truth (1991) dan masih banyak lagi.[2]
KONSEP-KONSEP PASCAMODERN RICHARD RORTY
Secara umum konsep-konsep pascamodern didasarkan pada satu filofosi relatifisme. Paham ini mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak (absolut). Segala sesuatu adalah relatif. Bahkan karena begitu relatifnya mereka dapat mensandingkan dua kebenaran yang saling berkontradiksi, tanpa harus memilih salah satu dan membuang yang lain. Walaupun secara logis pandangan ini tidak bisa dibenarkan, namun para penganut pascamodern “seperti Richard Rorty” tetap memegang teguh paham ini karena pada dasarnya mereka memang bukan tipikal orang yang berpikir logis. Cara berpikir mereka lebih ke arah pragmatis. [3]
Oleh karena dasar pemikiran seperti demikian, maka setidaknya ada dua konsep dasar Rorty:
Pertama: Tidak Ada Dasar Kebenaran yang mutlak
Rorty sama seperti tokoh pascamodern lainya memegang paham relatifisme. Akibat dari relatifisme maka dengan sendirinya ia menolak adanya suatu dasar kebenaran yang mutlak. Hal ini tercermin dari buku-bukunya[4] yang merepresentasikan pemikiran dan falsafahnya.
Salah satu pemikirannya adalah memudarnya kebenaran, tidak adanya kebenaran absolut bahkan tidak ada lagi kebenaran di dalam dunia ini.[5] Menurutnya, kebenaran bukanlah sebuah konsep filosofis, tetapi masalah kesepakatan manusia.[6] Sebagaimana di jelaskan oleh Grenz, ia mengatakan bahwa Rorty adalah seorang pragmatis, baginya kebenaran itu bersifat nonrealis, [7] non esensialis, dan non representasionalis, oleh sebab itu kebenaran bersifat koheren dan bukan koresponden.[8]
Rorty, memahami kebenaran sebagai “apa yang bekerja” bukan apa yang benar secara teoritis. Oleh sebab itu, baginya tidak ada suatu sistim kepercayaan yang benar-benar sempurna, baginya dasar kebenaran adalah kebenaran menurut kita.[9] Untuk mengembangkan dasar pemikirannya mengenai kebenaran, ia mengusulkan pandangan “etnosentrik” mengenai pengabsahan terhadap klaim kebenaran. Menurutnya, bahwa tidak ada seorangpun yang dapat keluar dari kriteria benar-salah yang berlaku dalam masyarakat. Segala sesuatu yang kita katakan mengenai kebenaran, selalu terbatas dalam lingkup pemahaman dan konsep masyarakat tempat kita hidup.[10] Dia juga, memegang penjelasan Darwinian tentang evolusi kehidupan, dimana tidak ada ruang bagi kebenaran.[11]
Rorty, tidak meyakini adanya kebenaran yang mutlak, universal, kekal dan historis, baginya kebenaran bersifat subjektif dan relatif.[12] Ia menolak semua kebenaran yang objektif dan berusaha menggantikan dengan kebenaran yang subjektif. Kebenaran ada didalam masyarakat atau komunitas bahkan lebih lagi kebenaran itu tergantung pada individual. Kebenaran sangat erat kaitannya dengan perspektif seseorang. Baginya kebenaran adalah yang berfungsi, bukan masalah benar atau kebenaran lagi (Truth as what works rather than what is right/correct).[13] Dengan demikian, kebenaran menjadi social convention (kesepakatan bersama secara sosial), seperti konsensus, jadi kebenaran adalah kesepakatan bersama.
Sejalan dengan pemikiran Rorty mengenai kebenaran, Lumintang menjelaskan bahwa secara umum ciri kaum pascamodern memberlakukan pengertian kebenaran yang subjektif dalam proses hermeneutik,[14] mereka mengedepankan akan personal truth, dimana manusia yang menentukan kebenaran, oleh sebab itu sangat subjektif dan di dasarkan pada pengalaman manusia itu sendiri. Sebagai contoh, apabilah manusia mengatakan tidak benar sekalipun teks itu benar, maka yang benar adalah apa yang dikatakan oleh si pelaku hermeneutik. Dalam hal menafsirkan teks, si penafsir dapat memasukan unsur pengalaman pribadi di dalamnya, pendapatnya dan presaposisinya. Sederhananya, tekslah yang tunduk kepada si pelaku hermeneutik.[15]
Ciri-ciri pemikiran seperti demikian adalah merupakan bentuk pemikiran secara umum dari pascamodern, sebagaimana ditegaskan oleh Amir Pilliang: “Pascamodern menawarkan kepada manusia suatu otonomi khusus dalam hal kebenaran yaitu menjadikan manusia sebagai patokan dan penentu kebenaran.”[16]
Jadi, semua kebenaran yang berada di luar diri manusia, bukanlah kebenaran. Kebenaran itu akan menjadi kebenaran apabila manusia atau individu memutuskan itu sebagai kebenaran. Kebenaran umum yang diakui oleh masyarakat atau negara bahkan oleh agama, harus tunduk pada pengakuan manusia, semua itu benar kalau manusia menentukan itu benar. Contohnya, kita jangan memaksakan kebenaran kita (agama) kepada orang lain, karena benar bagi kita belum tentu benar bagi orang lain. Dengan demikian kebenarannya menjadi sangat subyektif.[17]
Seorang filsuf pascamodern Perancis, Jacques Derrida, memiliki pemahaman yang hampir sama dengan Rorty. Ia menghilangkan onto teologi (usaha untuk mencari hakikat/esensi realitas) dan melenyapkan metafisika kehadiran (konsep mengenai adanya sesuatu yang transenden dalam realitas).[18] Baginya tidak ada Realitas dan sesuatu yang transenden. Oleh sebab itu tidak ada sesuatu bersifat absolut, segala sesuatu berasal dari bagaimana manusia menafsirkan Realitas itu sendiri sesuai dengan sudut pandangnya sendiri. Dia juga menolak akan logosentris yang diartikan sebagai Firman, suatu kebenaran, Allah yang transenden.[19] Pandangan yang sama disampaikan oleh seorang tokoh pascamodern, yang bernama Foucault, ia menolak adanya kebenaran atau pengetahuan yang objektif, baginya kebenaran adalah produk atau dongeng.[20]
Melalui penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep Rorty dan beberapa tokoh pascamodern memiliki satu kesamaan konsep kebenaran. Mereka meletakan dasar kebenaran diatas subjektifitas manusia dan tidak mempercayai adanya suatu Realitas dan sesuatu yang transenden.
Kedua, Richard Rorty dan Konsep Pragmatis
Satu istilah yang tidak terelakan dan identik dengan tokoh pascamodern Richard Rorty, adalah istilah “pragmatis” atau neo pragmatis. Ketika berbicara tentang pragmatis di era pascamodern selalu dikaitkan dengan Rorty.[21] Inti tradisi pragmatis adalah pemahaman tertentu terhadap hakikat kebenaran. Inti pragmatisme Rorty adalah penolakan terhadap konsep yang menganggap rasio manusia sebagai “cermin dari realitas” .[22]
Rorty, melahirkan satu pemikiran“behaviorist questions”—sebuah upaya menjadikan epistemologi sebagai usaha untuk mempelajari beberapa cara manusia berinteraksi, berusaha memahami alasan penerimaan atau penolakan terhadap berbagai kepercayaan.[23] Menurutnya, benar atau salah ditentukan oleh praktek secara sosial, ia sangat menekankan solidaritas “what is good for us to believe?” bahkan memberi ruang untuk improvisasi, karena menurutnya apa yang dipercaya sekarang secara rasional belum tentu “benar” karena ada kemungkinan ada ide yang lebih baik. Obyektifitas dipandang sebagai usaha mencari kesepakatan di antara berbagai subyektifitas yang ada, bahkan bagimana memperluas suatu makna dengan seluas-luasnya. [24]
Rorty dengan pandangan pragmatisnya, melihat satu kebenaran sebagaimana dijelaskan diatas sebagai sesuatu bersifat non realis [25] dan non esensial[26]. Pandangan pragmatis Rorty dapat dilihat dalam pembahasannya mengenai pengetahuan, kebenaran, moralitas dan juga bahasa.
Pemikiran Rorty ini adalah salah satu bentuk pemikiran atau konsep pragmatisme pascamodern. Bagi Rorty, benar atau salah ditentukan oleh praktek sosial dan solidaritas (pendekatan “what is good for us to believe?”= neo pragmatism). Baginya selalu ada ruang inprovisasi selalu memberi ruang bagi improvisasi karena apa yang dipercaya sekarang secara rasional belum tentu “benar” karena ada kemungkinan ide yang lebih baik [27] Dengan demikian mereka sangat menekankan kebebasan manusia untuk menentukan benar atau salah . Bahkan lebih dari pada itu , sangat menekankan akan kebebasan yang sebebas-bebasnya, artinya tidak perlu mengikuti aturan, baik oleh hukum, adat, tatakrama, etika maupun agama. Manusia dapat menggunakan kebebasannya, sebebas-bebasnya termasuk didalam meraih kesenangan.[28]
Rorty membuang semua dasar etika yang didasarkan pada natur pribadi atau realitas Allah karena baginya martabat manusia dikonstruksikan secara sosial melalui tradisi. Martabat tidak berdiam di dalam esensi manusia itu sendiri. Baginya tidak ada realitas transenden, rasionalitas, atau sistem nilai yang bisa dipakai untuk mengatur manusia yang saling bersaing. [29]
Salah satu tokoh pascamodern yang memegang pandangan pragmatis yang senada dengan Rorty adalah Foucault. Menurutnya pembicaraan tentang “hakikat manusia” hanya ada dalam wacana, bukan dalam pengetahuan murni dari privilese di luar wacana. Manusia terikat oleh peraturan, tradisi-tradisi dan kekuasaan, oleh sebab itu dia berusaha “membebaskan manusia dengan mencari kenikmatan”, serta berusaha menikmati kehidupan yang sebebas-bebasnya yang tidak terikat dengan tradisi dan norma-norma yang ada. [30]
Senada dengan apa dipaparkan diatas mengenai pragmatism Rorty, Piliang memaparkan mengenai salah satu tokoh pascamodern Derida yang mengembangkan wacana pascamodern dekonstruksi. Derida menjelaskan dekonstruksi sebagai sebuah pencairan, peleburan atau pembongkaran terhadap berbagai konvensi sosial, konsensus moral, kode kultural, makna transendental atau kebenaran ilahi yang sebelumnya disepakati bersama.[31] Dengan dibongkarnya setiap batas, maka terciptalah sebuah dunia tanpa tabir pembatas. Dunia yang tidak ada lagi batas-batas moral (telanjang), mengenai baik buruk, benar salah, layak atau tidak layak. Akhirnya apapun dapat di ekspos, di narasikan dan dipertontonkan.
PENGERTIAN SPIRITUALITAS
Kata spiritualitas, seringkali di artikan oleh orang Kristen dengan sederhana, yaitu menyangkut doa, ibadah, puasa, hidup baik atau moralitas belaka. Namun sebenarnya spiritualitas tidak sesempit arti tersebut, tetapi menyangkut segenap aspek kehidupan manusia. Meskipun diakui bahwa istilah spiritualitas selalu berkonotasi atau mengarah kepada satu bentuk disiplin religius tertentu, namun tidak selamanya dapat diartikan seperti demikian.
Kamus bahasa Indonesia mendefinisikan spiritual atau spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani atau batin).[32] Sedangkan kamus bahasa Indonesia moderen mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu keadaan, ciri atau kerohanian.[33] Dan kamus Webster mengartikan spiritualitas; Spiritual nature, character or quality; spiritual mindedness opposed to worldlenness and sensuality.[34] Melalui definisi ini maka dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya spiritual diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan aktifitas religius tertentu. Bagi kaum pascamodern seperti David Ray Griffin[35], ia mendefinisikan spiritualitas adalah menunjuk kepada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup manusia, baik duniawi maupun tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut.[36] Menurutnya, istilah ini memang memiliki konotasi religius dalam arti bahwa nilai dan makna dasar yang dimiliki mencerminkan hal-hal yang dianggap suci, yaitu memiliki kepentingan mendasar. Akan tetapi apa yang dianggap suci bisa saja merupakan sesuatu yang sangat duniawi, seperti kekuasaan, energi seksual atau sukses.[37]
Sedangkan bagi Kristen, seperti yang dikatakan oleh Michael Downey, spiritualitas berkenaan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman hidup Kristiani, khususnya persepsi dan upaya mencapai gagasan atau tujuan tertinggi hidup Kristiani, yaitu suatu kesatuan yang lebih intensif dengan Allah yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus melalui kehidupan dalam Roh.[38]
Dalam upayanya menggali metode guna memahami Spiritualitas Kristen ini, Downey menyatakan:
In charting the terrain of Christian spirituality it may be helpful to identify seven focal points of investigation. From this vantage point, Christian spirituality is concerned with the work of the Holy Spirit (in itself a rather slippery term!) in persons:
1) within a culture; 2) in relation to a tradition; 3) in light of contemporary events, hopes, suffering and promises; 4) in remembrance of Jesus Christ; 5) in efforts to combine elements of action and contemplation; 6) with respect to charism and community; 7) as expressed and authenticated in praxis.
Sedangkan McGrath, mendefinisikan spiritualitas Kristen sebagai:
“…. Concerns the living out of the encounter with Jesus Christ….the way in which the Christian life…as the way in which Christian individuals or groups to deepen their experience of God, or to “practice the presence of God.”[39]
Dari sini kita melihat bahwa Spiritualitas Kristen memiliki beberapa keunikan dibandingkan spiritualitas pada umumnya. Dalam makalah ini, penulis menfokuskan kepada arti spiritualitas yang berhubungan dengan makna yang melandasi setiap sisi kehidupan manusia, secara khusus yang berhubungan ciri-ciri spiritualitas yang didasari oleh suatu kebenaran dasar yang absolut. Kebenaran yang dinyatakan melalui pribadi Yesus Kristus dan Firman-Nya.
PENGARUH KONSEP PASCAMODERN RICHARD RORTY TERHADAP SPIRITUALITAS KRISTEN
Dalam bagian ini penulis akan memaparkan akan pengaruh konsep Rorty terhadap spiritualitas Kristen. Dalam memaparkan akan pengaruh terhadap spiritualitas Kristen, pertama penulis akan mengevaluasi konsep pascamodern yang ditinjau berdasarkan Firman Tuhan (Alkitab) yang dipercaya penulis sebagai sumber kebenaran yang absolut yang di wahyukan Allah. Selanjutnya penulis akan memaparkan akan bahayanya terhadap spiritualitas Kristen.
Penulis melihat bahwa akar permasalahan dari konsep-konsep Rorty dan juga konsep pascamodern lainnya, bersumber dari penolakan manusia akan Allah yang bersumber dari jatuhnya manusia di taman Eden (Kej. 3, bnd. Roma 3:23). Dengan demikian, jika dikaitkan dengan spiritualitas Kristen, maka spiritualitas yang dibangun didasarkan atas pemberontakan dan penolakan terhadap hakekat Allah dan kebenaran-Nya. Hal ini dapat dilihat dari dua konsep yang mendasari spiritualitas pascamoderen, sebagaimana telah dijelaskan diatas, yaitu:
Spiritualitas Yang Tidak Memiliki Kebenaran Dasar Yang Absolut
Setiap orang yang memeluk satu agama di dunia ini pasti memiliki keyakinan bahwa agama benar, kitab sucinya benar, ibadahnya benar, penyembahannya dan semua sistem beragamanya, pastilah benar dan mutlak (absolut). Karena kalau tidak, maka dia bukan sedang beragama atau malah sedang meragukan agamanya. [40] Demikian pula dengan orang yang tidak beragama, mereka pasti memiliki keyakinan mengenai kebenaran dari apa yang mereka yakini dan percayai (ketidakberagamanya) dan hal itu pastilah benar dan bersifat mutlak, kalau tidak, pasti mereka akan beragama. Tetapi menurut Rorty dan kaum pascamodern umumnya mengatakan bahwa, tidak ada satu kebenaran mutlak.
Konsekwensi logis dari pemahaman ini jika dikaitkan dengan spiritualitas Kristen, maka mereka akan menolak akan keyakinan Kristen (ortodoks), yaitu menolak akan keunikan, finalitas atau klaim-klaim kebenaran mengenai pernyataan Allah di dalam pribadi Yesus Kristus.[41]
Konsekwensi kedua, adalah mereka akan menolak metanarasi atau cerita yang terdapat di dalam kitab-kitab suci dari setiap agama, apalagi yang berkaitan dengan pengajaran atau doktrin kebenaran dalam Alkitab .[42]
Konsekwensi ketiga adalah kalau Tuhan dan Alkitab bukan menjadi sumber penentu kebenaran dan tolak ukur kebenaran (absolut), maka itu berarti yang menjadi tolak ukur dan penentu kebenaran adalah manusia atau mungkin satu komunitas.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pascamodernisme adalah merupakan upaya manusia tanpa Allah, sebagaimana dikatakan oleh, Gene Edward Veith:
Without belief in God, it would be difficult to avoid the postmodernist conclusion. If There is no transcendental logos, then there can be no absolutes, no meaning apart from human culture, no way out of the prison house of language.Such postmodern theories may represent the ultimate development of way, Postmodernism may represent the dead-end---the implosion, the deconstruction- of human attempts to do without God.[43]
Pertanyaannya, apakah manusia atau komunitas dapat menjadi tolak ukur dan penentu kebenaran sebagaimana konsep Rorty? Jelas tidak! Karena Alkitab mengatakan bahwa semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah ( Roma 3:23). Demikian juga dalam Roma 1:21-22 “ Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.” Dan Roma 3:10-11 “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak seorang pun mencari Allah.”
Dengan pemahaman tidak adanya kebenaran yang absolut, maka dapat dipastikan bahwa fondasi spiritual yang dibangun adalah kerangka spiritual yang begitu mudah goyah, terombang ambing, bahkan akan begitu mudah runtuh dan akan membawa kepada kehancuran. Alkitab dengan jelas memaparkan ketika manusia menolak Allah (Roma 1:18-32) dan kebenaran-Nya, serta berusaha mencari kebenarannya sendiri maka yang didapatkan bukan kebenaran tetapi kehancuran secara moral dan spiritual. Karena di dalam manusia yang berdosa tidak ada kebenaran (absolute). Hanya Allah yang memiliki kebenaran absolut dan infinitif dalam segala hal, didalam alam ciptaan-Nya, kebenaran-Nya, kuasa, hikmat, kebaikan dan kekudusan .[44] Manusia tidak mungkin menjadi seperti Allah yang memiliki kebenaran, hikmat, kekudusan, dan kuasa yang mutlak atas segala sesuatu di dalam dunia ini.
Salah satu ciri spiritualitas Kristen adalah berorientasi pada Firman Tuhan sebagi sumber kebenaran yang absolut, sebagaimana dikumandangkan oleh tokoh-tokoh reformasi: Sola scriptura dan back to the Bible. Karena Firman Tuhan adalah pusat dari ibadah dan penyembahan manusia kepada Allah, [45] Namun ketika Firman Tuhan tidak diyakini berotoritas dan absolut maka yang ada adalah spiritualitas yang didasarkan oleh subyektifitas manusia.
Selanjutnya, apakah spiritualitas yang tidak meyakini akan kebenaran absolut telah memasuki area spiritualitas Kristen? Lumintang , menjelaskan bahwa salah satu contoh gejala yang “merasuki” gereja saat ini adalah konsep “Rhema” yang berdampak pada lahirnya kebenaran subjektif, kebenaran perspektif dan kebenaran yang bersumber dari human center (Antroposentris).[46] Dengan konsep seperti ini, maka akan ada banyak orang Kristen yang akan terjebak untuk memutlakan apa yang relatif dan merelatifkan apa yang absolut. Mereka akan menggantikan Alkitab sebagai kebenaran mutlak dengan “kebenaran subjektif “ yang berasal dari individu atau pribadi seseorang (hamba Tuhan). Pada akhirnya yang nampak adalah spiritual yang kosong. Sebagaimana di katakan dalam 2 Timotius 3:5 “….Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.”
Hal yang lain adalah munculnya theology liberal yang melihat Alkitab hanya berisi kebenaran, atau hanya sebagian Alkitab adalah kebenaran dan yang lain bukan suatu kebenaran atau seperti teolog liberal Rudolf Bultman dengan “demitologisasi”. Baginya Alkitab harus dilihat sebagai “mitos” ketimbang sebagai fakta “historis”.[47]
Contoh yang lain adalah banyak orang “Kristen” yang mengatakan menyembah Tuhan dan percaya Yesus, tetapi di sisi lain ia masih percaya bahwa ada kebenaran lain di luar kekristenan. Keselamatan tidak hanya ada di dalam Yesus Kristus tetapi agama-agama lain ada jalan keselamatan.[48] Penyembahan dapat dengan berbagai “cara” (bukan pola liturgis, pola Ibadah) sesuai dengan keinginan manusia. Hal ini akan berdampak pada sinkretisme dan juga penyembahan berhala.
Oleh sebab itu, spiritualitas yang benar adalah spiritualitas yang harus dibangun didasarkan kepada suatu kebenaran yang absolut dan objektif, yaitu spiritualitas yang bersumber mutlak kepada Allah didalam Yesus Kristus dan Firman-NYA. Spiritualitas Kristen harus dibangun atas dasar Firman Tuhan yang mengarahkan manusia untuk menyembah Allah dengan benar. Membangun relasi yang intim dengan Allah melalui doa, penyembahan, pengagungan dan syukur kepada Tuhan sebagai satu-satunya Allah yang di sembah dan satu-satunya sumber kebenaran.
Inti dari spiritualitas Kristen adalah membangun suatu hubungan yang intim dengan Allah melalui Firman Tuhan, doa dan penyembahan sebagai usaha untuk mengenal dan mengalami Allah sebagai satu-satu sumber kebenaran yang absolut. Hal ini jelas sebagaimana di katakan di dalam Yohanes 17:3 “ Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus”. Demikian juga ditegaskan oleh Tuhan melalui nabi Yeremia: “Aku akan memberi mereka suatu hati untuk mengenal Aku, yaitu bahwa Akulah TUHAN.” (Yer. 24:7).
Spiritualitas Yang Subjektif Dan Pragmatis
Dari penjelasan diatas mengenai pandangan Rorty yang subyektif dan pragmatis, jikalau dikaitkan dengan spiritualitas Kristen, maka akan muncul suatu spiritualitas yang setidaknya ditandai dengan tiga ciri: Pertama spiritualitas yang didasarkan pada perasaan (like or dislike) dan pengalaman, kedua, kebebasan dan ketiga, hiburan ( entertainment).
Berikut penulis akan memaparkan bagian ini satu persatu:
Pertama, Perasaan dan Pengalaman. Apakah perasaan dan pengalaman seseorang bisa menjadi suatu standar objektif mengenai kebenaran, atau sesuatu yang bersifat religius atau sesuatu yang bersifat spiritual? Manusia disebut manusia spiritual, di mana manusia dapat “merasakan”, dan “mengalami” kehadiran dari “yang Ilahi” (Divine Being/Beings) atau apapun sebutannya. Perasaan memang banyak memainkan peranan penting didalam kehidupan beragama dan selalu dikaitkan dengan spiritualitas. Tetapi kesalahpahaman sering kali terjadi di antara banyak orang adalah pemahaman bahwa “merasakan” adalah sama dengan pencapaian religius.[49] Misalnya, ketika seseorang menyanyi nyanyian rohani, dan merasakan sukacita, kadang ia berfikir bahwa ia sudah menjadi manusia spiritual, pada hal belum tentu hal tersebut berhubungan dengan spiritual.
Konsekuensi tak terelakkan dari relatifisme suatu kebenaran adalah munculnya spiritualitas yang lebih didominasi oleh perasaan seseorang. Seseorang datang beribadah tidak terlalu mempedulikan kebenaran dari suatu ajaran. Yang penting bagi mereka adalah ajaran tersebut mendatangkan perasaan nyaman, senang dan kepuasan psikologis.
Untuk hal ini, Gene Edward Veith berkomentar:
“Today religion is not seen as a set of beliefs about what is real and what is not. Rather, religion is seen as a preference, a choice. We believe in what we like. We believe what we want to believe.” [50]
Perasaan memang memiliki tempat didalam pengalaman spiritual tetapi perasaan tidak dapat dijadikan standard spiritual seseorang. Perasaan adalah suatu respons atau tangggapan yang dimiliki oleh seseorang dalam kaitan dengan pemahamannya atau persepsinya terhadap realita atau fakta.[51] Perasaan juga bisa menjadi respons atas hal-hal spiritual atau bisa menjadi pintu menuju pencapaian spiritual tetapi perasaan adalah sesuatu yang bersifat subjektif.
Dengan demikian, bukan berarti bahwa spiritualitas Kekristenan mengesampingkan akan perasaan didalam kehidupan spiritualitas, namun perasaan dipahami sebagai hasil dari kesadaran spiritual atau “bersama Tuhan” bukan hasil dari melakukan tingkah laku agamawi.[52] Tingkah laku agamawi atau disiplin spiritual dalam kekristenan bukan menjadi syarat untuk mendapatkan perasaan, melainkan wujud nyata dari perasaan dan keberadaan yang telah diperbaharui dan dipenuhi dalam Kristus.[53] Perasaan dalam spiritualitas Kristen adalah sesuatu yang sangat penting, perasaan dapat menggerakkan kehidupan manusia tetapi perasaan yang benar adalah perasaan yang ditaklukan di dalam diri Kristus yaitu perasaan-perasaan saleh dalam diri orang yang telah diubah secara spiritual.[54]
Perasaan dan keberadaan yang telah dipenuhi oleh Kristus akan membawa seseorang untuk datang menyembah Allah. Namun landasan penyembahan tidak terletak pada perasaan karena penyembahan bukanlah suatu yang kita timbulkan melainkan suatu karakteristik Allah yang “turun” menghampiri kita.[55]
Kedua, Landasan pemikiran pragmatis dari Rorty adalah manusia yang menetukan kebenaran dimana manusia bisa hidup sebebas-bebasnya. Pertanyaannya, apakah dengan kebebasan yang ada menjadikan moral atau kehidupan manusia lebih baik ? Alkitab menjelaskan bahwa Allah menciptakan sebagai mahluk yang diberikan kebebasan, namun kebebasan manusia itu, dikontrol dan dibatasi oleh Allah sang Pencipta. Manusia tidak mungkin menjadi manusia dengan segala kebebasannya apalagi setelah manusia pertama jatuh di dalam dosa. Alkitab mengatakan bahwa oleh dosa Adam dan Hawa maka semua keturunannya adalah berdosa.[56]
Alkitab menjelaskan bahwa manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah yang membuat manusia memiliki posisi di atas segala ciptaan lain. Manusia juga diperlengkapi dengan kemampuan untuk memilih atau kehendak bebas. Kehendak bebas ini adalah suatu berkat selama digunakan dalam ketaatan pada natur dirinya sebagai ciptaan yang harus taat kepada kehendak Penciptanya dan melaksanakan panggilannya untuk memelihara dunia.[57] Dalam membahas mengenai kebebasan orang Kristen, Calvin mengatakan: Kebebasan bukan berarti membuang seluruh ketaatan kepada Allah dan menceburkan diri dalam keliaran yang tak terkendalikan (hawa nafsu) tetapi di dasarkan pada pemahaman bahwa mereka telah dibenarkan di hadirat Allah. Oleh sebab itu seluruh kehidupan orang Kristen hendaknya merupakan perenungan tentang ibadah terhadap Allah karena mereka dipanggil untuk menjadi kudus (Ef.1:4; 1 Tes.4:3).[58]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa spiritualitas Kristen harus diarahkan kepada hasrat dan kebebasan untuk memuliakan Tuhan, melalui kehidupan yang kudus dan tidak bercela bukan untuk memuliakan diri sendiri dengan kesenangan-kesenangan yang bersifat kedagingan dan keduniawian.
Ketiga, spiritualitas pascamoderen adalah spiritualitas subyektif fragmatis yang sangat mementingkan hiburan (entertainment) dari sebuah narasi dan bukan lagi kebenaran yang absolut. Mereka menawarkan kisah-kisah yang indah dari sebuah narasi untuk menghibur dan bukan lagi melihat kebenaran yang berada dibalik narasi tersebut. Hal ini telah merambah ke area kekristenan atau gereja hari ini, maka banyak orang Kristen cenderung lebih menyenangi pengkhotbah yang lucu dengan cerita-cerita humor dan tidak menyenangi khotbah-khotbah doktrinal yang berat. Jemaat lebih menyenangi pengkhotbah yang mengkhotbahkan akan kasih Allah, berkat, mujizat dan menghindari penghotbah yang mengkhotbahkan dosa, dan neraka. Yang dipercayai bukan apa yang riil tetapi berhubungan dengan satu pilihan, “yang kami percaya adalah yang kami suka” , “apa yang kami percaya yang ingin kupercaya” [59] Gejala yang lain adalah gereja menyediakan berbagai hiburan bagi jemaat, mengundang artis, pengkhotbah lucu, musik-musik yang menggelegar dan lain sebagainya.
Spiritualitas Kristen adalah hidup sebebas-bebasnya untuk memuliakan Allah, yang esensinya adalah bukan untuk kepuasan diri sendiri melainkan “kepuasan” Allah. Karena yang menjadi pusat spiritualitas Kristen adalah Allah.
Kesimpulan
Melalui pembahasan diatas, maka penulis memberikan beberapa kesimpulan dan aplikasi.
Pertama, Spiritualitas pascamoderen adalah spiritual yang dibangun atas bangunan kerangka manusia yang berdosa, yang dicirikan dengan tidak percaya akan adanya kebenaran yang absolut. Spiritualitas demikian adalah spiritualitas yang memberontak terhadap Allah dan spiritualitas yang menyimpang dari kebenaran Allah. Sedangkan spiritualitas Kristen adalah spiritualitas yang di bangun atas dasar kebenaran dan keyakinan serta ketundukan kepada Allah dan Firmannya yang diyakini sebagai satu kebenaran yang absolut.
Kedua, Spiritualitas pascamodern adalah spiritualitas yang sangat pragmatis yang sangat menekankan akan kebebasan manusia, yang pada akhirnya menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan kecil dan penentu kebenaran. Hal ini berdampak pada ketidak adanya batas-batas moral, nilai-nilai hidup yang sesuai dengan keyakinan dan pandangan universal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas pascamodern, adalah spiritualitas yang melangkahi dan meng-explorasi akan batas-batas, norma, moral, tradisi dan agama yang ada. Spiritualitas yang bebas menikmati kehidupan sebagai manusia yang berdosa dan berusaha untuk hidup menurut kehendak hati dan keinginan diri sendiri. Suatu spiritualitas yang semakin menjauhkan manusia dari “kesucian” dan kesadaran adanya suatu yang Ilahi yang berkuasa yang mengatur hidup dan tatanan hidup manusia. Spiritualitas yang kelihatan “bermoral” tetapi sebenarnya jauh dari nilai “moral”. Selain itu, spiritualitas pascamodern lebih mengedepankan perasaan (like or dislike), pengalaman hiburan di dalam relasinya baik dengan sesama maupun dengan Tuhan. Oleh sebab itu pemahamannya tentang Allah dan relasinya dengan manusia sangat dangkal dan sempit. Bahkan lebih cenderung akan membawa manusia kepada dosa dan kecemaran.
KEPUSTAKAAN
Buku dan Artikel
Calvin, Yohanes. Institutio: Pengajaran Agama Kristen. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1999.
Crampton, W. Gary. Verbium Dei (Alkitab: Firman Allah). Surabaya: Momentum, 2000.
Erickson, Millard J. Truth or Consequences. Illionis: Intervarsity, 2001.
Ferguson, Sinclair B. Hati yang Dipersembahkan kepada Allah . Surabaya: Momentum, 2002.
Frame, John M. Cornelius Van Til: An Analysis of His Thought. Phillipsburgh: Presbyterian & Reformed, 1995.
______. Apologetics to the Glory of God, an Introduction. Philipsburgh, New Jersey: Presbyterian and Reformed pub., 1994.
Griffin, David Ray. Tuhan dan Agama Dalam Dunia Postmoderen, Yogyakarta: Kanisius, 2005. ______. Visi-visi Postmodern (Yogyakarta: Kanisius, 2005
Grenz, Stanley J. A Primer on Postmodernism: Pengantar untuk memahami postmodernisme dan peluang penginjilan atasnya. Yogyakarta: Yayasan Andi, 1996.
Hidayat, Paul . Hidup Dalam Ritme Allah. Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2005.
Lumintang, Ramli B. Bahaya Postmodernisme dan Peranan Kredo Reformed Batu Malang: Institut Petrus Octavianus, 2010.
Lumintang, Stevri I. Theologia Abu-Abu-Pluralisme Agama. Malang: Gandum Mas, 2004.
McKeechnie, Jean L. Webster’s New Twentieth Century Dictionary of the English Language Unabridged, ____: Collins World Pub. 1975.
McGrath, Alister E. Christian Spirituality. Malden: Blackwell, 2004.
Newbigin, Lesslie. Injil Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. O’Donnel, Kevin. Post Modernisme. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Piliang, Yasraf Amir. Dunia yang dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
______. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Salim, Yeni. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English press, 1991.
Veith, Gene Edward Jr., Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and
Culture . Wheaton: Crossway Books, 1994.
Dalas Willard. Renovation of the Heart. Malang: Literatur SAAT, 2005.
Jurnal
Don Matzat, “Apologetics in a postmodern age.” New York, Saint John Church: Issues, Etc. Journal 2/5– (Fall 1997)
Lie Han Ing, Johannes. “Keunikan Spiritualitas Kristen dalam sebuah perbandingan dengan pengalaman religius dan tingkah laku dari Agama-agama.” Jurnal amanat Agung, 5/2, (2009) 260-281.
Internet
Michel Downey, “Understanding Christian Spirituality: Dress Rehearsal for a Method,” http://www.spiritualitytoday).org/spir2day/91433downey.html
Yakub Tri Handoko, “Spiritualitas Reformed di Era Post Modern,” http://www.gkri-exodus.org/image-upload/MS%2010%20Spiritualitas%20Reformed.pdf
[1] G. Borradori , The American Philosopher. (Chicago and London: The University ofChicago Press, 1994),103,106.
[2] Ramly B. Lumintang, Bahaya Postmodernisme dan Peranan Kredo Reformed (Batu: Departemen Multimedia Institut Petrus Octavianus, 2010), 84-85, Riwayat hidup Rorty, dikutip dari Bjonberg, “Richard Rorty”, http://plato.stanford.edu/fundraising/, 2007.
[3] Yakub Tri Handoko, “Spiritualitas Reformed di Era Post Modern” http://www.gkri-exodus.org/image-upload/MS%2010%20Spiritualitas%20Reformed.pdf
[7]Nonrealis (Richard Rorty) beranggapan bahwa pemahaman kita terhadap dunia dijembatani oleh bahasa, kebenaran bukanlah konsep filosofis tetapi masalah kesepakatan manusia. Sedangkan kaum realis, kita mampu memahami dunia terlepas dari bahasa, dan bahasa kita lahir dari pengamatan terhadap dunia yang objektif, jadi kebenaran adlah istilah filosofis yang mencerminkan realitas objektif secara tepat. Ibid.
[20]Demikian juga, mereka menolak metanarasi atau cerita (historis) yang tercermin dalam pengajaran yang utuh dari sebuah doktrin kebenaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci dari setiap agama, apa lagi yang berkaitan dengan pengajaran atau doktrin kebenaran yang diajarkan Alkitab yang dipercaya oleh orang Kristen (ortodoks) sebagai sesuatu yang absolut. Pascamodern menawarkan cara baru, yaitu memecah dan membagi-bagi cerita tersebut ke dalam mikro narasi. Sebagai contoh di dalam kekristenan, mereka menolak Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling terkait, (kisah dari PL ke PB atau dari kitab satu ke kitab yang lain) akhirnya Alkitab akan kehilangan makna yang sesungguhnya dari karya Allah dalam sejarah dunia (alam semesta) dan manusia, sebagaimana di ajarkan dan disaksikan oleh Alkitab itu sendiri. Ibid. 211-212.
[25] Non realis adalah kebalikan dari realis, realis melihat bahwa kita mempunyai kemampuan memahami dunia dunia terlepas dari bahasa dan bahasa lahir dari pengamatan dunia yang objektif. Sedangkan nonrealis mengetengahkan bahwa pemahaman kita terhadap dunia dijembatani oleh bahasa. Grenz, A Primer on Postmodern 240.
[26] Kaum non esensialis percaya hanya pada sifat relasional, kita tidak dapat berbicara tentang hakikat esensial sebuah benda secara tersendiri. Kita hanya dapat berbicara tentang hakikat sebuah benda hanya dalam hubungan dengan benda-benda lainnya. Pandangan yang sebaliknya yaitu kaum essensialis, mereka berpendapat dan percaya bahwa sebuah objek atau benda mempunyai sifat “intrinsik” dan “relasional”. Sifat intrinsik adalah kualitas hakiki yang dimiliki benda itu “dalam dirinya sendiri”. Sedangkan sifat relasional adalah kualitas yang dimiliki oleh benda-benda itu dalam hubungan dengan benda-benda lainnya, khusunya dengan hasrat dan minat manusia. Ibid.
[31] Selanjutnya dia menjelaskan, “Peleburan demikian menciptakan semacam peleburan batas atau ketidakpastian kategori. Pencairan pada tingkat moral, telah melenyapkan batas-batas mengenai benar-salah, boleh-tidak boleh, pantas-tak pantas, patut-tak patut. Pada tingkat pertandaan telah melenyapkan batas tanda/realitas, realitas/fantasi, fakta atau fiksi. Dengan dibongkarnya setiap batas, maka terciptalah sebuah dunia tanpa tabir pembatas.
[31] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003) 237.
[38] Michel Downey, “Understanding Christian Spirituality: Dress Rehearsal for a Method, “ http://www.spiritualitytoday.org/spir2day/91433downey.html
[46] Konsep Rhema adalah konsep yang diadopsi dari Paul Yonggi Co, yang mengatakan bahwa kehendak Allah dinyatakan melalui “Rhema” yang bersifat individual dan kadang tidak terdapat didalam Alkitab. Rhema menjadi suatu semacam kebenaran pribadi yang juga didapatkan oleh orang lain (khusus) dan di sisi lain tidak diberikan Allah kepada orang lain. Ciri-ciri dari hal ini adalah, seseorang akan begitu mudah mengatakan “Tuhan telah berbicara kepada saya”, “Tuhan telah memberi Rhema”, “Tuhan telah berbisik kepada saya” , “Tuhan telah berfirman kepada saya” dan lain sebagainya. Lumintang, Bahaya Posmodernisme 181.
[48] Dengan demikian ia harus menanggalkan kemutlakan dan finalitas dari iman kepercayaannya, bagi orang Kristen seperti demikian, ia tidak akan melihat bahwa Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat dan sumber kebenaran tetapi hanya salah satu Juruselamat dan salah satu kebenaran dari sekian banyak pilihan keselamatan dan kebenaran.
Culture (Wheaton: Crossway Books, 1994) 193.
[51] Ibid.
[52] Yang dimaksud tingkahlaku agamawi adalah melakukan ritual-ritual keagamaan, seperti berdoa, , menyanyi, beribadah dan lain-lain.
[53] Johanes, Keunikan Spiritualitas Kristen 274.
[54] Dalas Willard, Renovation of the Heart (Malang: Literatur SAAT, 2005) 192.
[55] Sinclair B. Ferguson, Hati yang Dipersembahkan kepada Allah (Surabaya: Momentum, 2002) 136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar